Shabiya sedang merajut benang woll, dia ingin membuat baju bayi hasil dari rajutannya sendiri, ketika tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dari luar. Shabiya lupa mengunci pintu itu. Biasanya ketika dia masuk ke kamarnya dia selalu menguncinya agar suaminya tidak sembarangan masuk kamarnya. Dia sudah tidak ingin melihat wajah suaminya lagi sekarang. Shabiya memalingkan wajahnya tak sudi menatap mata yang dulu begitu dipujanya.
Shabiya diam. Menunggu apa yang ingin disampaikannya sampai masuk ke kamar tanpa seizinnya.
"Sayangku, mama tadi menelponku. Mama bilang bulan depan kita adakan acara tujuh bulanan kehamilan. Jadi sayangku bersiap untuk itu nanti ya. Mama juga bilang nomormu tidak aktif, jadi kamu disuruh menghubungi mama balik."
Shabiya mendengarkan, namun mulutnya diam. Dia tidak ingin berbicara pada Yama. Biarlah nanti dia menghubungi mama mertuanya, dan membahas semuanya. Shabiya hanya menganggukkan kepala tanpa menoleh pada suaminya. Kemudian tangannya bergerak lagi, melanjutkan merajut tanpa memperdulikan suaminya yang masih berdiri disampingnya.
"Sayang aku rindu banget sama kamu. Kenapa kamu jadi seperti ini sayang? Tolong kembalilah menjadi Shabiyaku yang seperti dulu. Aku sungguh merindukanmu. Maafkanlah aku sayang. Please I love so much."
Yama merengkuh tubuh mungil itu, dia sungguh merindukan wanitanya yang satu ini. Shabiya membeku. Yama memeluknya dari belakang. Sambil menciumi pelipis dan puncak kepalanya. Shabiya meneteskan air mata. Setelah berbulan-bulan inilah pelukan pertama dari suaminya. Semakin sesenggukkan tanpa suara airmata Shabiya semakin deras membasahi pipinya, ketika dia merasakan usapan lembut telapak tangan Yama diatas perut buncitnya. Sungguh inilah yang diimpikan Shabiya jika hamil berbahagia dengan keluarga kecilnya yang penuh kasih sayang. Namun semuanya sirna karena kehadiran orang ketiga. Suaminya adalah penghianat, dan luka itu terus menghantuinya. Mengingat semua itu refleks Shabiya berdiri, menggenggam sebelah tangan Yama kemudian menuntunnya hingga sampai di depan pintu kamar. Melepas tangan itu kemudian Shabiya berjalan mundur beberapa langkah. Dengan air mata berlinang Shabiya menundukkan kepala tak ingin menatap mata elang itu. Setelahnya Shabiya menarik gagang pintu dan menutupnya cepat. Menguncinya kemudian berbalik dan melangkah perlahan menuju tempat tidur. Setelahnya dia menangis sesenggukkan tanpa suara.
"Hiks...hiks. Seandainya kau tak menghianati cintaku mungkin saat ini dengan senang hati aku berbahagia denganmu. Hiks...hiks. Sakit ini benar-benar seakan membunuhku. Allah...apa yang harus aku lakukan?"
******************
Sementara itu dibalik pintu. Yama mengepalkan tangan. Kesedihan dan kemarahan silih berganti menguasai fikirannya. Meski akhirnya tetes airmatalah yang menang. Ditubrukkannya kening kepintu dengan keras, memukul-mukul pintu dengan telapak tangan dari pelan hingga keras. Memanggil isteri tercinta. Namun wanitanya tetap tak membukakannya pintu. Yama berteriak mulai putus asa.
"Sayangku, buka pintunya. Biarkan aku masuk. Please jangan menangis. Kamu harus tahu, aku sangat mencintaimu. Bahkan Putri tidak mendapatkan cintaku. Aku hanya ingin bertanggung jawab padanya atas semua kesalahan yang telah kulakukan padanya. Terlebih dia juga sedang mengandung anakku. Aku tak mungkin membuangnya begitu saja. Bagaimanapun anak yang dikandung Putri juga keturunan Dirgantara. Mau tidak mau, suka atau tidak. Please Shabiya terima mereka dalam keluarga kita ya sayang. Tolong bertahanlah disampingku. Seperti janji kita dulu setelah akad. Apapun yang terjadi kita harus tetap bersama sampai maut memisahkan. Shabiya, sayangku. Saat ini aku sedang menagih janji itu. Please sayang demi bayi kita. Hiks..hiks. Aaaaaakkkh....!"
Yama berteriak. Meluapkan emosi berharap Shabiya mendengarkan semua perkataannya.
**************
KAMU SEDANG MEMBACA
TEGAR
ChickLitBruuuk. Kue dan kado yang dipegang Shabiya terjatuh ke lantai. Dari matanya meleleh lahar bening membasahi kedua pipinya yang sedikit cabi. Dadanya turun naik seolah sesak bernafas. Sedangkan di depan sana di atas kursi kebesarannya seorang pri...