segmen 14 : entitas

2 0 0
                                    

📆 Yangnim-dong, 14ᵗʰ June 2020

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

📆 Yangnim-dong, 14ᵗʰ June 2020

Walau kemarin gembar gembor tentang misi penyelamatan seorang Yeo Naeul dan Joshua Hong, sejujurnya benaknya sendiri pun masih belum meluangkan waktu untuk memikirkan prosedur dari tema tersebut. Tapi yang utama, Jeonghan terlebih dahulu beraksi sendiri. Bukannya tidak yakin, ia hanya ingin meringkas segala yang ia kudu tahu-menelisik setiap rahasia-rahasia target sampai terkupas habis.

Biasa sih si tiga pemuda selalu kompak bukan-bolak balik dari lokasi gereja dan markas mereka? Ya, sejujurnya tuh penginapan sudah bagai markas pribadi perkumpulan tiga pemuda penuh rasa tahu ini. Kalau Jihoon sih melontarkan alasan hari ini bukan hari kunjungnya, sedangkan Seungkwan berdalih sakit perut sebab makan tteokbokki super pedas kemarin malam. Ya, Jeonghan juga punya rasa simpatik kalau soal Seungkwan yang sudah dua jam bolak balik kamar mandi buat buang air besar. So, rencana korek-merongek Jeonghan yang bermodal kamera pinjaman dari Jihoon pun dilaksanakannya seorang diri.

Seharusnya segala yang Jeonghan lihat dan yang menurutnya adalah sebuah bahan menjadi curiga, harus masuk ke dalam kamera kesayangan Jihoon itu. Ah, kebayang tidak sih, berusaha melepaskan sebuah kamera rapuh sekaligus kesayangan yang sudah dirawat bak anak sendiri dari tangan Jihoon? Demi tuhan, caranya hanya menerima omelan sebelum pergi atau pergi mengendap-endap tanpa omelan.

Diam-diam langkah si pemuda agar presensinya tak ketahuan si orang-orang gereja. Pergerakannya sudah sok menjadi pemeran utama di film aksi sih. Jeonghan bahkan berusaha masuk lewat semak-semak di halaman belakang gereja, sedikit menyuruk-nyuruk untuk menuju sebuah ruangan terdekat yang bibir pintunya menghadap ke halaman belakang.

Beruntungnya, sekitar dua inci si pintu menganga, memperlihatkan sedikit dari isi ruangannya. Tetapi yang didapatnya hanya sebuah lorong panjang yang gelap gulita. Meraskan aba-aba dimana ia kudu memencet tombol rekam pada kamera Jihoon, Jeonghan pun melakukannya. Jemarinya perlahan tapi pasti mendorong pintu agar terbuka sepenuhnya, lalu kakinya sigap melangkah setelah memastikan tidak ada seorang pun di dalam.

Sial, bukan lorong. Tetapi sebuah tangga ke bawah, mengantarkannya ke sebuah lorong yang lebih terang, tetapi lebih runyam. Sulit dijelaskan apa yang Jeonghan temui disana. Di lorong yang agak terang itu, terdapat ruang-ruang kecil lainnya yang hanya muat untuk satu orang tidur di dalamnya. Ya kalau hanya itu sih ketegangan Jeonghan tidak sampai membuat bulu kuduknya berdiri tegang. Kamera dalam genggamannya merekam banyak suara jeritan acak yang berasal dari ruangan-ruangan kecil tersebut. Yang jelas sih jeritan manusia, tetapi karena faktor Jeonghan yang tak dapat melihatnya, menjadikan seisi lingkupnya terasa horor.

"Terdengar tidak? Puluhan suara jeritan yang bersautan. Aku rasa ini ruang doa atau semacamnya? Kenapa sebegini menyeramkan?" Lantas buru-buru Jeonghan naik lagi ke permukaan dan menutup pintunya persis dua inci.

"Oh kau.. Yoon Jeonghan? Pemuda di penginapan!" Seluruh tubuh Jeonghan melompat. Lalu buru-buru di lihatnya si asal suara. Agak tenang sih, sebab Joshua tidak melihat adegan beraninya yang masuk tanpa ijin ke sebuah tempat mengerikan. "Apa Jihoon datang bersamamu? Karena hari ini bukanlah jadwalnya."

Jeonghan menggeleng.

Lantas seperti seorang Joshua pada umumnya, si pemuda manis itu langsung menyambut Jeonghan dengan banyak basa-basi ala-ala teman lama. Mujurnya, Joshua bahkan mengenalkan setiap seluk beluk gereja tersebut. Dari aula kebaktian, ruang praktiknya, sampai ruang pribadi pendeta. Hanya saja lorong aneh yang Jeonghan kunjungi tidak disebutkan untuknya, bak rahasia untuk orang asing.

"Oh, sobat, sebentar ya. Ada yang aku urus sejenak." Ucap Joshua setelah seorang ibu-ibu memanggilnya dari jauh. Ah, ini adalah kesempatan besar baginya untuk beraksi lagi. Sebab, instingnya mengakatakan bahwa ada yang harus ia lihat di dalam ruang pribadi pendeta.

Yang jelas, ruangannya sih terkunci rapat sebab sedang digunakan. Tetapi gorden jendelanya tersingkap sedikit, membuat Jeonghan sedikit leluasa untuk melihat apa yang ada di dalam. Kameranya ia dekatkan pada celah mungil tersebut, membuatnya mau tidak mau harus melihat pemandangan dari lubang kameranya. Diintipnya si lubang kamera yang tengah menampilkan pendeta tua yang tengah melatih aksi-aksi magisnya.

Awalnya ia berpikir keras tentang apa gunanya seorang pendeta berlatih adegan-adegan magis. Kembali ia berusaha berpikir dengan kemampuan pemikiran manusia yang suka berfirasat buruk dahulu. Astaga, bukankah ini adalah adegan di balik layar penipuan jemaat bila ia dapat melakukan mukjizat?

Nampak eksistensi seorang pria tua yang janggutnya sudah ubanan dan ikal, tetapi tubuhnya yang peyot masih dapat berdiri tegak-tidak seperti pemandangan di hari-hari sebelumnya. Si siluet bahkan tengah melatih sulap-sulap murahannya dengan seekor merpati sampai permainan air yang dilakukannya bak dewa Poseidon yang tengah kejar-kejaran dengan ombak laut. Kameranya terus merekam apa yang terpantul dari manik matanya. Sampai si pria tua sepertinya telah merasa puas dengan latihannya dan duduk di meja besarnya layaknya bos-bos besar pada umumnya, lalu tombol pause segara Jeonghan tekan.

Setelahnya si pemuda malahan celingak-celinguk mencari sesosok yang sebelumnya bersamanya-ya, siapa tahu Joshua melihat hal mencurigakan apa yang Jeonghan lalukan selagi presensinya tidak disana. Tak menemukan sosok yang dicari, lantas Jeonghan kembali menantapkan langkahnya ke luar bagunan, tepatnya masih di halaman belakang yang penuh misteri itu.

Entah seberapa besar keberanian yang terkumpul dalam dadanya, sebab ada sebuah jalan setapak menuju ke dalam pepohonan lebat yang cukup besar tetapi tak begitu dalam. Ya, mungkin setiap hari ada orang lalu-lalang masuk menyusuri jalan tersebut. Sekarang Jeonghan tengah berada di pertengahannya, menghadap pada sebuah pohon tua yang tak seperti pohon-pohon di depan bangunan yang dirawat bagai gadis belia. Di bagian dasar pohon tersebut terdapat sebongkah pintu kayu yang jelas-jelas tergembok selama bertahun-tahun. Sisanya, kosong. Hanya diliputi pohon rindang yang tak terjamah.

"Pemuda yang bersama tuan Hong tadi ya? Pekerjaan tuan Hong telah selesai, kau bisa mengunjunginya lagi di ruangannya." Dari awal masuk jalan setapak itu munculah seorang ibu-ibu yang dilihatnya beberapa menit silam.

"Oh, tidak usah. Aku akan pulang sendiri. Sampaikan juga pada Joshua bila aku sudah pulang." Kata Jeonghan. Kemudian melangkah keluar dan meninggalkan lokasi tanpa rasa ingin tahu yang tak terselesaikan. Bila tentang lokasi terakhir sih, tidak ada kecurigaan, bukankah itu hanyalah sebuah gudang atau sesuatu yang sudah ada sebelum gereja tersebut dibangun?

"Sungguh tidak perlu diantar?"

"Tidak. Terimakasih, ya."

꒦꒷꒦꒦꒷꒦꒷꒷꒦






Thank you,
Sya.

find way home | svt vuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang