Sepanjang sore, kepanikan muncul di hatiku. Bagaimana aku harus menghadapi ujian sementara selama ini aku merasa tidak pernah benar-benar belajar?
Aku terkadang mendengarkan penjelasan guru, mencatatnya dengan rapi di buku catatanku, mengerjakan semua tugas yang diberikan guruku, tapi aku tidak pernah benar-benar sadar saat melakukannya. Aku seperti robot–tubuh dengan otak yang sudah diprogram untuk melakukan kegiatan sehari-hari, tapi tidak punya jiwa. Bahkan kalau dihitung-hitung, aku lebih sering tidak sadar daripada sadar.
Cukup lama aku memikirkan tentang ujian itu hingga akhirnya aku memutuskan untuk meminta Aurel mengajariku. Agak kurang ajar mungkin, mengingat aku baru dekat dangan Aurel tadi pagi, tapi aku sudah berani-berani merepotkannya. Tapi apalagi pilihan yang kupunya?
Malam itu aku tertidur dengan mimpi yang–untuk pertama kalinya–tidak berkaitan dengan Depok sama sekali. Aku bermimpi aku sedang di kelas mengerjakan ujian yang tidak kumengerti. Saat aku terbangun, rasa sesak yang biasanya menghampiriku kali ini tidak terlalu banyak. Tapi sebagai gantinya, kepalaku terasa pusing sekali karena memikirkan ujian.
Aku melakukan semua aktifitas pagiku tanpa menjadi robot sama sekali. Ini membuatku takjub pada diriku sendiri. Aku berusaha mengingat kapan aku pernah sadar sepenuhnya di Bandung. Aku meringis saat aku tau jawabannya, tidak pernah.
Sarapanku bahkan hampir terasa di mulutku–biasanya semua makanan yang kurasakan rasanya hambar, meski rasanya masih jauh dari enak. Mungkin kurang lebih begitulah perasaanku, mulai membaik meski masih sangat jauh dari kata sempurna.
Tapi mendadak, saat sedang di jalan menuju sekolah, kepanikan lain muncul dalam hatiku.
Bagaimana kalau akhirnya aku tidak mengingat mereka lagi? Bukan berarti aku lupa mereka sahabatku, tapi aku lupa bagaimana bahagianya aku saat bersama mereka. Betapa aku merasa sangat hidup saat mereka ada.
Pikiran tentang itu dan kenangan-kenanganku bersama mereka mulai menguasai otakku lagi.
Saat aku sadar, aku sudah berada di kelas. Lagi-lagi seisi kelas sudah rapi, guru sudah berdiri di depan mengajarkan Matematika. Aku takjub saat melihat buku matematikaku sudah ada di meja, otak robotku memang sempurna sekali, sayangnya itu bukan hal yang bagus.
Ingatan tentang ujian itu melintas dikepalaku. Kupandangi Aurel yang sedang asyik memperhatikan guru.
“Rel?” Tanyaku ragu-ragu.
Aurel menoleh, menghentikan catatannya. “Kenapa, La?”
“Eh, nggak jadi deh. Kau perhatikan saja dulu pelajarannya.”
“Materi ini udah pernah dipelajarin sebelumnya kok.” Katanya ceria. “Ada apa?”
“Hmm kalo nggak merepotkan, boleh nggak aku minta tolong?”
“Tentu.”
“Soal pelajaran, Rel, aku ragu bisa mengerjakan ujian dengan lancar nanti.”
“Kau mau belajar di rumahku sepulang sekolah?”
“Mungkin,” aku ragu Mama akan membiarkanku mampir dulu sepulang sekolah. Tapi ini kan urusan pelajaran. Toh aku sudah memutuskan untuk menuruti kata-kata Mama sampai Mama memberi aku celah untuk kabur, jadi tidak ada salahnya kalau kucoba dulu.
“Hmm,” Aurel terlihat ragu-ragu sesaat. “Mau belajar berdua aja atau bareng orang lain? Aku sebenernya udah janji mau belajar bareng sama orang, tapi bisa dibatalkan.”
“Nggak usah.” Kataku cepat. Aku sudah cukup merepotkan Aurel. “Kita belajar sama-sama aja, aku janji aku tidak akan mengganggu kalian.” Janjiku.
“Baiklah.” Ujarnya ceria. Lalu Aurel kembali memperhatikan penjelasan guru. Maka sepanjang seharian itu, aku berusaha keras untuk konsen pada pelajaranku.
***
“Kau pulang sama siapa, Rel?” Tanyaku saat aku dan Aurel sedang membereskan barang-barang kami. Sebagian otakku kini takjub betapa mudahnya aku berkomunikasi.
“Eh, sama seseorang.” Katanya malu-malu. Kalau tidak salah aku bisa melihat semburat merah di wajahnya.
“Pacarmu?” Aku sedikit kaget. Aurel tidak pernah menceritakannya dan aku tentu tidak pernah kepikiran untuk bertanya.
“Bukan. Tentu saja bukan.” Sergahnya. “Dia tetanggaku. Karena rumahnya deket jadi kami selalu pulang bareng.”
“Oh.” Hatiku sakit saat mendengarnya. Dulu aku dan Mutia juga selalu pulang bareng.
Ribuan kenangan bersama teman-temanku mulai membanjiri kepalaku, berusaha merebut perhatianku. Tapi sekuat tenaga kulawan keinginan diriku untuk memikirkan mereka. Aku harus sadar. Banyak hal yang harus kupikirkan sekarang.
“Pulang sekarang yuk, La.” Ajak Aurel. Aku mengangguk setuju. Kami segera melangkah keluar kelas. Tadi Arfel menungguku di pintu–dan lagi-lagi aku merasa Amalia sedang menatapku tajam. Tapi kali ini Arfel tidak menyapaku. Dia hanya memandangi kami, melayangkan pandangan tidak suka pada Aurel, lalu tersenyum kepadaku. Sepertinya dia tidak senang melihat kali ini aku tidak sendirian.
“Kau pulang naik apa?” Tanya Aurel sambil berjalan.
“Naik mobil. Mamaku over protective denganku, dia memfasilitasiku dengan mobil dan supir yang sebenarnya tidak kubutuhkan.” Aku tidak bohong soal itu. Mama memang mengizinkanku pergi belajar bersama Aurel, tapi tetap dalam pengawasan Pak Karmin.
“Kelihatannya kau tidak senang.”
“Sama sekali tidak.”
“Benarkah?”
“Tentu saja.” Jawabku ketus. Kekesalanku karena dikurung belum berkurang. Aku sudah mencoba patuh selama 2 bulan, tapi Mama tidak menunjukan tanda-tanda ingin membebaskanku.
“Waw, padahal banyak orang yang berharap bisa pulang pergi diantar supir, seperti kau.”
“Benarkah?” Aku balik terkejut. Apa enaknya dikurung seperti aku?
“Tentu. Enak, kan, tidak capek.”
“Tidak seenak yang kalian bayangkan.”
“Dan tidak semenyebalkan yang kau pikirkan.”
“Setuju!” Aku mengajak berdamai. Aurel tertawa riang.
Saat kami tiba di koridor lantai 1, lagi-lagi aku melihat Fauzi. Aku penasaran hari ini apa lagi yang mau dia bicarakan? Bukankah kemarin dia sudah meminta maaf karena menggangguku?
Tapi ternyata bukan aku yang Fauzi tunggu.
“Fauzi.” Sapa Aurel. Nadanya bahkan lebih riang dari biasanya. “Kamu udah nunggu lama? Maaf ya.”
Pandangan Fauzi beralih padaku. “Pantes kamu lama.” Nadanya seolah-olah mengejekku. “Dia mau nebeng pulang juga?”
“Dia mau belajar sama kita, nggak apa-apa kan?”
“Tentu.” Fauzi tersenyum, entah pada siapa. Lalu dia melangkah cepat ke parkiran.
“Oke. Sampai ketemu di rumahku.” Aurel melambaikan tangan padaku.
“Tunggu, aku kan nggak tau rumahmu.”
“Ikuti saja motor kami.” Katanya riang sambil berlari mengikuti Fauzi.
Dalam hati aku bertanya-tanya, benarkah mereka tidak pacaran?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day You Left
Teen FictionBagi sebagian orang, perpisahan hanyalah masalah kecil. Kalaupun perpisahan itu menyakitkan, rasa sakit itu tidak akan bertahan lama; seperti jejak kaki di atas tanah, jejak itu terhapus saat hujan turun. Tapi bagaimana denganku yang terlanjur dala...