segmen 05 : ucap pergi

9 0 0
                                    

📆 Yangnim-dong, 5ᵗʰ June 2020

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

📆 Yangnim-dong, 5ᵗʰ June 2020

Pemuda itu kembali membalikkan tubuhnya, tak lupa ada seseorang yang harus ia temui sebelum ia meninggalkannya sendiri.

Sore itu Joshua sudah siap dengan barang kemasannya menuju gereja di ujung desa kemarin. Ia bakal menginap disana sampai tugasnya terasa cukup untuk ia sudahi. Tapi lagi-lagi pemuda itu mengkhawatirkan sesuatu yang kudu ia tinggal pergi.

Si yang termuda, Seungkwan. Berapa kali pun pemuda itu dibujuk untuk pergi jawabannya hanya gelengan atau kata tidak.

"Seungkwan-ah, hyung pergi ya? Terimaksih untuk beberapa hari ini." Joshua berucap sembari menatap Seungkwan penuh khawatir dari posisi tegaknya.

Seungkwan tak menjawab, bahkan pandangannya pun tak berani menatap dalam milik si lawan bicara. Kemudian Joshua menyematkan kepalan tangannya di kedua saku celananya. "Pulanglah ke kota, aku hanya ingin kau baik-baik saja. Percayakan Seokmin pada polisi disini." Lanjutnya.

"Jadilah seperti dahulu, hyung. Tidak saling mengenal bahkan saling menyapa. Bukan aku bersikap begini karena menyalahkanmu. Hanya.. hyung tahu? Aku masih terkejut, apa yang akan kukatakan pada keluarganya nanti?" Jelasnya, diakhiri sebuah desahan panjang yang memberikan jeda pada pengucapannya. "Aku perlu merangkum kata apa yang akan kusampaikan pada keluarganya di kota." Setelah kalimat itu, si pemuda beranjak dari duduknya, menyusuri lorong hingga menghilang di pengkolan.

Entah apalagi yang kudu Joshua lakukan untuk membujuk si pemuda agar mengiyakan apa yang diucapnya. Entah juga apa yang Seungkwan ingini. Waktu untuk merenung? Oh ayolah, hal-hal seperti ini bukannya harus segera diambil tindakan? Ya walau sejujurnya sama sekali tidak terngiang di benak-apa yang kudu dilakukan. Pertanyaan 'mengapa harus terjadi' bahkan lebih sering berputar bagai kupu-kupu di dalam kepala, dibanding 'apa yang kudu dilakukan selanjutnya.'

Tidak ada lagi yang dapat Joshua lakukan. Mumbujuk? Lagi? Sudah tahu tak bakalan mempan. Maka dari itu akhirnya Joshua meninggalkan tempat itu dengan rasa kecewa-sebab tidak berhasil membujuk rekannya untuk mengikuti tata rencananya.


"Hei, ada masalah dengan rekanmu? Yang berhidung mancung macam sedorotan anak-anak juga.. hilang?" Tanya si pemuda berambut kusut hampir menyentuh bahu yang dikucirnya kecil ke belakang. Ya, Yoon Jeonghan.

"Hm, begitulah.. ya, belakangan ini maupun Joshua atau Seungkwan sudah menjadi gila setelah kejadian itu." Lantas pemuda yang kedua menjawab.

"Jadi si pemuda yang berkesan pintar itu akan pulang ke kota? Meninggalkan yang memiliki tulang pipi menonjol itu?" Tanya Jeonghan penasaran sembari mengambil sebatang sigaret dari sakunya, kemudian menyodorkannya untuk si lawan bicara dengan maksud menawarkannya.

Si pemuda yang dituju pun menggeleng ringan-sebagai jawaban 'tidak' untuk tawaran maupun pertanyaan Jeonghan. "Pindah tugas. Ke gereja." Jawabnya singkat. "Aku akan kesana dua hari sekali, untuk tetap mengikutinya sebagai jurnalis yang bakal menulis tentang kegiatannya."

"Astaga, untuk apa mereka memerlukan hal-hal semacam itu? Toh hanya gereja kecil." Gerutu Jeonghan samar. Sepersekian detik setelah pun Jihoon-si lawan bicara-berseru agak lantang sebagai ucapan undur diri sebelum eksistensinya menghilang dari banguan penginapan bersama pemuda yang satunya. Si pemuda yang berkesan pintar, Joshua.

Oh, kisah dua orang-berserta yang satu, yang hilang duluan itu, sungguh menarik. Sudah diterpa bencana tak terduga sekarang malah kudu berhubungan dengan gereja aneh itu. Batin Jeonghan.

Apa yang telah ia lihat dari gereja tersebut?

꒦꒷꒦꒦꒷꒦꒷꒷꒦








Thank you,
Sya.

find way home | svt vuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang