Bagian 3

40 10 0
                                    

Di Universitas Negeri terkenal dengan almamater kuning yang terletak di Depok, Aktha sedang duduk melamun di kantin. Ia sudah selesai kuliah, tapi sengaja belum pulang karena tak mau bertemu dengan Belva atau lebih tepatnya menunda waktu. Hal itu dikarenakan Belva akan datang ke rumahnya hari ini untuk mengenalkannya pada keluarganya yang berarti ucapan Belva tak main-main. Saking sibuknya melamun, ia tak menyadari jika seorang gadis berparas manis nan imut duduk di sampingnya dan memperhatikannya.

"Mikiran apa, Aktha?" tanya gadis itu.

"Eh, Khaterine. Engga mikiran apapun kok."

Aktha sengaja berbohong karena ia tak mau menceritakan aibnya pada sahabat perempuannya yang juga satu fakultas padanya yaitu fakultas kedokteran. Namun sayangnya, Kat tahu jika Aktha berbohong.

"Aku belum kamu percaya untuk menceritakan masalahmu?" tanya Kat dengan nada kecewa.

"Bukan gitu, Kat. Hanya saja aku rasa ini masalah pribadi yang engga seharusnya ada yang tahu."

Aktha menatap bersalah pada Kat yang terlihat sedih karena ia menyembunyikan hal ini. Kat pun mengangguk mengerti dan mencoba memahami kondisi Aktha, ia pun kembali tersenyum agar Aktha tak terlalu tertekan dengan masalahnya.

"Baiklah. Kalau gitu, antarkan aku ke Toko Buku yuk," ajak Kat menarik tangan Aktha, namun pria itu tak kunjung bergerak. Kat menatap dengan raut wajah bingung.

"Kamu punya mobil mewah tapi malah minta aku antarkan dengan motor bututku."

"Aku engga suka pergi sendirian, kalau sama kamu kan enak ada teman ngomong."

"Tapi aku engga bisa, Kat. Aku ada urusan penting dan harus pulang cepat."

"Baiklah, engga masalah. Aku pergi dulu."

Sebenarnya Kat kecewa karena ia tak bisa menghabiskan waktu dengan pria yang sudah dua setengah tahun ini ia cintai. Ia sudah lama memendam rasa pada Aktha, namun tak berani mengungkapkannya lebih dulu karena ia perempuan dan ia takut ditolak. Terlebih Aktha juga tak pernah menunjukkan tanda-tanda mencintainya. Ia tak mau persahabatan ini rusak karena ia yang patah hati saat ditolak cintanya oleh Aktha.

"Iya, hati-hati di jalan," ucapn Aktha.

Aktha membalas lambaian tangan Kat dengan senyum manis di bibirnya. Senyuman Kat memang dengan mudah menular pada orang di sekitarnya karena senyum perempuan itu manis. Setelah kepergian Kat, ia pun terpaksa pulang karena tak mau ayahnya mendapat masalah karena kelakuannya yang pulang terlambat dan membuat perempuan iblis itu marah karena lelah menunggu.

[][][][][][][][][][][][][][][][][]

Mobil sport mewah berwarna hitam legam Lamborghini baru saja berhenti di pekarangan rumah keluarga Granite. Belva keluar dari mobil bagian pengemudi karena ia yang menyetir. Ia hendak membuka pintu di samping, namun Aktha sudah lebih dulu membukanya. Ia pun tersenyum manis pada pria itu lalu mengandeng tangannya. Mereka pun masuk ke dalam rumah tingkat tiga miliknya.

"Bagaimana rumahku, mewah kan? Kamu suka?" tanya Belva dengan nada sombong dan angkuh.

Ia sengaja memperjelas kekayaannya di depan Aktha agar calon suaminya ini semakin tunduk di bawah kekuasaannya. Aktha memperhatikan sekitar rumah dan siapa pun yang melihat rumah ini pasti akan berdecak kagum karena kemewahannya. Tapi, tidak dengan Aktha.

"Rumahnya mewah, tapi saya lebih suka rumah minimalis yang sederhana."

"Engga masalah, nanti aku belikan kamu rumah idaman kamu."

Bukan Belva kalau tidak bisa membalas ucapan Aktha dengan menyombongkan kekayaannya, hal itu karena ia merasa bahwa calon suaminya ini masih tidak patuh dan takluk padaku.

"Saya engga butuh rumah, jangan buang uang Anda untuk saya," balas Aktha dengan nada datar.

"Terserah aku, toh uangnya milik aku."

Aktha berhenti membalas ucapan Belva karena merasa percuma dibalas. Belva tidak mau kalah debat dengannya. Fokus Aktha tertuju pada orang tua Belva bersama seorang remaja laki-laki yang sepertinya adik Belva menghampiri dirinya dan Belva. Ia langsung mencium punggung tangan orang tua Belva sebagai bentuk sopan santun pada orang yang lebih tua, lalu berjabat tangan dengan adik Belva sambil memperkenalkan dirinya.

"Saya, Byaktha Cavero, Pak, Bu."

"Dia calon suami yang aku bicarakan kemarin," ucap Belva memperkenalkan Aktha.

Karena Aktha tak menjelaskan hubungan pria itu dengannya, Belva pun berinisiatif untuk mengungkapkannya. Ia masih tersenyum manis dan belum menyadari raut wajah terkejut di wajah ayah, mama dan adiknya.

"Dia terlihat lebih muda darimu, Kak," ucap Alter mewakili pendapat orang tuanya.

"Memang benar, umurnya dua puluh tahun, sedangkan aku tiga puluh tahun, beda sepuluh tahun."

"Nak Aktha, apa tidak masalah menikah dengan Puteri saya yang lebih tua dari kamu?" tanya Aji memastikan bahwa Aktha tak keberatan menikah dengan putrinya.

Aji sengaja tak bertanya pada putrinya karena ia tahu pendapat putrinya tak bisa diubah. Ia bertanya pada Aktha dengan harapan jawaban pria itu bisa membantunya menggagalkan rencana pernikahan ini.

Belva jadi kesal pada ayahnya yang belum berhenti berusaha menggagalkan rencana pernikahannya. Ia menatap tajam ke arah Aktha, berharap pria itu mengerti untuk tidak berkata jujur. Aktha ingin sekali berteriak jika ia tak ingin menikah dengan Belva di hadapan ayah Belva, tapi ia ingat ancaman Belva saat masih di rumahnya.

Nanti di rumahku, jangan berani macam-macam, semua pertanyaan keluargaku harus kau jawab dengan manis dan baik atau hidup Ayahmu menjadi taruhannya.

"Saya tidak masalah akan perbedaan umur di antara kami. Belva adalah perempuan yang baik dan tegas, saya rasa itu cukup untuk meyakinkan diri saya menyetujui pernikahan ini," jawab Aktha dengan tegas, berusaha meyakinkan orang tua Belva.

Di saat Belva tersenyum bahagia karena jawaban Aktha. Ayah, mama dan adiknya malah menghela nafas kasar karena merasa jalan sudah buntu, mereka tak bisa berbuat apapun lagi. Mereka pun mempersilahkan Aktha untuk duduk di sofa ruang tamu agar bisa berbincang-bincang tentang rencana pernikahan. Mereka tak memahami raut wajah tertekan di wajah tampan Aktha yang dianggap sebagai raut wajah canggung.

"Ayah, Mama, Kakak, Alter, aku pulang!" teriak Kat.

Kedatangan Kat membuat semua orang menoleh ke arah pintu. Keluarga Belva sudah biasa dengan kehadiran gadis cantik dengan senyum manis tersebut di rumah ini, namun tidak dengan Aktha. Pria itu terkejut saat melihat Kat ada di rumah Belva, sama halnya dengan Kat yang terkejut saat ada temannya di rumahnya. Aktha spontan berdiri, sedangkan Kat berjalan menghampirinya, yang lain pun bingung dengan reaksi Aktha maupun Kat saat melihat satu sama lain.

"Aktha, kau kenapa berada di rumahku?" tanya Kat membuat keluarganya terkejut karena tak menyangka keduanya saling mengenal.

"Ini rumahmu?" tanya Aktha balik.

"Iya, rumah Kakakku, sama saja dengan rumahku."

Sekarang Aktha mengerti alasan Kat berada di rumah Belva, ternyata sahabatnya adalah calon adik iparnya. Ia merasa sangat malu berhadapan dengan Kat sekarang. Apa yang ada di pikiran sahabatnya saat tahu ia menikah dengan kakaknya untuk melunasi hutang ayahnya?

Kat pasti akan berpikiran buruk tentangnya dan membencinya. Ia pun hendak menjelaskan semua ini pada Kat agar sahabatnya tidak salah paham  namun suaranya tertahan saat Belva sudah lebih dulu bicara untuk bertanya pada Kat.

"Kat, kau mengenal Calon Suamiku?" tanya Belva dengan nada tak bersahabat karena tak menyukai kenyataan bahwa adiknya dekat dengan Aktha.

"Calon Suami?"

Mendengar pertanyaan kakaknya, Kat terkejut, sekaligus merasa hancur, lebih tepatnya hatinya retak. Hatinya terasa perih saat mendengar pertanyaan kakaknya. Kelopak matanya menjadi berkaca-kaca seakan siap menangis, Ia mengulang pertanyaan kakaknya dengan harapan bahwa ia hanya salah dengar.

"Ya, Byaktha Cavero adalah Calon Suami yang aku ceritakan tadi malam. Kau tidak lupa kan?" ucap Belva dengan memberi penekanan pada status Aktha.

"Aku ingat. Tapi, aku tak menyangka jika kau akan menikahi sahabatku. Apa kau sudah gila, Kak? Umur Aktha sepuluh tahun lebih muda darimu!" teriak Kat dengan penuh emosi.

Jika semalam Kat menyerah untuk mengubah pendirian kakaknya soal menikah, sekarang ia kembali berusaha mengubah pendirian kakaknya. Ia tak bisa membayangkan kakaknya akan menikah dengan pria yang ia cintai. Jika Aktha menjadi kakak iparnya maka ia akan berdosa mencintai pria itu.

"Aktha tidak masalah akan umur maupun status. Dia menerimaku apa adanya. Oh ya, Aktha. Ini adikku, Khaterine. Senang sekali karena tahu kalian ternyata sudah saling kenal dan bersahabat, jadi aku tidak perlu lagi membuat tali hubungan yang baik antara kalian. Ayo, duduk, Kat," ucap Belva berusaha terlihat santai, padahal ia tahu bahwa suasana sedang sangat tegang.

"Tapi, Kak...."

"Kat, aku tidak mau bertengkar denganmu tentang hal ini. Tanyakan saja pada Aktha jika kau tidak percaya."

Belva sendiri sudah malas mendengar penolakan adiknya dan langsung memotong ucapan adiknya. Ia sudah cukup mendengar penolakan keluarganya dan tak mau lagi mendengar penjelasan adiknya.

"Aktha, apa benar yang dikatakan Kakak?" tanya Kat dengan tatapan penuh harap.

Kat berdoa dalam hati agar Aktha tidak setuju dengan ucapan kakaknya karena ia tak akan kuat mendengarnya. Namun, harapannya yang melambung tinggi dihempaskan oleh jawaban Aktha.

"Iya, Belva benar. Aku adalah Calon Suaminya, Calon Kakak Iparmu. Maaf aku menyembunyikan hal ini darimu," jawab Aktha dengan perasaan bersalah.

"Aku lelah, ingin tidur saja. Kalian saja yang bicara," ucap Kat yang kecewa dengan Aktha, kakaknya dan keluarganya yang hanya diam melihat kelakuan kakaknya.

"Kat!" teriak Belva memanggil dan berusaha menghentikan adiknya.

Kat tak mempedulikan panggilan kakaknya, ia terus berjalan menuju kamarnya. Ia berusaha berjalan dengan tenang dan tidak berlari, walaupun hatinya ingin berlari secepat mungkin agar menjauh dari fakta menyakitkan bahwa cinta pertamanya milik kakaknya. Air matanya sudah menetes dari kelopak matanya dan mengalir deras di pipinya menandakan betapa terluka dirinya.

"Sudah biarkan saja dia tidur. Ayo kita kembali bicara," ucap Ayana menghentikan Belva untuk mengejar Kat. Ia tak mau kedua putrinya bertengkar lagi.

Belva mencoba bersabar dengan sikap kurang ajar Kat. Ia dan keluarganya kembali fokus pada pembicaraan mengenai pernikahan. Walaupun demikian, dalam pikirannya ia tahu ada yang beda dari adiknya dan ia akan meminta pengawalnya untuk mencari tahu tentang hal itu. Aktha juga tak bisa fokus dengan pembicaraan karena memikirkan persahabatannya dengan Kat.

[][][][][][][][][][][]

Tangerang, 13 Februari 2024

Pria Tanpa Harga DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang