06 : Rumah kosong

2.6K 332 88
                                    

Jangan lupa votementnya!!













Bugh! Bugh! Bugh!

Seseorang telah mati dalam keadaan tergantung di leher dan kelamin yang terpotong. Mayat tersebut dijadikan samsak, dipukuli hingga berlumuran darah.

"Kenapa Anda melakukan ini? Apa salah kami?!" tanya salah satu dari seorang sandera yang juga terikat dalam posisi kaki di atas dan kepala di bawah.

Jendral berhenti memukul mayat tersebut dan menoleh ke arah si penanya. Berjalan mendekati seorang pria paruh baya sambil menghembuskan asap rokoknya ke udara. "Kalian semua bajingan."

"Saya bahkan tidak mengenal Anda, kena-arghh!"

Jendral memasukkan puntung rokoknya yang masih menyala ke dalam mulut pria itu. "Diam, berengsek."

Ia beranjak lalu duduk di kursi kayu yang tampak usang. Jendral melepas kemeja dan sarung tangannya yang telah ternoda oleh darah, lalu membakar kembali sebatang rokok. Selang beberapa detik, ponselnya berdering. Telepon dari Johan, Jendral langsung mengangkat telepon tersebut.

"Kami sudah di depan, tapi dia tidak mau masuk."

"Paksa dia masuk, bagaimanapun caranya," kata Jendral lalu mematikan telepon.

Tak lama kemudian, Jendral mendengar suara langkah kaki. Itu pasti Johan dan Tiyas.

"Astaghfirullahalazhiim!" Tiyas datang dan memekik kaget melihat orang-orang dalam kondisi tersiksa, serta banyaknya darah yang berceceran di lantai. Pandangannya langsung menghitam, sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.

Johan menahan tubuh Tiyas agar tidak jatuh ke lantai. Menggendongnya ala pengantin dan membawanya ke dekat Jendral.

Mengambil alih tubuh Tiyas dari gendongan Johan. Jendral kembali duduk di kursi sambil memangku Tiyas yang masih tak sadarkan diri. "Saya yakin kalian semua masih mengingat gadis ini. Kalian menodainya dengan tangan-tangan kurang ajar itu. Melecehkannya berkali-kali sambil berlindung di bawah kekuasaan yang mengedepankan uang."

"Anda tidak punya bukti! Lagi pula, gadis itu tidak pernah melawan saat dilecehkan, dia menikmatinya!" seru seorang salah satu sandera.

"Bahkan sampai saat ini kalian tidak mengakui kesalahan kalian. Baiklah, kalian akan mati sebentar lagi."

***

Beberapa menit kemudian, Tiyas bangun dari pingsannya. Ia terkejut saat menyadari dirinya berada di pangkuan Jendral. Tiyas hendak menoleh ke belakang, namun, Jendral menahan kepalanya.

"Jangan melihat ke sana," kata Jendral.

Tiyas turun dari pangkuan Jendral. "Kenapa Om membunuh orang? Itu perbuatan kriminal, Om."

"Mereka juga kriminal karena sudah melecehkan kamu," balas Jendral.

"Saya memang menginginkan keadilan, tapi saya enggak mau membalas dengan menghilangkan nyawa seseorang. Kalau Om mau menghukum mereka demi saya, penjarakan saja mereka semua," ujar Tiyas, berusaha agar tetap fokus ke wajah pria itu tanpa melirik bagian tubuhnya yang tidak memakai baju.

Jendral menggeleng. "Tidak ada gunanya memenjarakan mereka. Hukum pemerintah bisa dibeli, mereka akan bebas begitu saja dengan bantuan uang dan akan kembali bersenang-senang, sedangkan kamu selamanya akan hidup dalam trauma yang mereka buat. Apakah itu yang kamu inginkan?"

Between Candy and Cigarette ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang