POV SHABIYA
Mataku mengerjap, memandang sekeliling ruangan. Sepi, dingin kurasakan hampa dan perih itu masih mendominasi. Kalau bisa aku hanya ingin tertidur saja agar melupakan segala rasa sakit ini. Ya Allah apa yang akan terjadi selanjutnya pada keluarga kecilku. Kuraba perutku yang masih datar ini, mengusap perlahan. Sambil menitikkan air mata, ku berbisik perlahan.
" Sayang...bertahanlah. Mama akan berusaha kuat demi kita, walau hanya kita berdua yakinlah kita akan bahagia. Nanti jika kamu semakin besar jangan tanyakan dimana papa mu ya nak, mama... mama yang akan selalu ada untukmu. Mama sayang padamu, kamulah kekuatan mama selanjutnya sayang. Jadi kuatlah meski mama sedang lemah sampai kamu lahir walau tanpa papa."
Aku beranjak dari tempat tidur. Berusaha tegar. Kuhirup udara shubuh dengan perlahan dan panjang kemudian kulepas perlahan. Setidaknya ini membuatku sedikit tenang. setelahnya ku pergi ke kamar mandi, mengambil wudhu dan melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslimah. Berharap setelah ini aku mendapat kekuatan untuk berhadapan dengan suamiku. Setidaknya aku berhak mendapat penjelasan atas semua ini. Tindakan apa yang akan kulakukan nanti, tergantung setelah mendengar penjelasannya. Aku beranjak keluar kamar. Ku buka pintu, alangkah terkejutnya setelah melihat sesosok yang semalam kuhindari masih tertidur didepan pintu kamar ini. Tanpa alas dan masih memakai baju kerja yang kemarin ia gunakan. Mengingat ulahnya kemarin aku merasa sedih. Tapi sekarang melihat dirinya seperti ini aku juga merasa sedih dan iba. Tapi rasa sakit itu sungguh sulit dilupakan, maka aku pun terus melangkah mencoba tak peduli padanya.
Aku memasak ikan nila goreng, pepes jamur, balado teri, dan sayur bayam kunci. Kuhidangkan dimeja makan. Aku lapar dan sekarang aku butuh asupan gizi bukan hanya untukku tapi anakku. Aku tak peduli lagi pada suamiku saat ini. Terserah dia mau makan atau tidak.
POV YAMA
Aku terbangun dan setelah sadar aku tertidur di depan pintu kamar calon anakku. Semalam aku memutuskan untuk tidur disini demi menunggu Bhiya, isteriku. Apa dia sudah bangun? Hidungku mencium wangi masakan, ahh dia sudah bangun. aku harus cepat membersihkan diri agar cepat bertemu kekasih hatiku Bhiya. Aku tersenyum namun ketika mengingat perbuatanku, aku kembali sedih akankah Bhiya memaafkanku. Bagaimana kalau dia tak mau bertahan dan memilih berpisah? Ya Allah, semoga itu tidak terjadi. Apapun yang terjadi aku tidak akan pernah melepaskan mu Bhiya. Aku sangat mencintaimu. Apalagi kau sedang mengandung anak kita. Aku akan tetap membuatmu disampingku bagaimanapun caranya.
POV END
Shabiya sedang makan, terlihat tidak bernafsu namun dia memaksakan makan meski sambil melamun. Yama muncul di ruang makan dan langsung memeluk tubuh isterinya seraya berbisik.
"Sayang Bhiya, maafkan aku ya. Jangan seperti semalam aku takut, aku merindukanmu. tolong maafkan aku sayang."
Tak ada jawaban. Tapi dirasakan oleh Yama tubuh Bhiya menegang. Tak lama tangan Bhiya mengurai pelukan Yama dari tubuhnya. Dia berdiri mengambil piring kemudian menyendok nasi, ikan nila, balado teri dan sedikit sayur bayam. Diraihnya tangan Yama kemudian memberikan piring yang sudah terisi itu padanya, dituntunnya Yama untuk duduk dikursi sebrang berhadapan dengan Bhiya tanpa sepatah katapu keluar dari mulutnya.
Yama mengerti Shabiya masih marah, jadi dia mengikuti apa yang dilakukan isterinya itu. Dia faham, Shabiya bila sedang marah dia diam tapi itulah yang sangat ditakutkan Yama. Diamnya Biya pasti diikuti dengan berbagai pertimbangan dan pemikiran mencari solusi. Isterinya itu terlalu cerdas sehingga Yama takut akan apa yang ingin dilakukan Biya selanjutnya.
Keduanya selesai makan. Yama maupun Shabiya tidak ada yang beranjak dari kursinya. Hening. Sepuluh menit berlalu. Sampai akhirnya terdengar bunyi ponsel milik Shabiya yang disimpan di meja dekat piring. Shabiya mengangkatnya tanpa beranjak dari kursinya. Yama masih diam memperhatikan gerak gerik isterinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEGAR
ChickLitBruuuk. Kue dan kado yang dipegang Shabiya terjatuh ke lantai. Dari matanya meleleh lahar bening membasahi kedua pipinya yang sedikit cabi. Dadanya turun naik seolah sesak bernafas. Sedangkan di depan sana di atas kursi kebesarannya seorang pri...