Bab 3 -Pergi

138 10 2
                                    

Aku memang tidak pingsan setelah Raiz pergi-meski aku berharap aku pingsan saja-aku hanya merasa seperti... seperti jiwaku sudah pergi. Kurang lebih begitulah. Aku masih hidup, masih sadar, tapi tidak utuh. Seperti ada organ tubuhku yang hilang.

Aku juga sulit bernafas setelah Raiz pergi-atau sebenarnya aku yang pergi-rasanya seperti aku kehabisan oksigen. Aku mencoba menarik nafas panjang, tapi itu malah membuat paru-paruku sakit. Rasanya seperti menghirup senyawa yang salah. Seperti menghirup karbon dioxida.

Kupeluk diriku erat-erat, berharap bisa mengurangi rasa sakit yang kuderita. Tapi tidak berpengaruh banyak. Aku tetap merasa sendirian. Hampa.

Wajah Raiz, Mutia, Denissa, Roy, dan Victor terbayang di benakku. Dan meski bayangan Raiz-lah yang paling banyak, aku sekarang memikirkan yang lain-lain. Bagaimana aku bisa bertemu mereka tanpa merasa sakit? Dan bagaimana bila mereka juga tidak mau bertemu denganku lagi seperti Raiz? Bagaimana kalau mereka tidak akan menjadi bagian dari keluarga masa depanku?

Kehilangan Raiz bukan hanya kehilangan satu, tapi juga kehilangan seluruh keluarga dan masa depan yang telah kupilih.

Dan-meski kutahu itu mustahil-aku sudah kehilangan oksigen untuk bernafas.

"Kita sudah sampai, La." Papa menepuk pelan kepalaku. Sampai? Aku bahkan tidak ingat kapan kami berangkat.

Kemudian sadarlah aku sepanjang perjalanan tadi aku hanya meringkuk di kursi belakang. Saat aku melihat bayanganku di kaca, aku terlihat berantakan, tapi entah kenapa aku tidak peduli sama sekali.

Bayangan kehilangan menyusup masuk ke hatiku lagi. Aku memeluk diriku sendiri. Sekuat tenaga kupaksa otakku untuk tidak memikirkannya. Aku mencoba melawan setiap kali otakku berusaha mengingat wajah-wajah yang kucintai. Tapi, semakin kulawan, semakin mereka muncul semakin jelas.

Tiba-tiba aku merasa seseorang memelukku. Ternyata Tante Nadia, adiknya Mama.

"Wah, La, kamu kelihatan berantakan. Pasti capek ya habis jalan jauh?" Tanyanya prihatin.

Aku hanya mengangguk sebagai jawabannya. Sebenarnya aku tak tau harus menjawab apa. Aku tidak merasa capek atau apapun. Hanya merasa hampa.

"Istirahat aja dulu ya? Kamu tidur di kamarnya Bella aja."

Aku lagi-lagi hanya mengangguk datar. Tante Nadia membimbingku ke kamar Bella, anaknya. Kamar itu terlihat terlalu rapih, seperti tidak ditinggali. Aku ingin bertanya apa Bella masih di sini, tapi aku tidak yakin suaraku bisa keluar dengan benar.

Kepalaku terasa pusing sekali. Aku segera menghambur ke atas kasur dan memeluk tubuhku lagi. Tubuhku terasa dingin sekali. Aku tau udara Bandung memang dingin, tapi aku tidak ingat apakah memang sedingin ini.

Aku memejamkan mataku. Berharap bisa menghilang saja.

***

Aku tidak ingat bagaimana aku melewati hari-hariku di Bandung. Tiba-tiba saja, aku terbangun di hari senin pertengahan bulan Juli, dan Mama bilang ini akan menjadi hari pertamaku di sekolah baruku.
Sekolah baruku. Hatiku tersayat mengingat itu.

Aku berjalan keluar kamarku. Keluargaku sekarang sudah tidak tinggal di rumah Tante Nadia lagi. Papa dan Mama ternyata sudah membeli rumah sejak lama. Bahkan mereka sudah mempersiapkan sekolahku. Mereka sudah siap dengan semua ini. Hanya aku yang tidak akan pernah siap.

Papa bekerja di suatu perusahaan di Bandung-otakku tidak mampu mengingat apa nama perusahaan itu-dan hal itu membuktikan kami akan tinggal di sini dalam waktu yang lama. Bahkan mungkin tidak akan kembali lagi.

Tidak akan kembali lagi. Tidak akan kembali lagi. Tidak. Akan. Kembali. Lagi. Kata-kata itu bergema keras di otakku.

"Salsabilla, cepat mandi!" Mama meneriakkiku. Akhir-akhir ini aku memang seperti anak kecil yang setiap perbuatanku harus diperintah dulu. Otakku terlalu buntu untuk memikirkan apa yang harus kulakukan.

The Day You LeftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang