Chapter 6: Sisters and Monsters

158 23 4
                                    

Pandangan Mea terpaku pada adiknya yang masih menari di lantai dansa. Club kecil ini sudah terlalu padat oleh anak-anak muda berpakaian tipis dan terbuka. Bahkan tak segan-segan mereka saling menempel dan menyentuh.

Mea hanya menghela nafas, ia tidak berniat mengacaukan pesta adiknnya ini. Hanya saja ia akan memantau apa bila terjadi sesuatu yang berbahaya pada adiknya. Misalnya seorang anak muda yang kelihatannya sedikit lebih tua dari adiknya itu.

Dengan santainya bocah laki-laki itu menggaet pinggang Veronica. Ia tak menunjukan ekspresi menolak, malah dengan santai memeluk dan menari bersama laki-laki itu.

Mea hanya tertawa pelan. Ia sudah menduga akan seperti ini jadinya, apabila adiknya tumbuh dibawah pengawasan orang tuanya. Namun jika hanya sebatas ini ia tak perlu mengamuk, ia hanya ingin mengawasi adik-adiknya.

Namun belum satu jam Mea duduk, ia melihat adiknya dibawa oleh bocah yang baru ia kenal. Mea bergegas bangkit dan membayar kemudian mengikuti mereka.

Mereka tidak keluar lewat pintu depan, melainkan lewat pintu belakang. Mea sudah menebak mereka akan melakukan apa, dan demi apapun ia tak akan membiarkan itu terjadi.

Maka sebelum bocah laki-laki itu mencium bibir Veronica. Kaki mea sudah menampar pipinya, membuat bocah laki-laki itu terpental cukup keras menabrak pagar kayu.

Tatapan Mea kini beralih dari tubuh bocah yang kesakitan itu ke adik perempuannya. Demi apapun, Veronica masih berusia 12 tahun dan ia sudah mabuk didepannya.

"Apa yang kau lakukan??"sorak Veronica kesal.

Mea tak mempedulikan itu dan langsung menggendong adiknya seperti sekarung beras. Cukup dengan semua sikap pubertas kelewat batas yang dilakukan adiknya. Ia membawa pulang Veronica meski secara paksa.

.
.
.
.
.

Senyumnya begitu lebar, gigi-gigi yang semuanya berupa taring tajam tersusun rapi. Membentuk sebuah senyuman lebar yang mengerikan, yang tentunya tidak seperti manusia biasanya.

Kulit yang putih seperti kapas, namun  sedingin es. Ia tak memiliki telinga, hidung maupun mata. Kepala botaknya tertutup topi fedora hitam, ia mengenakan Trench Coat hitam panjang. Kedua tangannya menyusup kedalam kantong, ia berdiri tegak menyaingi tiang lampu taman yang tinggi.

Ia tengah "mengawasi" seorang wanita yang tengah menggendong gadis yang mabuk. Awalnya hanya berniat berkeliling mencari mangsa, namun siapa yang menduga bahwa ia akan bertemu dengan wanita menarik itu lagi.

Kelopak mawar berjatuhan dari balik Trench Coat nya, semerbak aroma mawar mulai menyebar dengan lembut. Setiap kelopak mawar yang berjatuhan dan menyentuh tanah, akan menghitam dan layu.  Semakin wanita itu menjauh, ia tergerak untuk melangkah mengikuti meski perlahan.

Untuk sesaat wanita yang ia ikuti terhenti, membuatnya tertarik untuk tahu. Apakah wanita itu menyadari kehadirannya? Apakah wanita itu tau ia diikuti?...

Mungkin iya...

Namun wanita itu justru melanjutkan langkahnya, meski gadis di bahunya menjerit dan memaki tak karuan.

Kagum?

Tentu saja kagum. Seorang Offenderman kagum dengan stamina wanita itu yang tak goyah meski menggendong seorang gadis remaja di bahunya sedari tadi.

Mungkin tak akan masalah apa bila ia mengganggu wanita itu, dan menculik keduanya. Lagi pula tempat itu sedang sepi karena telah larut malam.
.
.
.
.

Mea terdiam takala ia mencium aroma mawar yang begitu lembut menyapu hidungnya. ia sedikit menggeleng karena mengira itu aroma parfum Veronica, namun setelah diingat. Bukankah veronica justru berbau alkohol?.

Shotgun and Roses ( Offenderman X Oc)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang