Semuanya benar-benar menyenangkan setelah aku mampu ikhlas. Hubunganku dengan keluargaku sudah normal, seperti saat di Depok dulu. Aku tidak marah lagi dengan keputusan Mama pindah ke Bandung. Semuanya tidak seburuk yang kukira, meski bila boleh mengulang waktu, aku akan memilih untuk tetap di Depok.
Malam-malamku sekarang sudah tidak dipenuhi oleh mimpi buruk lagi, kini digantikan oleh mimpi indah. Masih mimpi yang sama, hanya saja kali ini tidak ada perasaan sesak yang muncul saat mengingat semuanya. Memimpikan kenangan itu justru membuatku bersyukur karena Tuhan telah membiarkanku mencicipi kesempurnaan, meski hanya dalam 17 tahun yang terasa singkat. Semuanya serba membahagiakan sekarang. Bahkan sekarang aku mampu menyebut nama Raiz tanpa sakit hati.
Ulang tahun Aurel dan UAS berjalan dengan lancar. Aurel dan Fauzi akhirnya jadian di tanggal ulang tahun Aurel. Pesta ulang tahun Aurel juga berjalan lancar, lengkap dengan kue dan kado. Sementara tadi hari terakhir UAS, dan selama senin-jumat aku mengerjakan ujian, sepertinya tidak ada yang perlu di khawatirkan. Senin dan selasa nanti kami akan remedial sekaligus class meeting, lalu rabunya kami pembagian rapot dan mulai libur semester 2.
Yang masih menjadi masalah adalah kemana aku harus menghabiskan liburanku? Aku tidak punya keinginan kemana-mana, kalaupun ada, hanyalah Depok tempat yang paling ingin kukunjungi. Tapi aku takut aku akan mengganggu kebahagiaan Raiz di sana.
Jadi untuk liburan, kuputuskan untuk tidak kemana-mana.
***
Hari sabtu biasanya menjadi hari istimewa untukku bangun siang. Jadi ketika aku kebangun dan melirik jam yang menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi, kuputuskan untuk tidur lagi. Semalam aku keasyikan mengedit foto-kebiasaanku yang muncul begitu aku memutuskan untuk memotret lagi-sampai lupa waktu hingga aku baru tidur pukul 3 pagi.
Rasanya belum sampai 5 menit aku tidur lagi, pintu kamarku sudah diketuk dan aku mendengar Mama memanggil namaku.
Akhirnya kuputuskan saja untuk bangun. Toh nanti siang aku bisa tidur lagi. Setelah berhasil mengumpulkan nyawa, aku turun dari kasur dan melangkah keluar kamar.
"Aduuuh, kamu tidur malem lagi ya, La? Bangunnya siang banget." Mama terus mengomel sementara aku masih menguap. Kantuk belum juga hilang meski aku sudah bangun siang. "Ada yang nunggu kamu di luar tuh."
"Hah? Siapa, Ma?" Tanyaku kaget. Kantukku seketika hilang. Siapa yang datang? Masa Aurel dan Fauzi? Mau ngapain mereka?
Mama hanya menjawab jahil, "lihat saja sendiri," kemudian melangkah ke kamar meninggalkanku yang bingung. Daripada penasaran, kuputuskan untuk melihat langsung ke teras rumah. Dan akhirnya aku menemukan...,
"Mutia?" Tanyaku bingung sekaligus senang.
Mutia sejak tadi hanya memandangi pot bunga yang ada di sampingnya, langsung menoleh begitu kupanggil. "Hai, La! Baru bangun ya? Sorry tiba-tiba ganggu lo gini. Penting nih, gue-" tapi sebelum Mutia menyelesaikan kalimatnya, aku sudah menubruknya.
"Mutiaaaa! Gue kangen banget sama lo." Teriakku senang, padahal Mutia sudah dalam pelukanku sekarang.
"Wahahah gue juga kangen sama lo."
"Lo kesini naik apa? Mau ngapain? Kenapa sendirian?"
Mutia tertawa mendengar pertanyaan berentetku lagi. "Lo tuh kalo nanya ngga bisa satu-satu ya?"
"Nggak! Hahaha. Ayo masuk, kita di kamar gue aja, jadi lo bisa ceritain semuanya." Kutarik Mutia masuk ke dalam kamarku dan kami duduk di atas kasurku. "Nah, ayo, ceritain semuanya."
"Gue dateng naik travel, La, berangkat sepagi mungkin. Buru-buru emang. Jangan nanya dulu kenapa gue buru-buru, nanti gue jelasin." Kata Mutia sebelum aku sempat menyelak omongannya. "Nah, gue sendirian, karena gue satu-satunya yang bisa nyelesain masalah ini." Nada suara Mutia mulai serius sekarang, jadi aku tidak menyelak lagi dan hanya mendengarkannya. "Gue mau kasih tau lo sesuatu, tapi lo jangan kaget."
Aku mengangguk. Sekalipun aku akan mendengar kabar Raiz punya pacar lagi, aku siap.
"Tapi..., gue ragu ini masih berpengaruh buat lo. Kayanya lo udah betah banget di sini."
"Memang," gumamku. Aku memang sudah betah di sini, tapi bukan berarti aku tidak merindukan Depok.
"Tuh kan, percuma gue ceritain ini. Lo udah punya yang baru"
Aku mulai bingung dengan apa yang Mutia katakan. "Apa maksudnya? Yang baru? Gue nggak ngerti."
"Salsabilla, Raiz masih sayang sama lo." Kata Mutia pelan, tapi berhasil membuatku melanggar janjiku tadi; aku kaget, kaget sekali. Kalau Mutia mau bilang Raiz sudah punya pacar lagi, aku siap. Tapi kalau Raiz masih menyayangiku, itu terlalu indah untuk dipercaya. Apa-apaan ini? Rasanya baru sekitar seminggu lalu aku mendengar fakta mengejutkan tentang Fauzi, sekarang aku kembali harus mendengar fakta mengejutkan yang jauh lebih sulit untuk kupercaya.
"Gue serius, La, Raiz masih sayang sama lo, dari pertama kali lo ketemu sama dia, dari pertama kali lo pindah, Raiz tetep cinta sama lo. Dia mungkin bego waktu itu mutusin lo, tapi niatnya sama sekali bukan mau bikin lo sedih, dia justru ngga mau kalo lo sedih karena harus LDR. Dia takut lo bingung kalo di Bandung lo nemu yang lebih baik dari dia, tapi lo harus bingung karena lo masih milik dia. Dia nggak mau ngebebanin lo."
Perkataan Mutia membuat ingatanku kembali ke saat Raiz memutuskanku di taman. Bukankah Raiz bilang dia sudah tidak mencintaiku lagi? Bukankah Raiz bilang dia yakin aku akan bertemu yang lebih baik? Mungkinkah Raiz masih mencintaiku setelah semua yang dia katakan? Tapi kemudian aku teringat sesaat sebelum Raiz memelukku, tatapannya yang terluka...
"Maaf ya, La, gue baru bisa ngasih tau lo sekarang. Karena gue juga baru tau waktu gue balik ke Depok abis ngejenguk lo.
"Waktu itu, Raiz nyamper ke kelas gue. Dia ragu-ragu banget, bahkan dia nggak nanya apa-apa, tapi gue tau banget apa yang pengen dia tanyain." Mutia menghela nafas sebentar. "Nggak ada yang tau tentang perasaan Raiz kecuali gue, di depan Roy dan Victor, dia selalu sok tegar, bahkan di depan kakaknya sendiri juga. Denissa ngga sadar sama sekali kalo akhir-akhir ini Raiz sering merenung gara-gara lo."
Raiz sering menyendiri karena aku? Seketika aku membenci diriku sendiri, bisa-bisanya aku membuat Raiz tidah bahagia, meski tanpa sepengetahuanku. "Kalo gitu kenapa Raiz ngga kesini? Dia tau kan aku juga masih sayang dia?"
"Dia tau kok lo masih sayang sama dia, meskipun gue butuh waktu lama buat ngeyakinin dia." Mutia menghela nafas lagi, sepertinya Mutia lelah memendam semua rahasia Raiz selama 2 bulan terakhir. "Dia..., udah ke sini La. Tepat seminggu lalu. Kalau ngga salah, tanggal 15 desember."
15 desember? Aku baru ingat! Itu saat aku melihat Raiz berjalan menjauhiku di Bandung Indah Plaza kan? Atau jangan-jangan...,
Jangan-jangan Raiz salah paham? Jangan-jangan Raiz berjalan menjauh karena dia pikir..., dia memergoki aku pacaran dengan Fauzi? Wajahku seketika memucat.
"Cowok itu bukan bener-bener pacar lo kan, La?" Tanya Mutia.
"Bukan! Sama sekali bukan."
"Terus kenapa Raiz bilang dia ngeliat lo jalan sama pacar lo? Raiz mungkin bohong tentang perasaannya, tapi dia ngga mungkin ngefitnah lo."
"Memang ngga mungkin!" Seruku cepat. "Dan apa yang Raiz lihat itu salah paham. Gue mungkin juga bakal nyangka itu pacaran kalo gue di posisi Raiz, tapi dia salah paham. Penjelasannya panjang banget."
"Oke, itu bisa ditunda. Ada yang lebih penting sekarang."
"Apa?"
"Ke Depok sekarang bisa, La? Sejak seminggu lalu Raiz galau kaya orang gila! Gue nggak suka liat dia kaya gitu. Semalem dia cerita sama gue kalo dia nyesel ninggalin lo. Dia nggak siap ngeliat lo sama cowok lain."
"Bisa!" Seruku cepat. Apa saja demi Raiz. Toh Mama juga tidak marah lagi kalau aku cerita tentang Depok. Seminggu ini benar-benar tenang sekali, sampai Mutia datang dan membawa kabar yang mencabik-cabik hatiku. "Kita berangkat sekarang ya? Eh tunggu sebentar deh. Gue mandi dulu." Kataku panik.
"Yaudah lo mandi, biar gue yang izin sama nyokap lu."
"Thanks banget ya, Mut."
"Makasihnya nanti aja. Mandi sana." Serunya, dan aku bergegas berlari ke kamar mandi. Takut kehilangan waktu sedetik akan membuatku terlambat sampai ke Depok, meski tidak tau terlambat kenapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day You Left
Teen FictionBagi sebagian orang, perpisahan hanyalah masalah kecil. Kalaupun perpisahan itu menyakitkan, rasa sakit itu tidak akan bertahan lama; seperti jejak kaki di atas tanah, jejak itu terhapus saat hujan turun. Tapi bagaimana denganku yang terlanjur dala...