Akhir pekan ini rencananya akan kuhabiskan bersama keluargaku di Ciwalk. Mama dan Papa begitu semangat melihatku sudah ‘normal’ lagi, setidaknya di depan mereka. Setiap malam, semua kenangan itu tetap setia menghampiriku, dan aku tetap setia membiarkan diriku tersiksa agar aku tidak pernah kehilangan semua momen hangat itu. Keadaan seperti ini sama sekali bukan keadaan yang kuharapkan, tapi ini cukup baik.
Maka demi merayakan ‘kenormalanku’, Mama dan Papa berencana mengajakku belanja seharian di Ciwalk. Katanya sih, kami akan pergi kesana sekalian bermalam mingguan–ini sih ide Mama. Aku senang-senang saja saat Mama memberitahuku tentang rencana itu–sama sekali bukan karena belanjanya, tapi aku senang karena orang tuaku sudah menganggapku normal. Bahkan Mama dengan senang hati membiarkanku menyetir sendiri, aku sudah kasihan pada Pak Karmin yang setiap hari harus mengantarku. Dan setelah dua minggu dibebaskan, aku sama sekali tidak pergi ke Depok.
Sama sekali bukan karena aku tidak kangen mereka–sampai detik ini rasa rindu itu bahkan belum berkurang sejak pertama kali aku disini. Masalahnya, aku terlalu takut. Aku membayangkan luka dihatiku akan bertambah parah bila aku bertemu mereka dalam keadaan belum siap. Apalagi bila aku bertemu dengannya. Bagaimana bila aku melihat dia sedang bahagia bersama orang lain? Bagaimana bila dia sudah tidak peduli sama sekali padaku, bahkan membenciku? Sebelum keadaanku menjadi parah lagi, kubuang pikiran itu jauh-jauh dari otakku.
Sebenarnya aku sama sekali tidak keberatan harus merasa sakit lagi seperti bulan-bulan awalku disini–rasa sakit yang akan kuterima tidak lebih besar dari kebahagiaan yang akan kuterima. Tapi aku tidak ingin membuat Mama dan Papa sedih lagi melihat keadaanku. Tidak ingin menyueki teman-teman sekelasku lagi, Fauzi dan Aurel setidaknya.
Jadi kuputuskan untuk melalui hari-hariku begini saja, tidak membahagiakan, tapi tidak terlalu menyedihkan. Dan, aku mungkin akan segera kembali ke Depok saat aku sudah siap bertemu mereka. Kuharap itu secepatnya.
***
“Ah, sepatu ini bagus.” Seru Mama saat melihat sepatu berhak berwana biru putih di The little things she needs. Mama langsung dengan antusias mengambil sepatu itu dan mencobanya. Aku menatap Mama sambil keheranan. Saat belanja Mama jauh lebih mirip remaja dibanding aku.
Aku mencoba melihat-lihat sepatu atau barang-barang lainnya, tapi tidak ada yang menarik perhatianku. Selama kurang lebih satu setengah jam berkeliling Ciwalk, justru Mama-lah yang terlihat seperti remaja. Papa bahkan menyerah menemani Mama belanja, Papa lebih memilih untuk menunggu di Starbucks Coffe. Sebenarnya aku lebih ingin duduk bersama Papa menikmati segelas kopi, teh, atau apalah. Aku tidak seperti Mama yang suka menghabiskan berjam-jam keliling mall dan memilih baju-baju bagus, aku lebih seperti Papa yang memilih duduk santai menikmati kopi sambil membaca.
Mama akhirnya membeli sepatu biru putih itu, padahal di toko sebelumnya Mama baru saja membeli sandal berwarna pink. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat betapa remajanya Mama. Aku sendiri hanya mendapat 2 potong baju pergi, itu juga karena aku memang membutuhkannya. Entah kenapa aku tidak terbiasa membeli sesuatu yang bukan kebutuhanku, hal itu membuat Denissa mengatakan bahwa aku lebih dewasa dari Mama.
Aku tertawa dalam hati mengingat bagaimana dulu Denissa dan aku sering bertengkar setiap kami berenam jalan ke mall, Denissa si Ratu Kecantikan Yang Suka Belanja itu memaksaku membeli baju perempuan yang menurutku menggelikan. Kalau sudah begitu, Mutia hanya bisa tertawa melihat kami. Bisa dibilang, dialah yang paling normal.
Kami berputar-putar lagi dan berhenti di Metro Watch. Kali ini aku yang tertarik membeli jam. Sebuah jam berwarna ungu susu menarik perhatianku. Jam itu terlihat senada dengan warna bajuku. Saking tertariknya aku dengan jam itu, aku langsung memakainya begitu Mama selesai membayarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day You Left
Novela JuvenilBagi sebagian orang, perpisahan hanyalah masalah kecil. Kalaupun perpisahan itu menyakitkan, rasa sakit itu tidak akan bertahan lama; seperti jejak kaki di atas tanah, jejak itu terhapus saat hujan turun. Tapi bagaimana denganku yang terlanjur dala...