"Hai, murid baru ya?" Sapa seorang perempuan. Wajahnya ceria-terlalu ceria untuk bahagia karena sekedar melihat anak baru.
"Ya." Jawabku pelan.
"Aku Aurel. Senang bisa kenal kau." Katanya senang. Sepertinya Aurel orang yang sangat baik. Mengingat bagaimana dia semangat menyapaku dan tidak ikut berbisik-bisik dengan teman-temannya yang lain untuk membicarakan aku.
"Ya aku juga senang." Dustaku. Kupaksakan bibirku untuk tersenyum. Entah seperti apa wajahku sekarang.
"Kau mau duduk dimana? Di depan atau di belakang? Keberatan nggak kalau kita sebangku?" Aurel masih dengan keceriaannya.
"Terserah kau saja, boleh kok."
Aurel membimbingku ke kursinya. Ia duduk di bangku paling ujung dekat jendela baris kedua dari belakang. Dalam hati aku bersyukur karena Aurel duduk agak menjauh dari orang-orang, aku sedang tidak ingin jadi pusat perhatian, meski itu sesuatu yang pasti karena aku murid baru.
Saat duduk di samping Aurel, tiba-tiba hatiku terasa sakit lagi. Biasanya, setiap kali sekolah aku selalu duduk di samping Mutia-karena entah kebetulan atau apa, aku selalu sekelas dengannya. Aku teringat bagaimana aku tidak pernah bosan menghabiskan hampir 24 jamku bersamanya. Tapi kali ini tidak ada Mutia lagi, tidak ada Victor, Denissa, dan Roy juga. Dan tidak ada dia.
Kehilangan dia-lah yang paling menyakitiku. Karena bukan hanya jarak Bandung-Depok yang memisahkan kami, tapi juga jarak berkilo-kilo meter yang dia ciptakan untuk memisahkan hati kami. Jarak antara hati kami membuat jarak Bandung-Depok justru tidak ada apa-apanya.
Seperti biasa, aku merasa kesulitan bernafas lagi setiap mengingatnya. Sebenarnya aku memang selalu merasa sesak sejak berjauhan dengan Mutia dan yang lainnya, tapi setiap mengingat dia rasanya membuat sesak itu semakin parah.
Aku tidak sadar berapa lama aku bengong, tiba-tiba saja sudah ada guru di depan. Suasana kelas sudah tenang. Semua murid sudah duduk di kursi masing-masing. Kalau bukan karena suara Pak Guru yang-entah sudah berapa kali-memanggil namaku dan menyuruhku maju untuk memperkenalkan diri, aku pasti tidak sadar aku melamun lagi. Aku segera berdiri dan melangkah ke depan kelas. Dalam hati aku berharap tadi tidak ada yang mencoba mengajakku ngobrol saat aku sedang melamun.
Aku terdiam lagi saat berdiri di depan kelas. Tapi kali ini bukan karena aku sedang bengong, aku justru sedang bingung apa yang harus kukatakan. Mereka jelas-jelas sudah tau namaku. Di sekolah yang muridnya hanya sekitar 200an, kabar adanya murid baru mudah sekali menyebar.
"Ehem." Kata Pak Guru-yang belum kutahu namanya-memecahkan kegaduhan. Aku sebenarnya tak sadar seisi kelas tadi mulai ribut bisik-bisik lagi.
"Ada yang mau bertanya tentang Salsabilla?" Pak Guru bertanya untuk memecah suasana canggung. Mungkin dia merasa aku masih malu-malu karena menjadi anak baru, padahal dalam hatiku hanya ada dua perasaan saat ini; benci dan hampa.
Murid-murid lain hanya saling berpandangan dengan teman sebangku masing-masing.
Aurel-lah yang mengangkat tangan pertama. Senyum cerianya masih terlihat di wajahnya.
"Aurel mau nanya?" Tanya Pak Guru memastikan.
"Ya Pak Faisal." Jawabnya pada Pak Guru yang ternyata bernama Faisal, lalu Aurel berpaling padaku. "Sebelum ini Salsabilla tinggal dimana?"
"Depok." Jawabku singkat. Aku berharap sesi perkenalan yang sebenarnya tak perlu ini segera berakhir.
Seseorang lain mengangkat tangan. Seorang lelaki bertubuh berisi-tubuh berisinya sangat mengingatkanku pada Roy, tapi segera kutepis ingatan itu sebelum pikiranku mulai mengelana lagi. "Kenapa pindah ke Bandung?" Tanya lelaki itu.
Aku tercekat mendengar pertanyaannya. Inilah pertanyaan yang paling tidak ingin kudengar dan kujawab. "Urusan keluarga." Jawabku singkat. Kuharap jawaban itu cukup untuk mengatakan itu bukan urusanmu.
Cowok itu tidak bertanya lagi. Dalam hati aku bersorak senang. Setelah cowok itu, satu-persatu murid lain mulai mengajukan pertanyaan padaku. Dan, aku sangat berharap hari ini cepat berakhir.
***
Aku tidak begitu ingat bagaimana aku melewati hari pertamaku sekolah disini, lagi-lagi pikiranku berkelana entah kemana, tapi tiba-tiba saja saat aku sadar sudah bel pulang. Aku senang karena waktu berjalan tanpa perlu kusadari.
Aurel tersenyum padaku sebelum dia pulang. Sepertinya dia benar-benar senang punya teman 'aneh' sepertiku. Tapi pikiran itu tidak bertahan lama di otakku. Ada hal lain yang lebih menarik perhatianku saat ini, rencana kaburku. Aku melirik jam, masih jam 11. Masih banyak waktu.
Rasanya aku ingin cepat-cepat berlari ke mobilku dan memacunya secepat mungkin menuju Depok.
Seorang cowok menghalangi pintu keluar saat aku ingin keluar. Posisinya memunggungiku sehingga dia tidak sadar aku sedang ingin keluar. "Permisi." Ujarku dengan nada jengkel. Kenapa sih dia mengobrol dengan temannya di pintu. Tidak tahukah dia sedang menghalangi jalan keluar?
Dia berbalik dan terlihat kaget saat melihatku. "Oh," serunya. "Salsabilla! Kita belum sempat kenalan tadi, nama gue Arfel." Katanya riang. Tapi aku sama sekali tidak senang dia menyapaku, aku justru berharap tidak ada yang menghalangiku sekarang karena aku sedang ingin buru-buru kabur.
"Salsabilla." Jawabku ketus. Berharap dia menyadari keenggananku dan segera menyingkir dari hadapanku. Tapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menyingkir, dia malah terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Permisi." Kataku lagi.
Dia akhirnya menyingkir dan memberiku jalan lewat. Saat melewatinya aku mendengar dia menggumamkan sesuatu, tapi aku tidak mendengar jelas apa itu. Pikiran tentang rencana kaburku mulai menguasaiku lagi.
Di koridor lantai satu seseorang lain menyapaku dan mengajakku ngobrol. Aku mengenalinya sebagai cowok yang tadi bertanya tentang alasanku pindah. Ya ampun! Aku kesal sekali. Kenapa sih cowok-cowok disini? Apa mereka punya kebiasaan norak dengan murid baru atau suka sekali menghalangi orang yang sedang terburu-buru?
"Gue tau lo sebenernya nggak mau kan pindah kesini?" Tanyanya serius. Tapi aku kesal mendengar semua pertanyaannya. Ada apa sih dengannya? Kenapa dia benar-benar tidak mengerti itu bukan urusannya?
"Apapun perasaan gue sama sekali bukan urusan lo." Aku tidak peduli kalau setelah ini dia berkata pada teman-temannya bahwa aku menyebalkan dan menyuruh mereka menjauhiku atau semacamnya. Tidak ada yang lebih kuinginkan sekarang daripada pulang.
"Gue tau." Katanya datar. Dia berkata lagi sesuatu, tapi aku tidak mendengarnya. Aku sudah mengabaikannya dan berlari menuju keparkiran.
Aku merasa menang saat aku akhirnya sampai di parkiran, lolos dari cowok-cowok aneh yng suka menghalangiku. Ternyata tantangan untuk kabur ke Depok bukan hanya kemarahan Mama dan Papa.
Seseorang terlihat berdiri di dekat mobilku, tapi aku terlalu jauh untuk mengenali siapa orang itu. Barulah ketika aku sudah cukup dekat, aku bisa mengenali orang itu.
"Pak Karmin?" Seruku kaget. Yang paling membuatku kaget adalah untuk apa supir keluargaku ada di sini?
"Ah, udah keluar Neng? Kata Bapak mulai hari ini Pak Karmin disuruh nganter Neng pulang pergi sekolah." Jelasnya.
Dugaanku benar. Mama dan Papa tidak akan membiarkanku kabur begitu saja. Seharusnya aku sudah bisa menduga ini sejak sebelum aku mengutarakan ideku untuk pergi ke Depok. Seharusnya aku sudah bisa menduga bahwa Mama dan Papa akan segera melarangku.
"Sebelum pulang bisa nggak kita mampir dulu?" Tanyaku mengetes.
"Kata Bapak, Neng harus langsung dianter pulang." Jawabannya tidak membuatku kaget. Akhirnya aku terpaksa naik ke kursi penumpang dengan hati kesal. Sia-sia sudah usahaku untuk kabur.
----------------------------------
nyari cast buat Aurel susah banget. dia sih tipe cewek yg mukanya agak kekanakan&selalu ceria gitu. ada ide?ohya seperti biasa, ditunggu vote&commentnya biar makin semangat update^^
kritik&saran juga boleh bgt asalkan membangun. sadar kok ini masih karya pertama yg belum sempurna:")
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day You Left
Teen FictionBagi sebagian orang, perpisahan hanyalah masalah kecil. Kalaupun perpisahan itu menyakitkan, rasa sakit itu tidak akan bertahan lama; seperti jejak kaki di atas tanah, jejak itu terhapus saat hujan turun. Tapi bagaimana denganku yang terlanjur dala...