Bab 4 - Hilang

132 8 0
                                    

Hari-hari berlalu lagi. Masih sama tidak menyenangkannya seperti hari pertama sekolahku. Masih sama hampanya seperti hari pertamaku di Bandung.

Selama di rumah maupun di sekolah, aku lebih sering tidak sadar. Bukan tidak sadar dalam artian pingsan–aku tidak pernah pingsan sejak aku tinggal di Bandung, padahal aku sangat berharap bisa pingsan saja–tapi aku tidak menyadari apapun yang ada di sekitarku, termasuk waktu. Jadi sebenarnya aku kaget saat menyadari 2 bulan pertamaku sudah terlewat.

2 bulan terasa cepat, juga terasa lambat.

Cepat, karena aku memang tidak peduli waktu berjalan. Bagiku waktu sudah berhenti sejak pertama kali aku meninggalkan Depok. Cepat, karena aku tau waktu sudah tidak ada artinya bagiku. Mereka sudah pergi–atau aku yang pergi–dan semuanya tidak akan pernah kembali seperti semula.

Lambat, karena rasa sakit dan hampa ini tidak pernah berkurang sejak pertama kali aku berada di sini. Dadaku selalu terasa sesak setiap kali aku ingat dia sudah tidak menginginkanku. Bahwa aku dan dia sudah tidak bersatu menjadi ‘kami’lagi. Bahwa jiwaku tidak akan kembali lagi bersatu dengan tubuhku. Bahwa paru-paruku tidak akan bernafas dengan oksigen lagi.

Gelombang kesakitan mulai menyerang diriku lagi setiap kali mengingat alasan kenapa aku kesakitan. Dan sulit untuk melupakan alasan itu ketika aku sudah terlanjur kesakitan. Maka selama ini, aku selalu berusaha untuk melupakan rasa sakitku setiap aku tidak merasakannya. Untuk menjaga diriku cukup untuk tetap hidup, meski masih jauh dari kata normal.

Aku hidup hanya dalam dua perasaan; benci dan hampa. Jadi kalau aku tidak mau memikirkan kesakitanku, aku pasti akan merasa benci. Benci pada semua hal. Benci pada rumahku, sekolah baruku. Benci pada hidupku. Benci pada semua aturan orang tuaku yang sangat ketat melarangku pergi ke Depok. Tapi meski begitu, aku tidak bisa membenci orang tuaku karena alasan apapun. Tidak bisa walaupun aku berfikir merekalah penyebab semua ini.

Jadi tepat setiap kali kebencianku mengarah pada orang tuaku, perasaan benci itu langsung lenyap. Lalu rasa sakit dan hampa menjalari hatiku. Lalu aku menangis tanpa suara. Sampai akhirnya waktu-lah yang memberiku cukup kekuatan untuk menghilangkan rasa sakitku. Lalu kebencian itu muncul lagi.

Pola seperti itu berlangsung terus dalam hidupku. Aku terkurung dalam dua perasaan, benci dan hampa.

Entah sampai kapan aku harus merasakan seperti ini.

***

Aku terbangun lagi setelah malam yang rasanya terlalu singkat bagiku. Saat tidur adalah satu-satunya kesempatanku untuk tidak merasakan apapun di hatiku. Satu-satunya kesempatanku untuk merasa tenang. Meski tidak jarang aku merasa sesak saat bangun. Biasanya aku kaget saat mendapati ketika aku terbangun aku sudah tidak berada di Depok lagi.

Kali ini aku sedikit beruntung, aku tertidur tanpa mimpi yang mengingatkanku tentang masa laluku. Jadi ketika aku terbangun, rasanya tidak terlalu sesak seperti biasanya. Kejadian ini memberi harapan di hatiku, mungkin suatu saat nanti aku akan normal lagi. Selama ini aku memang takut disangka gila. Mungkin aku memang aneh, tapi aku tidak gila.

Jam menunjukan pukul lima pagi. Aku terbangun di waktu yang normal sekarang. Perasaan senang yang aneh muncul di hatiku. Aku bergegas ke kamar mandi. Melakukan aktivitas pagi dengan kesadaran yang nyaris penuh sangat jarang terjadi.

The Day You LeftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang