Bab 1(b) -Vonis Dijatuhkan

161 8 3
                                    

"Masuk, La." Perintah Mama saat Raiz sudah tak terlihat. Senyum yang tadi terkembang diwajahnya hilang sekarang. Aku berusaha menggerakan kakiku yang tiba-tiba terasa berat. Entah apa yang akan dikatakan Mama saat aku di dalam rumah nanti. Apapun itu, pasti akan mengejutkanku karena ekspresi Mama sekarang benar-benar tak bisa dibaca.

"Duduk, La." Ternyata Papa juga ikut menyambutku di ruang tamu.

Perasaanku semakin tidak keruan. Kalau Papa ikut angkat bicara, bisa-bisa aku melakukan kesalahan besar. Dan bodohnya lagi, aku sama sekali tidak tau apa kesalahanku.

"Jangan tegang gitu, La, kamu bukan mau dimarahin kok." Papa tertawa santai, tapi sama sekali tidak mengurangi keteganganku. Tidak seperti Mama yang mudah ditebak, Papa justru sangan sulit ditebak. Kalau Papa terlihat santai, bisa saja masalah yang dibicarakan justru serius.

Aku benar-benar memutar otak untuk mencari kesalahanku. Pacaran? Jelas tidak. Mama dan Papa sudah tau sejak dulu aku pacaran dengan Raiz, dan mereka tidak mempermasalahkan itu-bahkan mereka senang karena Raiz cowok yang baik menurut mereka. Aku juga sudah berkali-kali menanyakan soal pacaran, tapi Mama selalu bilang tidak masalah selama aku tidak kelewat batas. Dan selama ini, aku belum pernah melakukan hal-hal yang kelewat batas.

Apa ini soal nilai-nilaiku? Well, mungkin saja, nilaiku memang pas-pasan saat pengambilan rapot kemarin. Tapi kalau mereka mau marah soal nilai, seharusnya mereka menghukumku sejak awal liburan kemarin. Bahkan seharusnya mereka menghukumku tidak boleh kemana-mana selama liburan. Tapi tadi mereka mengizinkanku merayakan ulang tahun. Jadi, bukan nilai kan masalahnya?

Aku memikirkan masalah-masalah lain. Tapi tidak menemukannya. Akhirnya aku memutuskan untuk menyerah. "Pa, aku bener-bener nggak tau salahku, maaf. Tapi Papa kasih tau dong. Tegang nih kalo kaya gini terus."
Papa justru tertawa santai. "Kan udah dibilang kamu gaada salah, La." Tawa Papa terdengar begitu tulus sampai-sampai aku ingin percaya memang tidak ada masalah. Tapi melihat sikap Mama yang kaku dan resah membuat kekhawatiran itu muncul lagi ke permukaan.

Mama sepertinya sadar ekspresinya membuatku resah. "Mama buatin teh ya?" Tanyanya. Tanpa menunggu jawaban, Mama sudah beranjak dari duduknya dan bergegas pergi ke dapur.
Berdua dengan Papa di ruang tamu membuat kekhawatiranku semakin memuncak. Papa memang tidak segalak mama kalau marah, tapi perkataan Papa benar-benar mampu menusuk ke hatiku. Aku duduk tegang. Menunggu vonisku dijatuhkan.

"Gimana pesta ulang tahunnya? Ulang tahun ke 17 ya? Wah anak Papa udah remaja." Papa tertawa mengalihkan perhatianku. Aku menyerah. Berhenti mencoba memaksa Papa menceritakan masalahku dan mengikuti saja arah pembicaraan.

"Iya udah 17, Pa. Pestanya seru. Tadi Victor dan Mutia berebutan kue sampe diketawain sama Ayah Ibunya Raiz." Aku ingat tadi bahkan mereka sempat saling memeperkan kue saat Ayah dan Ibunya Raiz datang ke café mereka untuk memberiku kado.

"Dapet kado dari siapa aja?" Tanya Papa lagi. Masih mengalihkan perhatian.

"Dari Raiz cincin." Aku mengangkat tanganku untuk memperlihatkan cincin itu. Tanpa bisa dicegah perasaan hangat menjalari hatiku, menghapus sedikit rasa khawatir yang ada di hatiku. "Dari Mutia sketsa-sketsa," aku mengeluarkan satu-persatu kado yang kubawa dalam kantong besar, menjajarkannya di depan Papa. "Dari Denissa kue ulang tahun, dari Victor dan Roy binder, dan, oh!" Seruku saat menemukan hadiah yang belum kulihat tadi. "Dari Mutia lagi, album foto!" Jeritku senang saat menemukan hadiah tambahan dari Mutia. Album foto-perempuan itu benar-benar tau aku suka fotografi. "Ohiya, dan dari Ayah Ibunya Raiz belum sempat kubuka."

Tanpa kusadari aku tersenyum melihat kado-kado dihadapanku. Kado-kado dari orang-orang kesayanganku. Dari keluarga masa depanku. Pikiran itu mulai menguasai otakku. Aku teringat semua sketsa-sketsa dari Mutia yang menceritakan masa depan kami, teringat suara Raiz saat mengatakan kata selamanya.

Suara langkah Mama membawa nampan berisi teh membuyarkan lamunanku. Kemudian, sadarlah aku usaha Papa mengalihkan perhatianku berhasil. Dan sepertinya Papa memang benar-benar ingin mengalihkan perhatianku, karena sejak tadi kata-katanya tidak ada yang mengarah pada masalah. Hanya membicarakan ulang tahunku. Atau mungkin memang tidak ada masalah, seperti yang Papa bilang tadi.

"Lihat, Ma, Salsabilla dapet banyak kado dari temen-temennya. Dia udah 17 loh sekarang. Udah remaja!" Papa tertawa lagi. Aku ikut tertawa santai karena sudah yakin aku tidak ada masalah. Tapi sejurus kemudian, sadarlah aku Mama tidak tertawa. Tapi tersenyum. Senyum tenang tapi resah.

"Salsabilla nggak pernah remaja, Pa. Buat Mama, Salsabilla udah dewasa. Jadi Salsabilla pasti bisa ngerti keputusan kita." Tiba-tiba jantungku berdetak cepat saat Mama mengatakannya. Keputusan kita-keputusan Mama dan Papa. Keputusan yang mungkin tidak akan kusukai karena Mama bilang aku sudah dewasa jadi bisa mengerti. Hatiku menjerit. Tiba-tiba, aku merasa tidak siap mendengar apa yang akan orang tuaku katakan, padahal tadi aku merasa sangat tidak sabar.

Ekspresi Papa berubah serius sekarang, membuat jantungku berdetak semakin cepat lagi. "Salsabilla," Papa menyebut namaku ragu-ragu sementara hatiku menjerit keras sekali. Pembacaan vonisku akan segera dimulai.

"Kamu tau, La, kita udah tinggal di Depok selama 17 tahun lebih. Dan kamu tau, La, semua keluarga kita ada di Bandung. Nenekmu, udah tua, La. Dia pengen kita semua selalu berkumpul di Bandung." Aku merasa seperti sebatang besi panas ditusukkan langsung ke jantungku saat mendengar pekataan Mama.

"Kita akan pindah?" kataku pelan. Sebenarnya itu bukan pertanyaan.

"Kita satu-satunya keluarga besar yang bukan di Bandung, La. Keluarga Papamu, Mamamu, semuanya tinggal di Bandung." Papa mencoba membuatku mengerti. Padahal, aku sangat mengerti. Sejak dulu aku sudah bingung kenapa Papa dan Mama harus tinggal di Depok sementara semua keluarga besarku berada di Bandung-meski aku tidak pernah mempermasalahkan itu, justru merasa sangat bersyukur.

"Pindah." Kataku lagi. Bayangan wajah Raiz, Mutia, Denissa, Roy, dan Victor membanjiri kepalaku. Membuat dadaku terasa sesak. Aku tau jarak Depok-Bandung bukanlah jarak yang terlalu jauh-masih untung keluargaku bukan tinggal di luar negri atau semacamnya-tapi tetap saja aku akan kehilangan. Aku terbiasa menghabiskan sehari-hariku dengan mereka, dan aku tak bisa membayangkan sehari saja tanpa mereka.

Dan kali ini bahkan bukan hanya sehari, melainkan berhari-hari.
Lalu bagaimana dengan Raiz? Apakah dia kuat menjalani LDR?

"Mama dan Papa tidur dulu, La. Jangan tidur malem-malem. Kita pindah 2 hari lagi. Mulai besok kamu harus mulai beres-beres barang-barang kamu." Setiap perkataan Mama mengandung perintah yang tidak kusukai.

Aku menghela nafas panjang. Aku hanya punya waktu 2 hari.

Pindah, aku mengulangi kata itu dalam hati.

The Day You LeftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang