Bab 15 - Pulang

169 5 0
                                    

Kami berangkat setengah jam kemudian, setelah aku membereskan pakaianku–persiapan agar bisa menginap selama seminggu di sana. Mama sudah mengizinkanku karena aku sudah benar-benar sembuh sejak seminggu lalu. Mama bahkan membolehkanku membolos class meeting nanti dan tidak ikut mengambil rapot, semua itu dilakukannya karena satu alasan; Mutia menceritakan semua tentang Raiz.
Meski selama kurang lebih 7 bulan terakhir ini Mama sangat menyalahkan Raiz, tapi Mama tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya bila aku dan Raiz pacaran lagi. Sejak dulu, sejak jadian dengan Raiz, Mama memang selalu mendukungku.
Sepanjang seperempat perjalanan awal, aku dan Mutia saling bertukar cerita–aku juga menceritakan tentang Fauzi dan Aurel. Tapi kemudian Mutia mengantuk. Semalam dia susah tidur karena memikirkan Raiz. Aku bahagia sekali mendengar empati Mutia pada sahabatnya, jadi kubiarkan dia tidur sementara aku memacu mobilku di jalan tol secepat mungkin.
***
Handphone Mutia tiba-tiba berbunyi ketika exit tol Depok tinggal beberapa kilo meter lagi.
“Dari Denissa.” Mutia menjawab rasa penasaranku. “Ya?” Kata Mutia saat mengangkat telponnya. “APA?! Iya, iya, gue bakal secepatnya ke sana.”
“Kenapa, Mut?” Tanyaku panik.
“Raiz..., kecelakaan.” Gumamnya lirih.
“KECELAKAAN?!” Tanyaku panik. Nyaris saja kakiku reflek menginjak pedal rem dalam-dalam. Kalau itu terjadi, bisa-bisa kami ikut kecelakaan.
“Iya, dia sekarang di Rumah Sakit Fatmawati”
“Dia kenapa?”
“Dia kecelakaan pas lagi ngebut di jalan tol. Tabrakan dalam kecepatan 100km/jam. Aku nggak tau dia berniat bunuh diri atau bukan, tapi aku bersyukur dia masih hidup.”
“DIA MAU BUNUH DIRI?” Lagi-lagi aku terlonjak kaget. Apa sih yang dia pikirkan? Kalau benar-benar Raiz mau bunuh diri, dia orang paling idiot yang pernah kutemui!
“Salsabilla tenang jangan panik. Lo ngga bisa nyetir dalam keadaan begini. Mending lo nepi dulu.”
“Kita ngga punya banyak waktu, Mut! Kalo terjadi apa-apa lagi sama Raiz, gue ngga akan maafin diri gue sendiri sampe kapanpun.” Kuinjak pedal gas lebih dalam lagi. Secepatnya harus bisa sampai sana!
Mutia tidak membantahku. Membiarkan aku mengebut sementara kini perhatiannya terfokus pada handphone-nya. Sepertinya Mutia sedang sms-an dengan Denissa, aku tidak tau. Apapun itu, semoga aku tidak dapat kabar buruk lagi tentang Raiz.
Perjalanan yang rasanya bertahun-tahun itu akhirnya berakhir juga. Mobilku berhasil sampai dengan selamat di lobby Rumah Sakit Fatmawati.
“Udah lo turun aja. Biar gue yang parkirin.” Teriak Mutia. Dan tanpa disuruh dua kali, aku langsung bergegas masuk ke dalam.
Victor sudah menungguku di dalam, sepertinya dia sudah disuruh Mutia untuk menunjukkan kamar Raiz padaku. Aku langsung menghambur memeluk Victor. Aku, kan, sudah tidak bertemu dengannya sejak kepidahanku.
“Victor gue kangen banget sama lo!” Jeritku sambil terus memeluknya. Tapi sedetik kemudian langsung kulepaskan pelukanku, “mana Raiz? Dia baik-baik aja kan?”
“Dia baik-baik aja, La, tenang aja. Nggak ada yang patah, meski kakinya retak, tapi nggak kenapa-napa kok. Semua lukanya juga udah di perban.” Katanya menenangkan. “Ayo kita ke kamarnya. Dan, ohya, gue juga kangen sama lo.”
Victor menuntunku ke kamar tempat Raiz dirawat. Dan, ya Tuhan, menyedihkan sekali aku harus melihat Raiz dalam keadaan seperti ini. Aku sejak dulu memang berharap bisa bertemu Raiz lagi, tapi tidak di rumah sakit!
Mata Raiz terpejam, seperti sedang tidur. Tapi kemudian Victor berbisik, mengatakan Raiz belum sadar sejak kecelakaan. Dan itu langsung memberi gelombang kepanikan di hatiku. Aku mendekat ke ranjangnya. Tanganku meraih tangannya sementara tetesan air mataku membasahinya.
Ajaib. Tepat ketika tetesan air mataku membasahi tangannya, jari-jari Raiz mulai bergerak. Kelopak matanya bergerak-gerak seperti berusaha membuka. “Raiz? Kamu bisa dengar aku kan? Kamu baik-baik aja kok, jangan khawatir, aku ada di sini.” Ujarku lembut. Takut kata-kataku tadi ada yang membuat Raiz justru kesakitan.
“Salsabilla?” Kelopak matanya terbuka sempurna sekarang. Menatap bingung ke arahku. “Kenapa lo ada di sini?”
“Raiz oon, bego, tolol, bodoh, idiot, nyebelin, ngeselin, sok tau, gue sayang sama lo...,” tangisku semakin banjir sekarang, tak mampu kutahan-tahan lagi. Dan aku menangis bukan karena 7 bulan menyakitkan tanpa dia, tapi karena ternyata dia tidak bahagia tanpa aku. Seandainya aku tau dia tidak bahagia, aku pasti rela melakukan apa saja agar dia tersenyum lagi.
“Salsabilla, aku juga sayang kamu. Jangan nangis ya.” Tangan Raiz melepaskan genggamanku, tapi membelai-belai rambutku sekarang. “Maaf aku pernah bohong bilang udah nggak sayang sama kamu. Aku nggak tau kalo itu justru bikin kamu sedih, maaf.”
“Maaf juga karena aku nggak pernah kesini buat tau gimana keadaan kamu. Seandainya aku tau kamu nggak bahagia...,”
“Ssst.” Raiz menempelkan telunjuknya di bibirku untuk mencegahku bicara lagi. “Aku nggak tau ini ide bagus atau nggak, tapi gimana kalo kita sama-sama lupain kesalahan kita selama 7 bulan lalu? Biar nggak sedih lagi. Salsabilla cantik, kamu mau kan maafin aku?”
“Itu ide bagus kok. Dan, ya, aku maafin kamu. Kamu mau maafin aku?”
“Nggak ada yang bisa marahin kamu sayang,”
“Tapi aku bisa marah sama kamu!” Kupasang wajah cemberut agar seolah-olah aku memang marah padanya–padahal, mana bisa aku marah pada sosok lelaki yang sempurna ini? “Kamu ngapain sih sampe bisa kecelakaan gini? Kalo kamu emang niat bunuh diri, kenapa kamu nggak mikir-mikir dulu sih? Pikirin orang tua kamu! Sodara-sodara kamu, Denissa, Roy, Mutia, Victor! Pikirin aku. Aku juga pasti sedih kalo kamu nggak ada sekalipun aku udah nggak cinta sama kamu.”
“Emang kamu beneran nggak cinta sama aku?”
“Ya cintalah, oon!” Aku masih mencoba marah-marah.
“Jangan marah dong, sayang. Siapa juga yang mau kecelakaan? Oke, mungkin emang aku yang tolol nyetir sekenceng itu dalam keadaan sedih, tapi aku bener-bener stress, sayang. Maafin aku.”
“Aku ngga peduli kamu stress atau gimana, kalo sampe ada apa-apa lagi sama kamu, aku nggak akan maafin diri aku sendiri.” Kali ini aku benar-benar marah pada diriku sendiri. Menyumpahi betapa pengecutnya diriku selama ini. Seandainya saja saat di mall itu aku menghampiri Raiz dan menceritakan siapa itu Fauzi. Seandainya saja sejak dulu aku tidak takut pergi ke Depok dan menjelaskan betapa berartinya Raiz dalam hidupku. Air mataku tanpa terasa menetes lagi.
“Udah jangan sedih dong, sayang.” Raiz mengusap pelan air mataku. “Jadi sekarang kita balik lagi?” Tanyanya riang.
Aku hanya sanggup mengangguk.
“Dan cowok yang aku liat bareng kamu di mall itu?”
“Bukan siapa-siapa aku.”
“Jadi kamu selama ini masih sayang aku?” Raiz bertanya lagi. Seolah semua omonganku tadi belum cukup meyakinkannya.
Aku mengangguk mantap.
Tangan Raiz terangkat, berusaha meraih puncak kepalaku, tapi sebelum itu terjadi, suara 4 anak manusia menghentikan gerakan kami.
“CIEEEE ADA YANG BALIKAN.” Teriak Mutia, Victor, Roy, dan Denissa berbarengan. Mereka bahkan lupa kalau kami berenam ada di rumah sakit sekarang.
“Oon, berisik banget lu pada.” Balasku marah. Tapi toh akhirnya aku ikut tertawa juga bersama mereka. Dan rasanya, hari itu aku tau, semua akan kembali utuh lagi.

The Day You LeftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang