Seminggu berlalu lagi. Perasaanku campur aduk sejak kejadian di parkiran, entah buruk atau baik. Aku memang agak lebih lega. Aku tidak terlambat menyadari perasaan sayangku pada Fauzi tidak lebih dari sekedar sahabat–tidak terbayang kalau aku baru menyadarinya saat aku sudah jadian dengannya, pasti aku menyakitinya. Aku juga sadar bahwa perasaan cintaku pada dia memang tidak bisa tergantikan dengan siapapun. Itu artinya aku tidak melanggar janjiku. Aku pernah berjanji padanya–saat kami masih jadian, tentu saja–bahwa aku akan selalu mencintainya sampai kapanpun. Mungkin janji ini tidak berarti apa-apa lagi baginya, tapi aku akan tetap menepati janjiku, sesulit apapun itu.
Tapi tetap saja, bagaimanapun juga, keadaan lebih buruk setelah Fauzi membaca surat itu–meski aku tidak tau pasti apakah dia sudah membacanya atau belum. Fauzi membenciku, mungkin aku memang pantas mendapatkannya, meskipun itu menyakitkan. Dan yang lebih buruk lagi, Aurel ikut membenciku. Tidak seperti Fauzi yang memang terang-terangan menjauhiku, Aurel tetap duduk di sebelahku, di bangku kami selama 6 bulan terakhir. Aurel tetap mau bicara padaku, meskipun aku tau ada yang berubah; Aurel tidak seantusias dulu, senyum cerianya juga memudar berganti wajah muram yang tidak kusukai.
Kesimpulannya, keadaan memang sangat, sangat, sangat, buruk. Meski tidak sepenuhnya menyedihkan.
Tapi aku lebih kuat sekarang, entah kenapa. Aku tidak dihantui mimpi buruk karena kehilangan Fauzi dan Aurel. Rasanya juga tidak sesesak saat aku kehilangan sahabat-sahabatku di Depok. Malam-malam menyakitkanku memang masih terus berlanjut, seperti 7 bulanku di sini, tapi itu karena aku kehilangan Depok, bukan karena Fauzi dan Aurel. Atau mungkin itu karena pengaruh mereka memang tidak besar di kehidupanku? Mereka memang sangat berarti, tapi hanya di Bandung, bukan seluruh hidupku. Lagipula, aku baru kenal dengan mereka 6 bulan lalu. Baru dekat bahkan sejak 4 bulan lalu, meski pengruhnya langsung dominan.
Apapun itu, aku berhasil melewati seminggu yang menyakitkan.
***
Hari jumat tepat seminggu setelah aku mengirim surat pada Fauzi, aku menerima balasannya. Aku tidak tau kapan Fauzi memasukkannya ke dalam tasku, tapi aku menyadarinya ketika jam pelajaran terakhir.
Hati-hati kubuka lipatan kertas itu. Semoga hatiku tidak terluka saat membacanya.
Maafkan aku juga membuat semuanya berantakan. Itu sama sekali bukan salahmu, jangan meminta maaf! Itu semua salahku.
Percaya atau tidak, ternyata perasaanmu sama denganku. Tadinya aku kira aku menyayangimu sebagai pacar, tapi ternyata tidak seperti itu. Aku menyayangimu sebagai sahabat terbaikku, sama seperti kau.
Satu hal lagi, karena aku mengungkapkan perasaanku padamu, aku jadi sadar selama ini aku sangat jatuh cinta pada orang yang sangat dekat denganku. Tapi itu tidak akan mengubah apapun karena aku tau perempuan itu tidak menyayangiku. Dan aku tidak ingin kehilangan perempuan itu.
Surat balasannya sempurna membuatku terkejut. Aku membaca ulang setiap kata dalam surat itu, memastikan aku tidak salah baca. Tapi berapa kalipun kubaca, isi surat itu tetap tidak berubah. Bel pulang berbunyi ketika aku membaca surat itu untuk yang kelima kalinya.
Aku berniat untuk menemui Fauzi sepulang sekolah. Aku ingin meminta penjelasan tentang paragraf terakhir dalam surat itu. ‘aku jadi sadar selama ini aku sangat jatuh cinta pada orang yang sangat dekat denganku.’ Memangnya siapa perempuan itu? Benar-benar membuat penasaran! Tapi langkahku terhenti saat seseorang menarik tasku. Ternyata Aurel.
“Boleh aku ngomong sama kamu? Bentar aja.” Tanya Aurel ragu-ragu. Wajah cerianya hilang sama sekali, berganti wajah muram yang menyiratkan kepedihan.
“Lama juga nggak apa-apa.” Aku meyakinkannya.
“Ke rumahku bisa?”
“Bisa! Kau mau naik mobilku?”
Aurel melirik Fauzi yang duduk di dekat pintu sesaat, lalu mengangguk. Dia langsung menarikku keluar kelas. Langkahnya tergesa-gesa.
“Kenapa buru-buru?” Tanyaku bingung.
“Nanti aku jelasin di rumah.” Aurel masih berlari. Langkahnya baru melambat saat kami memasuki parkiran. Aurel langsung menghampiri mobilku, dan langsung masuk begitu aku membuka kuncinya.
“Bisa ngebut, La?” Tanya Aurel saat aku mulai menjalankan mobilku. Wajahnya panik.
Aku belum pernah ngebut sebelumnya, tapi sepertinya tidak salah bila aku mencobanya sekarang. Aku mengangguk dan menekan pedal gas dalam-dalam. Mobilku bergerak cepat menuju rumah Aurel.
Berkali-kali Aurel melirik jam tangannya. Wajahnya memucat, tapi mencoba terlihat tetap tenang. Aku meliriknya sekilas, lalu kembali fokus pada jalanan. Berusaha mengemudi secepat yang aku bisa. Tapi melihat ekspresi Aurel, sepertinya mobilku belum cukup cepat baginya. Kutekan pedal gas lebih dalam lagi. Untungnya jalanan sedang lancar, jadi hanya dalam waktu 10 menit, kami sudah masuk ke komplekan rumahnya Aurel.
“Di depan belok kanan, La,” kata Aurel tiba-tiba.
“Rumahmu kan lurus, Rel?”
“Kita bukan ke rumahku. Kita ke rumah Fauzi. Ayo cepet.”
“Rumah Fauzi? Ngapain?”
“Penjelasannya panjang.” Jawab Aurel cepat. Dia melirik jam sekali lagi.
Mobilku melaju dengan kecepatan 40km/jam di dalam komplekan, untung saja tidak ada anak-anak yang bermain di jalanan, itu akan memperlambat laju mobilku. Tidak sampai 2 menit, Aurel bicara lagi.
“Itu rumah Fauzi.”
Rumah Fauzi ternyata jauh sekali dari yang kubayangkan. Rumahnya terlihat yang paling mewah di deretan komplekan ini. Sangat mencolok. Tapi menyiratkan kehampaan yang tidak kumengerti.
“Fauzi tinggal disini?” Tanyaku takjub. Aku menepikan mobilku dan mematikannya. Aurel langsung turun begitu kami sampai, tangannya tanpa ragu membuka pintu gerbang yang tidak terkunci.
“Ya.” Suara Aurel tercekat.
“Tunggu, Fauzi kan masih di sekolah, ngapain kita kesini?”
“Aku punya kuncinya juga.” Aurel mengeluarkan kunci dari dalam tasnya dan memasukkan ke lubangnya. “Dia nggak boleh tau kita kesini, makanya kita harus buru-buru.”
Aurel membuka pintu dan mulai melangkah masuk sementara aku ragu-ragu di ambang pintu. Apa yang harus kulakukan? Masuk rumah Fauzi tanpa sepengetahuan pemiliknya kedengarannya adalah hal buruk. Tapi melihat Aurel yang tak sabar menungguku, akhirnya aku masuk juga.
Pikiran lain muncul saat aku masuk. Kenapa rumah ini gelap sekali? Seolah-olah tidak ada orang di rumah bila Fauzi sekolah. Memangnya kemana kedua orang tua Fauzi? Apa mereka berdua bekerja? Kuabaikan semua pertanyaan itu. Aurel pasti akan segera menjelaskan semuanya, pikirku.
Seolah-olah sudah hafal mati seisi rumah, Aurel menyalakan lampu tengah tanpa perlu mencari-cari atau menebak-nebak. Kakinya langsung melangkah menyebrangi ruang tamu. Dia menghilang di balik lemari kaca yang membatasi ruang tamu dan ruang lainnya. Aku langsung melangkah mengikutinya.
Setelah melewati lemari kaca, ruang dalam lebih mengesankan lagi; di sebelah kiri ada ruang TV dengan sofa dan TV flat besar yang menggiurkan, sementara di sebelah kanan ada ruang makan yang bersebrangan dengan dapur dan ada pintu belakang yang sepertinya mengarah ke kebun belakang. Semua peralatan di rumah ini seakan-akan meneriakkan kata ‘mewah’. Aku jadi penasaran seberapa kaya orang tua Fauzi.
Aurel masuk ke satu-satunya pintu–yang kuduga menuju kamar–yang ada dihadapan kami. Pintu itu lagi-lagi tidak terkunci, seolah-olah pemiliknya membiarkan saja bila ada maling masuk.
“Masuk, La, ini kamar Fauzi.” Tangan Aurel menarik tanganku yang masih membeku.
“Kamar Fauzi?” Tanyaku setelah tersadar dari keterkejutanku. “Kamar orangtuanya di mana?”
“Orang tuanya...,” Aurel berkata ragu-ragu. “Nanti aku jelasin. Fauzi dateng kurang lebih 15 menit lagi, kalau dia tau kita di sini, dia bisa marah.”
“Kamu sering kesini tanpa sepengetahuan dia?”
“Baru kali ini.” Jawabnya sambil duduk dan mengacak-acak isi lemari Fauzi, seperti mencari sesuatu. “Nah ini dia!” Aurel mengeluarkan buku besar bersampul hitam bertuliskan ‘album foto’. Dimasukkannya album foto itu ke dalam tasnya. “Ayo kita balik La.” Aurel membereskan semua barang yang dikeluarkannya–caranya membereskan barang membuatku kagum, rapi sekali, seperti tidak ada yang berubah–kemudian beranjak melangkah keluar kamar. Aurel menutup semua pintu dan membuat kesan seolah-olah tidak ada dua orang yang masuk untuk mencuri album.
“Kita ke rumahmu?” Tanyaku saat Aurel melangkah ke mobilku. Sejak tadi aku hanya memperhatikan semua gerakannya saja.
“Ya. Album ini udah lama ngga Fauzi lihat. Dia pasti ngga akan sadar kalo aku ngambil album ini. Ayo kita ke rumahku, banyak yang harus kujelaskan.”
Aku menurut saja; kunyalakan mobilku dan segera mengemudikannya menuju rumah Aurel. Sepanjang 5 menit perjalanan, Aurel hanya diam saja, tapi terlihat seperti ingin menangis. Aurel terus-terusan melihat keluar jendela, tapi aku ragu dia benar-benar memperhatikan jalanan. Hati kecilku bertanya seperti itukah aku saat tidak sadar?
“Udah sampe, Rel.” Aku berkata ragu-ragu, takut merusak apa saja yang dia lamunkan, tapi kami memang sudah sampai di rumahnya. Aurel tersentak saat tersadar dari lamunannya.
“Yaudah ayo turun.” Katanya setelah berhasil menguasai diri. Aku mengangguk; kami segera turun dari mobil, dan masuk ke rumahnya. Mama Aurel menyapa kami dengan senyuman saat kami masuk, tapi Aurel hanya menunjukkan wajah tidak ingin diganggu.
“Salsabilla,” kami sudah di kamar Aurel sekarang, duduk diatas karpetnya yang tergeletak di tengah-tengah kamar. Aurel memanggilku, tapi tidak menatapku, pandangannya hanya tertuju pada album yang kini digenggamnya.“Aku..., nggak bisa basa-basi dulu sekarang, langsung aja ya, Fauzi suka kan sama kamu?” Yang kali ini Aurel mendongak dan itu membuatku tersentak dua kali; satu untuk pertanyaannya yang nyaris benar, dan satu lagi untuk wajah sedihnya. Aku membeku, tak tau harus bicara apa.
“Sudah kuduga.” Aurel berkata lirih. Bibirnya terangkat membentuk senyuman, tapi wajahnya tetap sedih. “Salsabilla, mungkin kekanak-kanakan kalo aku ngaku sekarang, aku suka sama Fauzi dari duluuuu banget. Tapi kamu tenang aja, La, kamu jangan ngerasa ngga enak sama aku, aku ngga bakal marah sama kamu, selama kamu ngelakuin yang terbaik buat dia.” Senyum tulus Aurel seolah membuktikan perkataannya tadi.
Aku ingin membantahnya, mengatakan Aurel salah paham, tpi suaraku seperti tertahan di tenggorokan. Dan sebelum aku sempat bersuara, Aurel sudah berkata lagi.
“Udah Salsabilla, aku ngga apa-apa kok.” Aurel tersenyum tulus, meski air mata terlihat menggenang di matanya. “Tapi aku mau ceritain kamu sesuatu tentang Fauzi yang selama ini cuma aku yang tau, kamu sebagai pacarnya harus tau, biar kamu ngga nyakitin dia.”
Aurel membuka album itu, dan di halaman pertama,terlihatlah sebuah foto berukuran besar. Foto Fauzi kecil digandeng oleh dua orang dewasa–yang kemungkinan besar adalah orang tuanya. Foto itu sempurna menarik perhatianku.
“Itu..., orang tuanya Fauzi?” Tanyaku bingung. Aku memang belum pernah melihat kedua orang tua Fauzi secara langsung, tapi entah kenapa muka itu terlihat familier bagiku.
“Ya. Ayahnya pemilik perusahaan terkenal di Bandung.” Jelasnya, lalu Aurel menyebutkan nama perusahaan yang membuatku tersentak. Nama perusahaan itu pernah masuk koran sekitar 4 tahun lalu karena bangkrut, aku ingat karena itu pernah jadi pembicaraan serius ayahku, perusahaan milik ayah Fauzi berhubungan dengan perusahaan tempat ayahku bekerja.
“Perusahaan itu yang 4 tahun lalu bangkrut?” Aku mencoba mengkonfirmasi.
“Iya. Kamu tau kenapa bangkrut?”
Aku menggeleng pelan.
“Ayahnya Fauzi meninggal.” Bisiknya.
“Meninggal? Kenapa?” Tanyaku kaget. Suaraku kelewat kencang hingga Aurel menyuruhku diam.
“Ya. Ayahnya terkena kanker. Itu mengenaskan sekali. Kamu bisa bayangkan kehidupan Fauzi yang serba mewah sejak kecil hingga dia SMP.” Aurel menghela nafas sebentar. “Aku tetangga sekaligus teman sepermainan Fauzi sejak TK, dan aku melihat bagaimana dulu Fauzi dan keluarganya menganggap harta adalah segala-galanya bagi mereka. Hingga tiba-tiba kanker darah itu datang menyerang ayahnya Fauzi, dan ironisnya, sebanyak apapun harta mereka, mereka tidak sanggup menyelamatkan ayah Fauzi.
“Perusahaan itu bangkrut, tapi keluarga mereka tidak. Sejak dulu ibunya Fauzi pandai mengurus harta mereka agar tidak boros. Beliau banyak berinvestasi. Jadi ketika kerabat-kerabat dan teman kantor ayahnnya jatuh miskin, keluarga Fauzi tetap mampu hidup makmur. Dan itu membuat keluarga mereka terkena banyak masalah. Banyak yang berusaha mencelakakan keluarga mereka agar bisa mengambil hartanya.
“Ibunya Fauzi mulai tidak tahan dengan semua tekanan itu. Terlebih lagi, dia tidak ingin Fauzi yang saat itu masih kelas 3 SMP ikut menderita atas semua musibah itu. Jadi ibunya mendatangi ibuku, memohon-mohon agar ibuku mau menjaga Fauzi. Tentu saja ibuku mau, hanya saja ibuku awalnya tidak mengerti kenapa ibunya Fauzi merasa harus menitipkan Fauzi.
“Seminggu kemudian, ibuku baru benar-benar mengerti. Ternyata selama ini ibunya Fauzi terkena kanker paru-paru stadium IV, dan rahasia itu beliau pendam sendirian. Hingga kemudian beliau jatuh pingsan di depan aku dan Fauzi, kami langsung membawanya ke rumah sakit, tapi sejak saat itu beliau tak pernah sadar lagi. Dan ternyata, selama ini, ibunya Fauzi sudah mempersiapkan semuanya untuk Fauzi. Diatur sedemikian rupa agar hartanya tidak jatuh ke tangan yang salah.
“Sejak saat itu, keluargaku dan Fauzi pindah ke perumahan ini–yang juga sudah disiapkan oleh ibunya Fauzi. Dan cerita pedih tentang keluarganya Fauzi cukup kami seorang yang tau. Tapi Fauzi mencintaimu, dan aku tidak ingin kau melukainya, meski aku cukup percaya padamu, jadi aku ceritakan semua ini.”
Aku dan Aurel hanya terdiam kemudian. Entah apa yang Aurel pikirkan, tapi otakku berkelana sejak hari pertama aku pindah ke sekolah ini. Semuanya terlihat jelas sekarang. Kenapa sejak awal Aurel tertarik denganku, senyum cerianya yang berusaha menghiburku, kenapa Fauzi seolah-olah mengerti kesakitanku, pembicaraan aku dan Fauzi di hari pertama..., aku juga ingat Fauzi pernah bilang “Sampai kapanpun luka akibat kehilangan nggak akan bisa dilupain La.” Di kelas, seusai kami rapat kelas dengan Santi. Semuanya sangat jelas sekarang.
Lalu aku teringat kalimat aneh dalam surat Fauzi ‘aku jadi sadar selama ini aku sangat jatuh cinta pada orang yang sangat dekat denganku.’ Jangan-jangan..., orang itu adalah Aurel?
Aku melirik Aurel yang sedang menunduk. Tentu saja iya! Tentu saja Aurel jatuh cinta pada Fauzi, dan Fauzi jatuh cinta pada Aurel. Kenapa aku bodoh sekali baru menyadarinya? Dan, lebih lagi, kenapa mereka bodoh sekali tidak saling menyadarinya? Ini bahkan lebih lama dari 12 tahun Mutia-Victor!
Tiba-tiba sebuah ide terlintas di benakku. Sepertinya aku tau apa yang harus kulakukan untuk menyelesaikan masalah ini
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day You Left
Teen FictionBagi sebagian orang, perpisahan hanyalah masalah kecil. Kalaupun perpisahan itu menyakitkan, rasa sakit itu tidak akan bertahan lama; seperti jejak kaki di atas tanah, jejak itu terhapus saat hujan turun. Tapi bagaimana denganku yang terlanjur dala...