07 : Pengakuan ♥️

2.8K 332 136
                                    

Jangan lupa votement!!








Tiga hari kemudian, Tiyas merasa aneh dengan Jendral. Pria itu seperti sengaja menghindar darinya. Tiga hari ini Jendral tidak mengantarnya ke sekolah, dia juga selalu pulang larut saat Tiyas sudah terlelap. Tiyas mendengkus, moodnya sedang tidak baik karena pengaruh menstruasi, ditambah perubahan sikap Jendral membuatnya kesal setengah mati.

Jam satu malam, Tiyas belum tidur karena sengaja menunggu Jendral pulang. Mendengar suara mobil Jendral, ia langsung keluar dari kamar. Begitu Jendral masuk, Tiyas langsung bertanya dengan nada sewot. "Dari mana aja, jam segini baru pulang?"

"Saya lembur, kamu kenapa belum tidur?" tanya Jendral balik.

"Saya enggak bisa tidur karena kepikiran Om Jendral. Om sengaja menghindar dari saya?" Tiyas to the point.

Jendral mengernyit. "Kenapa kamu berpikir begitu?"

Tiyas mendengkus kasar. "Jawab aja, Om memang menghindar dari saya, kan? Om enggak pernah sarapan atau makan malam bareng saya lagi. Om marah?"

"Saya sibuk, saya harus lembur akhir-akhir ini karena pekerjaan yang menumpuk. Saya tidak bangun pagi dan sarapan karena saya mengantuk, itu saja."

"Om jangan pulang tengah malam terus, saya takut sendirian di rumah," cicit Tiyas.

"Saya tidak bisa janji," sahut Jendral.

Tiyas melengkungkan bibirnya ke bawah, hendak menangis. Ia segera bergegas masuk ke kamarnya dan membanting pintu. Entah kenapa ia merasa sangat kesal hanya karena tidak bertemu Jendral selama tiga hari, padahal mereka satu rumah.

Keesokan harinya, subuh-subuh Tiyas memasak seperti biasa untuk sarapan. Saat sedang asyik memasak, tiba-tiba sepasang lengan memeluknya dari belakang, membuat Tiyas terperanjat kaget. Ia hendak marah, tetapi saat merasakan hawa yang sangat panas dari tubuh yang menempel punggungnya, Tiyas jadi khawatir. "Om Jendral? Om sakit, ya?" tanyanya.

"Tidak."

Tiyas mematikan kompor. "Saya sudah pernah bilang, kita bukan mahram, Om enggak boleh peluk-peluk atau sentuh saya sembarangan."

"Diam," sahut Jendral, ia tidak peduli dan tetap memeluk Tiyas.

"Badan Om panas banget, loh, kalau sakit istirahat di kamar aja. Ngapain ke sin--eh?!" Tubuh Tiyas tiba-tiba diangkat oleh Jendral dan dibawa ke kamar. Tiyas memberontak dalam gendongan Jendral. "Mau ngapain ke kamar Om?! Saya masih mens! Saya juga masih di bawah umur! Om jangan macam-macam!"

Jendral tidak hirau, sampai di kamar, ia langsung merebahkan dirinya dan Tiyas di spring bed. Memeluk tubuh yang lebih kecil dengan erat sambil memejamkan mata. "Diamlah, saya tidak akan memperkosa kamu," ujarnya parau.

Tiyas diam tak berkutik. Tak lama kemudian, pelukan Jendral melonggar. Tiyas mendongak, mendapati pria itu sudah terlelap. Tiyas beringsut sepelan mungkin agar tidak membangunkan Jendral. Ia tidak langsung pergi, malah memperhatikan wajah pucat yang tengah terlelap.

"Ini yang beberapa hari lalu ngebunuh orang, kan? Bisa-bisanya tidurnya gemas banget kayak bayi, jadi pengin nenenin," gumam Tiyas pelan, detik selanjutnya ia langsung memukul pipinya sendiri. "Tiyas bodoh! Ya kali nenenin om-om," ujarnya lalu beranjak pergi.

Between Candy and Cigarette ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang