Bagian 5

47 12 0
                                    

"Kamu suka pilihan menu yang mana? Pilihan pertama, kedua atau ketiga?" tanya Belva sambil menunjukkan menu katering kepada Aktha.

Saat ini mereka sedang berada di restoran bintang lima yang menyajikan berbagai macam makanan, termasuk layanan katering untuk sebuah acara. Jika Belva terlihat antusias, maka Aktha adalah kebalikannya. Aktha terlihat sangat bosan di sini dan berulang kali menguap. Ia juga menjawab asal pertanyaan Belva agar bisa segera pulang.

"Dua."

"Kalau gitu pesan yang nomor satu," ucap Belva yang membuat Aktha sedikit kesal dan para pegawai restoran tercengang.

"Terus ngapain nanya kalau pesan engga sesuai pilihan aku?" tanya Aktha mewakili pertanyaan para pegawai.

Bukan Belva namanya kalau tidak berhasil menarik perhatian orang lain. Buktinya Aktha langsung bicara padanya dengan melontarkan pertanyaan bernada kesal yang sangat kentara itu. Aktha merasa dipermainkan oleh Belva. Ia sudah memilih, tapi pilih yang lain, sangat tidak menghargai pilihannya.

"Karena pilihan menu kamu engga enak," jawab Belva dengan santainya, lalu melihat ke menu dessert.

Saat ini mereka bukan bicara berdua saja. Ada koki, pemilik restoran dan beberapa pegawai restoran yang menemani. Hal ini dikarenakan klien mereka adalah Belvara Granite, salah satu pengusaha ternama di Negeri ini. Namun, ucapan terlalu jujur dan pedas dari Belva membuat mereka harus banyak-banyak mengucap kata sabar dalam hati. Aktha pun jadi merasa tak enak hati dan bersalah pada para pegawai restoran. Namun, orang yang menghina rasa makanan di restoran ini malah tak merasa bersalah.

"Bawakan sample menu yang lengkap untuk pilihan nomor dua, kami mau coba," perintah Belva pada pemilik restoran.

"Baik, Nyonya," jawab pemilik restoran lalu menyuruh para pegawai dan koki untuk bergerak cepat menyediakan menu.

Tak lama kemudian banyak makanan dalam ukuran kecil dibawa dalam satu nampan dan disajikan di hadapan Belva dan Aktha. Belva mencicipi satu persatu menunya sambil sesekali berkomentar pedas dan memberi saran seperti menambahkan sesuatu atau mengurangi sesuatu dalam makanan maupun minumannya. Lain hal dengan Aktha yang tak tertarik untuk mencoba sehingga Belva harus menyuruh calon suaminya mencoba makanan tersebut.

"Aktha, coba cicipi makanan ini. Lumayan enak menurutku," ucap Belva memberikan dessert berupa kue.

"Kamu saja, aku engga mau dan engga lapar."

Belva tak membalas ucapan Aktha, namun tatapan tajamnya menyiratkan bahwa ia tak suka dengan penolakan Aktha. Jika Aktha sudah biasa ditatap seperti itu oleh Belva, beda hal dengan pegawai restoran yang keringat dingin karena takut Belva mengamuk. Namun, Belva berhasil mengendalikan emosinya dengan mencicipi makanan lezat di hadapannya.

Aktha dan pegawai lain pikir bahwa Belva tak masalah dengan penolakan tersebut. Namun, mereka salah. Belva menarik kepala Aktha menghadap ke arahnya, lalu mendekatkan bibirnya mendekat ke arah bibir Belva hingga menyatu. Belva bahkan menggigit bibir Aktha agar terbuka. Saat Aktha merintih kesakitan, Belva melumat bibir pria itu dan memasukkan potongan kue yang berada di mulutnya ke mulut Aktha.

Senyum puas telihat di bibirnya saat melihat raut wajah terkejut di wajah tampan Aktha. Aktha yang baru tersadar dari keterkejutannya terpaksa mengunyah kue itu, ia ingin marah pada Belva karena telah berani menciumnya tanpa izin. Tapi, ia sadar bahwa ia tak punya hak terhadap tubuhnya lagi. Saat Aktha menoleh ke arah para pegawai restoran, pipi mereka bersemu merah melihat adegan ciuman panas secara langsung di hadapan mereka. Aktha merasa malu seketika karena kelakuan Belva, namun perempuan itu malah dengan santainya tetap lanjut mencicipi menu makanan.

Pria Tanpa Harga DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang