Bab 9 - Hilang (lagi)

77 4 0
                                    

Semuanya kini terasa sangat menyakitkan. Jauh lebih menyakitkan dari yang mampu kuingat, seperti bertambah berkali-kali lipat. Luka-luka dihatiku seperti membuatku sekarat, dan setiap detik yang kulalui membuat luka itu semakin parah.

Kenangan-kenangan itu kembali membanjiri kepalaku, membuatku tidak sadar sepanjang sisa hari setelah mereka pergi. Dan sesak di dadaku semakin menyakitkan saat persediaan oksigenku hilang.

Hari sudah malam saat aku sadar– entah apa yang akhirnya menyadarkanku– tiba-tiba saja aku sudah duduk di sofa bersama keluargaku. Kulihat Mama melotot kearahku dan Papa menatapku prihatin. Jelas sekali apa masalahnya, aku menjadi robot lagi. Selama ini kan mereka mengiraku sudah sembuh, karena mereka tidak pernah melihatku di malam hari.

Otak warasku seolah-olah sudah menghilang sepenuhnya, fakta itu kusadari ketika aku tidak merasa panik melihat orang tuaku mengkhawatirkanku lagi.

Kuputuskan untuk pergi ke kamar saja. Meski tidak panik, aku memaksa diriku untuk merasa tidak enak pada mereka–meski jelas yang kurasakan hanya kehampaan. “Malam Pa, Ma.” Suaraku terdengar sangat datar saat aku mengatakannya.

Di kamar, kehampaan itu terasa semakin menjadi-jadi. Rasa sakit itu seolah-olah mendorongku menuju kegelapan, semakin lama semakin gelap, dan aku tidak melihat apapun lagi.

***

Aku terbangun ketika mimpi burukku mulai memberiku kesakitan yang tidak mampu ditampung hatiku. Aku awalnya hanya memimpikan pertemuanku dengan sahabat-sahabatku kemarin, lalu aku mulai memimpikan hari-hariku di Depok, hingga akhirnya, aku memimpikannya. Mimpi itu sebenarnya indah sekali. Aku memimpikan saat-saat bahagiaku bersama dia– melihat senyumnya, tawanya, merasakan kulitnya yang hangat. Tapi justru itulah yang menyakitiku, fakta bahwa semua kebahagiaanku di masa lalu tidak akan terulang lagi.

Anehnya, meskipun luka itu terasa sakit sekali, di hatiku yang paling dalam, aku merasa bahagia. Bahagia karena semua kesempurnaan itu pernah menjadi milikku. Bahagia karena aku pernah mendapatkan lebih dari yang pantas kuterima. Dan perasaan kecil itu membuat kesakitan yang kualami seolah-olah hanyalah harga kecil yang harus kubayar.

Setelah sekian lama memikirkan semuanya, kupaksakan diriku untuk benar-benar sadar. Walaupun perasaanku hampa lagi, tapi otak warasku sudah muncul sekarang. Dan otak warasku memerintahkan untuk bersikap ‘senormal mungkin’ di depan orang tuaku, agar tidak menyakiti mereka, tentu saja.

Kesadaranku bertahan selama aku mandi dan memakai seragam. Tapi saat aku sarapan, perlahan-lahan kenangan menarik kesadaranku. Otak warasku memperingatkanku untuk tetap sadar, jadi kuputuskan untuk bicara pada orang tuaku.

“Ma,” panggilku. Aku panik saat Mama menoleh, bingung apa yang harus kukatakan. “Sarapannya enak.” Kataku akhirnya. Padahal, aku tidak benar-benar bisa merasakan rasa makanannya.

Mama awalnya masih terlihat marah, tapi akhirnya Mama tersenyum. “Itu nasi uduk kesukaan Mama sejak kecil.” Mama menjelaskan dengan semangat sementara aku baru sadar sejak tadi aku makan nasi uduk. “Resepnya resep rahasia keluarga loh, Mama baru nemuin resepnya tadi malem, jadi kepikiran bikin ini buat sarapan. Bumbunya...,” aku mulai tidak memperhatikan sekarang, tidak tertarik dengan topiknya. Jadi untuk menjaga diriku tetap sadar, aku buru-buru menghabiskan sarapanku dan bergegas berangkat sekolah setelah selesai.

Sialnya, saat aku sendirian di dalam mobil, kehampaan justru menyerangku lagi. Membuatku semakin sesak bernafas. Kumatikan AC mobil dan kubuka jendelanya, tapi itu tidak mengurangi sesakku sama sekali. Dan tentu saja, aku tau apa yang membuatku begitu sesak, aku kehilangan, lagi.

***

Kehampaan berhasil menyita kesadaranku lagi. Dan begitu aku sadar, bel pulang sekolah sudah berbunyi. Bahkan beberapa murid sudah keluar kelas. Otak warasku menyuruhku untuk menunggu sampai rasa sakit dihatiku mulai mereda. Tapi setelah beberapa menit, rasa sakit itu tidak berkurang sedikitpun.

The Day You LeftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang