Bab 10 - Khianat

124 5 0
                                    


Hari-hari berlalu sangat mudah sekarang. Keberadaan Fauzi benar-benar membantuku melewati semua ketidakbahagiaan ini. Dan waktu berlalu sangat cepat, tanpa kusadari, membawaku ke awal bulan Desember. Tepat tanggal 1.
Sementara sepanjang hari aku bahagia karena Fauzi, malam menjadi jauh lebih buruk dari terakhir kali kuingat. Luka-luka itu bukan hanya menyakitiku sekarang, tapi benar-benar membuatku sekarat. Semakin bahagia aku di pagi hari, semakin sakit aku di malam hari. Kenangan-kenangan seolah-olah menuntutku untuk segera bertemu sahabat-sahabatku, tapi aku ragu bertemu saja bisa membuat hatiku sembuh. Mungkin akan membaik saat aku bertemu mereka, tapi ketika kehilangan lagi, semuanya akan bertambah buruk.
Tentu saja bukan rasa sakit yang kutakutkan. Meskipun rasa sakit itu membuatku sekarat-tapi tidak membunuhku-aku tidak keberatan menanggung semua itu. Seperti sebelumnya, perasaan bahagia di hatiku yang terdalam mampu membuat luka itu seolah-olah hanyalah harga kecil yang harus kubayar. Jadi bukan kesakitanlah yang menahanku menemui sahabat-sahabatku.
Melainkan akibat yang akan kutimbulkan! Tentu saja aku tidak peduli pada kesakitan yang kualami, tapi bagaimana mungkin aku membiarkan kesakitanku melukai orang-orang yang kusayangi? Bagaimana mungkin aku tega menyakiti kedua orangtuaku juga Fauzi? Padahal mereka begitu baik padaku.
Jadi, untuk sementara, keputusanku sudah final. Aku tidak akan kembali ke Depok.
***
Jumat sore ini, sepulang sekolah, aku dan Fauzi berencana mampir ke rumah Irma untuk mengerjakan tugas. Detik-detik menjelang ujian seperti ini, guru-guru malah memberikan kami setumpuk tugas. Jadilah aku, Fauzi, Irma, dan Amalia, yang menjadi 1 kelompok, harus mengerjakan tugas sore ini.
Aku sempat panik ketika tau aku sekelompok dengan Amalia. Meski sudah hampir 6 bulan berlalu, dan bahkan Arfel sudah tidak mendekatiku senekat dulu, dia tetap saja tidak ramah padaku. Tapi kepanikan itu teredam saat aku tau aku sekelompok dengan Fauzi.
Sepertinya Fauzi sudah berarti segalanya bagiku-dalam kehidupanku di Bandung, setidaknya-mungkin aku jatuh cinta padanya, meski bukan perasaan yang sama seperti yang kurasakan pada dia, tetap saja aku tau ada sesuatu yang lain dalam hatiku tentang Fauzi. Dan sepertinya Fauzi tidak menyadari perasaanku yang berubah, hal itu membuatku sangat lega. Aku takut dia akan menjauhiku, karena rasanya tidak mungkin dia mencintaiku seperti aku mencintainya. Kehilangan dia dulu telah mengajarkanku untuk tidak berharap banyak.
"Kebiasaan deh bengong," ejekkan Fauzi membuyarkan lamunanku. "Ayo jalan, nanti keburu kemaleman."
Karena rumah Irma melewati daerah macet, Fauzi mengusulkan agar aku meninggalkan mobilku saja dan pergi naik motornya. Awalnya aku ragu, aku masih takut naik motor dengan Fauzi, tapi toh itu sesuatu yang menyenangkan-kalau aku mengabaikan ketakutanku. Jadi aku setuju dengan rencananya. Sementara Irma akan naik motornya bersama Amalia.
Naik motor bersama Fauzi masih semenyenangkan yang kuingat, sekaligus masih semenakutkan yang bisa kuingat. Tapi kali ini, rasa senang itu lebih dominan. Begitu senangnya sampai-sampai aku tidak sadar kami sudah sampai.
Aku turun dan berjalan sempoyongan. Kepalaku pusing sekali karena naik motor tadi, tapi hatiku terasa sangat bahagia. Dalam hati aku bertanya-tanya, seberapa besar pengaruh Fauzi dalam hidupku?
Di rumah Irma, kami langsung mengerjakan tugas tanpa berbasa-basi. Tidak ada candaan diantara kami. Bahkan kami seolah-olah terpecah menjadi dua kelompok; aku dan Fauzi, Irma dan Amalia. Benar-benar bukan kelompok yang kompak.
"Salsabilla deket banget sama Fauzi." Gumam Irma di tengah-tengah kesibukan kami, memecah keheningan. Amalia langsung menoleh antusias.
Kata-kata Irma membuatku membeku. Jelas sekali, walaupun aku menyayangi Fauzi, aku tidak ingin seorangpun ada yang tau perasaanku. Aku tidak ingin ada gosip, ejekan, atau apapun tentang aku dan Fauzi. Perasaan ini cukup aku yang tau, tersimpan rapi dalam hatiku.
"Nggak juga ah." Bantahku. Nada suaraku terdengar kelewat ketus hingga Amalia melotot kearahku. "Kan lagi kerja kelompok, jadi wajar dong kalo deket." Aku buru-buru menambahkan dengan suara selembut mungkin.
"Bukan cuma di sini, La, tapi di kelas, di kantin, pas mau pulang, kau selalu bareng Fauzi."
Mereka bilang kami dekat? Ha, bahkan dia belum tau kejadian di parkiran waktu itu, gumamku.
"Ya! Kalian keliatan seperti pasangan. Kalian pacaran kan?" Bahkan Amalia yang biasanya membenciku terlihat bersemangat sekarang. Dan, meskipun aku tau jelas alasannya, aku tetap saja kaget saat dia bertanya padaku.
Aku menggeleng lambat-lambat. Gelisah. Ini pembicaraan yang tidak kuinginkan. Mataku menatap ke pekerjaan kami, sama sekali tidak berani menatap Fauzi.
"Padahal kalian cocok loh." Irma masih ngotot. Sepertinya dia bersemangat sekali ingin membuat gosip baru. Kubayangkan betapa menariknya gosip itu, seorang gadis yang selama ini pendiam, menjauh dari lingkungan, akhirnya jatuh cinta pada Fauzi. Memang menarik sih, seandainya gadis itu bukan aku.
"Memangnya kau nggak suka sama Fauzi?" Irma bertanya lagi.
Aku menggeleng ragu. Aku memang tidak menyukainya bila dia harus jadi pacarku.
"Kau punya pacar ya?"
Aku menggeleng otomatis, seperti robot.
"Lucu, apa enaknya ngga punya pacar? Jangan-jangan kau habis putus dan masih sakit hati ya?"
Yang kali ini aku membeku. Pernyataan Irma nyaris tepat-nyaris, karena aku bukannya sakit hati, tapi masih mencintainya.
"Haha ketauan kan." Irma menyeringai senang. "Padahal kalau putus kan urusannya sederhana saja, tinggal lupain dan cari yang baru. Kalau mau tambah seru, berantem aja sama mantan."
Kulihat wajah Amalia yang tadinya tersenyum puas karena aku, langsung berubah dingin, seolah-olah perkataan tadi ditujukan untuknya-dan itu memang benar, karena posisi aku dan Amalia kurang lebih sama.
Aku mengangguk pura-pura setuju agar Irma puas, lalu mengalihkan perhatian dengan mengerjakan tugas. Dalam hati aku berharap agar pembicaraan bodoh tadi tidak terungkit lagi.
***
Sayangnya, selama perjalanan pulang ke rumahku, kata-kata Irma justru terngiang-ngiang jelas di kepalaku. Sama sekali bukan perkatannya tentang Fauzi, tapi perkataannya tentang putus itu.
"Padahal kalau putus kan urusannya sederhana saja, tinggal lupain dan cari yang baru. Kalau mau tambah seru, berantem aja sama mantan."
Aku tau melupakannya sama sekali tidak sederhana, tapi mungkinkah akan sesulit ini bila aku berusaha melakukan sesuatu? Selama ini aku memang tidak pernah berusaha melupakannya, aku hanya berusaha untuk tidak memikirkannya agar hatiku tidak berdarah-darah setiap waktu. Kubiarkan bayangannya tetap di sana, tersimpan rapi dalam sudut otakku, dan itu membuat malamku jadi dipenuhi mimpi buruk.
Seandainya sekarang aku sudah tidak mencintainya, mungkin semua ini akan jauh lebih mudah. Mungkin aku tidak akan merasa sesak saat malam hari. Dan bahkan, mungkin aku bisa bermain-main di Depok setiap sebulan sekali tanpa perlu merasa takut.
Tapi memangnya apa yang harus kulakukan untuk melupakannya? Membencinya? Mencintai seseorang yang lain? Aku tidak tau. Aku memang belum pernah mencobanya, tapi aku ragu cara itu bisa berhasil. Dan bagaimana mungkin aku bisa membencinya, kalau sebagian hatiku justru sangat berterima kasih atas semua kebahagiaan yang pernah dia berikan.
Untuk sementara, perdebatan dalam hatiku tentang ini masih menghasilkan jalan buntu.
***
Senin ini kulalui dengan sangat panik.
Bagaimana tidak panik? Seharian ini Fauzi tidak mau bicara padaku. Awalnya kupikir aku melakukan sesuatu yang membuatnya marah padaku, tapi akhirnya aku sepertinya bisa menduga apa masalahnya.
"Salsabilla deket banget sama Fauzi."
Perkataan Irma hari jumat kemarin terngiang-ngiang lagi di kepalaku. Mungkin karena ini Fauzi menghindariku. Jelas sekali apa masalahnya, Fauzi tidak suka di gosipkan, seperti aku tidak suka.
Jadi sebelum pikiranku mulai dibanjiri oleh kenangan-kenangan lagi-hal yang selalu terjadi kalau Fauzi tidak ada-aku mengalihkan perhatian dengan mengobrol bersama Aurel. Gadis ini masih seceria biasanya, seperti hari-hari sebeulum ini. Aurel memang tidak kelihatan marah dengan kedekatanku dan Fauzi. Aurel benar-benar sahabat yang baik. Aku bahkan mentertawakan diriku sendiri karena pernah berpikir Aurel dan Fauzi dulu pacaran. Tentu saja itu tidak mungkin. Ikatan diantara mereka justru seperti saudara, seperti aku dan Roy.
Hari senin berlalu, berganti selasa, rabu, dan sekarang kamis.
Fauzi masih tetap tidak mau bicara denganku. Awalnya itu tidak masalah, tapi semakin lama itu justru membuatku panik. Bagaimana kalau masalahnya bukan hanya sekedar tidak mau jadi bahan gosipnya Irma? Bagaimana kalau ada masalah yang lebih serius dari itu?
Sebagian hatiku terasa sakit-meski tidak sesakit saat aku kehilangan Depok. Tapi rasa sakitnya menusuk-nusuk hatiku. Kepanikan menghantuiku saat membayangkan Fauzi benar-benar menjauhiku.
Akhirnya, demi menyelesaikan masalah, kuputuskan untuk menemui Fauzi sepulang sekolah di parkiran. Sepertinya parkiran tempat Fauzi memelukku dulu-aku menelan ludah saat memikirkannya-cukup sepi.
Waktu terasa lambat sekali saat aku menunggu waktu pulang. Tapi toh, selambat apapun, waktu tetap berjalan. Akhirnya bel pulang sekolah yang kutunggu-tunggu berbunyi juga. Aku yang sudah merapikan barang-barangku segera berdiri setelah berpamitan pada Aurel. Jam terakhir ini tidak ada guru, jadi kami bisa langsung pulang begitu bel berbunyi.
Tanpa ragu, kulangkahkan kakiku menuju meja Fauzi. Aku sudah memikirkan rencana ini sejak pagi tadi, jadi tidak ada alasan untuk takut. Tapi bicara dengan Fauzi seperti ini entah kenapa mengingatkanku saat aku dan dia bicara di taman saat hari terakhirku di Depok, dan itu memunculkan kepanikan di hatiku.
"Ke parkiran." Kataku saat sampai di meja Fauzi. Aku bahkan tidak berani berbasa-basi.
Kulangkahkan kakiku keluar dari kelas dengan cepat. Dalam hati, aku bersyukur karena kesinisanku akhirnya membuat Arfel mundur teratur. Bisa dibayangkan bila Arfel masih jahil menggodaku di pintu, itu akan menghambatku untuk bicara pada Fauzi.
Sejenak aku ragu-ragu saat aku sampai di parkiran? Apa yang harus kukatakan padanya? Aku hanya ingin dia tidak marah padaku lagi, tapi tidak benar-benar tau apa yang harus kukatakan. Kuberanikan diriku untuk menoleh kebelakang dan menatap Fauzi, dia juga terlihat sedang ragu-ragu.
"Apa?" Tanyanya datar, tapi wajahnya tetap menunjukkan bahwa dia sedang ragu akan sesuatu.
"Kau kenapa?" Suara yang keluar dari mulutku hanya berupa bisikkan. Wajah ragu-ragu ini... sempurna mengingatkanku padanya!
Dia hanya bergeming. Tidak bicara sedikitpun.
"Kau marah padaku." Air mataku mencoba menerobos keluar, tapi kutahan sebisaku. Kejadian ini benar-benar mengingatkanku saat kehilangan dia, dan kali ini, sepertinya aku akan kehilangan lagi. "Apa salahku? Sampai-sampai kau membenciku seperti ini." Air mata kini berhasil mengalir di pipiku.
Wajah Fauzi langsung memucat saat melihatku menangis. Tangannya bergerak reflek mengusap air mataku. "Jangan nangis, La. Jangan." Katanya sedih. "Aku nggak benci kau, jangan nangis."
"Lalu?" Tuntutku.
"Aku, aku," Fauzi ragu-ragu sesaat, tapi kemudian dia berkata mantap, "Salsabilla, aku sayang kamu, kamu mau jadi pacarku?"
Aku langsung membeku. Tidak berani berkata apa-apa.
***
Aku tidak bisa mencintainya seperti ini. Tidak akan pernah!
Kupikir selama ini aku memang mencintainya. Kupikir perasaan hangat saat bersamanya muncul karena aku mencintainya. Tapi ternyata aku salah. Seluruh perasaan itu justru lenyap saat dia mengungkapkan perasaannya.
Kejadian hari itu kuselesaikan dengn cara kekanak-kanakan. Aku langsung berlari meninggalkannya. Masuk ke mobilku, dan memacunya secepat mungkin menuju rumah. Awalnya, aku takut dia akan mengejarku sampai ke rumah, tapi ternyata aku aman-aman saja.
Hari jumatnya, Fauzi sama sekali tidak mau bicara denganku. Jangankan bicara, melirik kearahku saja dia enggan. Tapi itu bukan masalah. Aku pun menjawab pertanyaannya dengan cara yang tetap kekanak-kanakan; kuselipkan sebuah surat ke dalam tasnya saat dia sedang sholat jumat.

Fauzi, aku yakin kau yang paling tau bagaimana perasaanku. Aku bahagia saat bersamamu, aku menikmati setiap detik saat kita sedang berdua. Aku sangat menyayangimu, tapi itu tidak akan pernah cukup, maafkan aku.
Kau juga tau bagaimana perasaanku pada seseorang yang pernah melukaiku di masa lalu. Meski aku tidak pernah menceritakannya padamu, tapi aku yakin kau pasti tau bagaimana perasaanku.
Maafkan aku membuat semuanya berantakan, aku sayang padamu, kau sahabat terbaikku.

Hatiku sendiri bahkan tercabik-cabik saat membacanya.

The Day You LeftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang