4. SENDIRI

1.4K 82 2
                                    

Sudah seminggu setelah peristiwa ulang tahun gagal itu. Shabiya terus mendiamkan Yama. Bahkan memasakpun sudah tak pernah lagi. Tidur selalu dikamar sebelah, walau akhirnya ketika terbangun selalu saja berada dalam pelukan Yama. Yuni dia tidak tahu kabarnya. Karena semenjak terakhir bertemu Shabiya mematikan ponsel. Ia ingin tenang dan sendiri. Dia ingin menikmati sakitnya sendirian sampai merasa puas, hingga akhirnya menyisakan ketegaran untuk langkah berikutnya.

Tok..tok..tok.
Suara pintu diketuk. Shabiya beranjak dari kursi riasnya. Sedari tadi dia duduk disana. Malas untuk kemana mana. Sekarang dia lebih banyak mengurung diri dikamar.

Ceklek. Dilihatnya si mbok berdiri di depan pintu dengan membawa nampan makanan. Ada nasi, ikan mas bakar, sambal dan lalap timun serta oseng kangkung kesukaannya.

"Nyonya sedari pagi belum makan. Ini sudah jam sebelas. Si mbok masakin ini khusus buat nyonya. Makan ya. Kasihan si dede kecilnya. Dia butuh makanan bergizi agar tumbuh sehat."

"Makasih mbok. Tolong simpan saja di meja balkon. Shabiy pasti makan. Pagi tadi mual mual jadi belum bisa makan. Tapi Shabiy makan biskuit kok, yang kemarin mbok beli itu. Makasih ya mbok." Ucap Shabiya.

" Iya Nya. Yang sabar ya Nya. Si mbok kembali kedapur ya. Jangan lupa dimakan biar si mbok senang masakan si mbok ada yang makan. Tadi pagi tuan Yama juga gak makan. Katanya lagi gak nafsu makan. Ya udah nya si mbok kedapur dulu."

**************

Dikantor YDG CORP.
"Tuan, nyonya Shabiya sudah makan. Simbok bilang habis semua. Sekarang tuan sudah tidak perlu khawatir lagi." Yusuf memberikan laporan tentang nyonyanya setelah diperintahkan untuk memantau kondisi Shabiya oleh Yama.
Yama begitu khawatir, karena aksi diam dan tutup mulut Shabiya telah berjalan satu minggu. Sebenarnya Yama rindu Shabiya, rindu perhatiannya, rindu sentuhannya, rindu kelembutannya. Tapi kini nasi sudah menjadi bubur. Tidak hanya Shabiya ada wanita keduanya juga yang harus mendapat perhatian. Putri yang saat ini juga sedang mengandung anaknya. Entahlah Yama merasa harus bisa membahagiakan keduanya, Shabiya dan Putri. Sekarang mereka adalah tanggung jawabnya hingga akhirat kelak. Dia akan membimbing keduanya dan berusaha untuk memahami keduanya dalam mahligai yang ia adalah imamnya. Itulah tekad Yama sekarang. Dia berfikir mungkin saat ini Shabiya masih membutuhkan waktu untuk belajar menerima takdirnya, menjadi isteri pertama bukanlah hal menyedihkan bila ikhlas sudah diraih.

" Shabiya bagaimanapun aku sangat mencintaimu. Bahkan cintaku padamu melebihi cintaku pada Putri. Apa itu belum cukup bagimu?" Bisik hati Yama dalam gelisahnya.

**********************

"Mbok, apa Shabiya sudah makan?" Yama bertanya pada Mbok Karnah begitu mendudukkan pantatnya di kursi. Didepannya telah terhidang berbagai masakan. Namun rasanya masih belum lengkap tanpa hadirnya Shabiya mendampinginya makan.

" Sudah Tuan. Tadi jam 7. Mau saya ambilkan makannya tuan?. Yama menggeleng.

"Tolong panggilkan Shabiya Mbok. Bilang padanya saya mau bicara."

Mendengar titah tuannya mbok Karnah bergegas naik ke lantai dua menuju kamar yang baru seminggu ini ditempati nyonyanya. Kamar yang terpisah dari kamar utama. Meskipun pada akhirnya hampir setiap hari ketika Shabiya membuka mata dari tidurnya sudah berada dalam pelukan Yama.

Yama melihat Shabiya mulai menuruni tangga. Mengenakan gaun rumah biasa berwarna hijau muda dengan kerudung yang sama warnanya. Terlihat anggun dan sederhana, tanpa make up. Meskipun demikian terlihat cantik. Namun kali ini kecantikan itu tidak paripurna karena tanpa senyum manisnya yang biasanya tersungging dibibir sexi itu. Ahhh ...Yama mendesah. Itu juga karena salahnya, seandainya dia tidak pernah tergoda akan kemolekan tubuh Putri. Mungkin saat ini semuanya baik-baik saja.

Shabiya duduk di seberang meja, berhadapan dengan Yama. Namun hanya diam dengan wajah datar tanpa ekspresi. Membuat Yama sedih. Mengapa harus seperti ini. Apakah satu minggu masih belum cukup untuk Shabiya bisa memaafkannya? Tampaknya Yama harus lebih bersabar lagi.

"Sayang. Kita makan ya. Sini biar kusuapi."

Yama mendekat kemudian duduk disamping Shabiya sambil menyorongkan sesendok nasi pada mulut isterinya. Shabiya menggelengkan kepala menolak membuka mulut.

Yama mendesah, menarik nafas perlahan. Matanya menatap Shabiya sendu. Shabiya terdiam menunduk dengan wajah datar tanpa ekspresi apapun.

"Shabiy, sampai kapan kamu akan diam seperti ini? Please bicaralah. Aku merindukanmu, sayang. Please kembalilah seperti Shabiyaku yang dulu. Aku sangat mencintaimu Shabiya. Kumohon maafkan aku."

     Shabiya tidak bergeming. Mulutnya terkunci. Pandangan matanya menatap lukisan disebelah suaminya bukan pada Yama. Dia tidak perduli dan tidak mau mendengar. Shabiya berdiri dari duduknya, berjalan menuju lukisan itu. Lukisan sepasang insan sedang tersenyum bahagia. Sang wanita yang menatap kamera dengan senyum yang lebar dan sang lelaki yang memeluk pinggang wanitanya erat juga dengan senyum yang lebar. Itu adalah foto yang dibuat ketika mereka berbulan madu di Bali seminggu setelah menikah. Kemudian foto itu dibuat menjadi lukisan yang dipesan Yama kepada pelukis terkenal di Bali. Diambilnya lukisan itu kemudian ...pranggg...Shabiya melempar lukisan berbingkai mahal itu. Sambil menunjuk dengan linangan air mata dia berkata,

     "Apapun yang sudah pecah dan hancur berantakan tidak mungkin bisa menjadi utuh kembali. Sekalipun anda bisa merangkainya lagi tetap saja itu akan menjadi berbeda dan tidak utuh kembali. Seperti itulah hubungan kita sekarang. Tuan."

      Tanpa menoleh Shabiya cepat berjalan bahkan setengah berlari menuju tangga dimana kamarnya berada. Yama bergerak cepat menyusul isterinya. Meski terkejut tak menyangka jika Shabiya  bisa berbuat seanarkis itu. Karena sebelumnya Shabiya adalah wanita yang lemah lembut. Selama lima tahun mengenalnya Yama belum pernah melihat sifat seperti ini. Berhasil menangkap tubuh Shabiya, Yama memeluknya dengan kencang. Tepat ditiga anak tangga lagi. Yama menggendong Shabiya membawanya kekamar utama mereka. Masih menggendong tubuh isterinya dikuncinya pintu kamar kemudian menurunkan Shabiya yang sejak tadi terus berontak. Shabiya sesenggukkan kadang berteriak kencang.

     "Lepaskan! Lepaskan aku brengsek. Lelaki bajingan. Penghianat. Aku tak sudi disentuh lagi olehmu. Lepas, lepas. Hiks...hiks. Aku membencimu. Cerai, ceraikan saja aku Yama. Bajingan!"

   Yama semakin erat memeluk Shabiya. Membiarkan isterinya mengumpatinya. Melepas kemarahannya dan berharap setelah ini Shabiya kembali tenang seperti dulu lagi. Dia membiarkan Shabiya memukuli tubuhnya, wajahnya. Dia rela asal Shabiya setelah ini merasa terlampiaskan kemarahannya.

     Semakin lama pukulan itu mereda. Shabiya sudah lelah. Saat itulah Yama berbisik,

   "Maaf, maaf, maaf sayang. Tolong bertahanlah disampingku, aku sangat mencintaimu. Kumohon kembalilah menjadi Shabiyaku seperti dulu. Aku mencintaimu, sampai kapanpun aku tak kan pernah melepasmu. Tempatmu adalah disisiku."

      Yama mengecup pipi isterinya yang kini sudah memejamkan mata. Tertidur dipelukan Yama. Dengan pipi yang penuh linangan air mata. Dibawanya tubuh Shabiya ke atas ranjang. Menyelimutinya kemudian mengecup kening, pipi terakhir bibir isterinya yang sangat Yama rindukan senyumnya. Yama berdiri hendak kekamar mandi. Namun gawainya berbunyi. Dirogohnya saku celana dilihatnya nama Putri my wife disana. Yama tersenyum ini pasti ulah isteri keduanya itu yang mengganti nama kontak di gawainya. Mungkin Putri cemburu karna Yama menyimpan nama Shabiya dikontaknya dengan nama Bidadari isteriku.

     "Halo sexy. Ada apa menelponku hmmm..? Baru ditinggal sebentar saja  sudah kangen ya?"

     "Mas perutku sakit..."

     "Apa...baiklah mas segera kesana."

     Dengan langkah lebar Yama berjalan keluar kamar. Perlahan menutup pintu agar tidak membangunkan Shabiya, yang tidak dia sadari adalah Shabiya mendengar pembicaraan telepon itu. Ya Shabiya terbangun ketika Yama tadi mulai mengecupi wajahnya. Dengan berlinang air mata namun terpejam rapat dia bergumam.

     "Apa yang kuharapkan dari ikatan pernikahan yang seperti ini? Tolong lepaskan aku biarkan semua ini berakhir ya Allah."

   Malampun dilalui Shabiya hanya dengan isak tangis. Lagi dan lagi. Sampai akhirnya tertidur karena lelah menangis.

TEGARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang