Pagi ini, untuk pertama kalinya Kongpob bangun pukul sembilan lebih, dia hampir saja meloncat dari atas kasur kalau saja otaknya tak lebih cepat mengingat bahwa hari ini adalah hari minggu. Dia menggeram saat pusing kembali menyerang kepalanya. Rasa sakit yang tertinggal setelah dua hari belakangan ia terserang demam tinggi hingga tak bisa bangun sama sekali. Menjadi mahasiswa di jurusan teknik memang tidak mudah, terlebih dirinya juga ikut bergabung dalam tim ospek yang mulai aktif sejak tahun kedua.
"P'Arthit…" Panggilnya lirih, ia ingat seniornya tersebut menemaninya sepanjang malam, namun laki-laki tak terlihat meskipun ia sudah memanggilnya beberapa kali.
Yakin Arthit sedang keluar, dia meraih ponselnya dan memeriksa kalau-kalau menerima pesan, dan benar saja…
Makan sarapanmu dan minum obat. Aku keluar sebentar.
Kongpob mencoba bangkit, kali ini lebih pelan. dan merasa bersyukur karena sakit yang dirasakan hari sebelumnya tak terasa sekarang. Tinggal rasa berat di kepalanya yang ia yakin akan sembuh dengan satu dosis obat yang Arthit persiapkan. Menuruti perkataan kekasihnya, Kongpob memakan beberapa suap bubur yang tersedia di meja dan meminum obat dengan patuh.
***
Arthit kembali beberapa jam kemudian, dengan sekantong belanjaan yang membuat Kongpob heran.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Arthit tanpa memandang sang lawan bicara, tangannya sibuk mengeluarkan belanjaan, Kongpob melihat sayuran dan beberapa makanan beku dimasukkan ke dalam kulkas.
“Sudah baikan. Kurasa aku butuh jalan-jalan”
“Baguslah. Kita keluar nanti sore saja, diluar panas”
“P’Arthit?”
“Hmm?”
“Kenapa kau belanja banyak sekali?” tanyanya akhirnya.
Arthit akhirnya berbalik dan memandangnya. “Untuk stok. Belakangan ini kau kurang makan dan lihat hasilnya”
“Tapi, kan, aku…”
“Tidak bisa masak?”
Kongpob mengangguk,
“Aku akan mengajarimu. Aku juga tidak jago, tapi minimal, sedikit skill dasar untuk bertahan hidup tidak akan merugikan”
“Bagaimana kalau beli di cafetaria saja. Aku janji tidak akan malas keluar lagi, dan sekarang sudah ada layanan delivery”
Arthit menggeleng, “Cafetaria tidak buka 24 jam, dan kau akan semakin sibuk dengan ospek dan kuliah. Kalau baru tahun kedua saja kau sudah tumbang, apa kabar nanti tahun ketiga saat benar-benar jadi anggota inti”
Kongpob menggeleng tidak yakin. Tragedi membakar teflon orang tuanya saat menggoreng telur ketika SMP dulu cukup untuk membuatnya tidak mau menyentuh dapur lagi. Namun melihat Arthit yang begitu mengkhawatirkannya...
“Ayolah. Sebentar lagi aku lulus dan kau tidak punya siapa-siapa lagi yang akan mengurusmu. Buatlah aku tenang dan belajarlah”
Kongpob tampak berpikir sejenak, sebelum kemudian mengangguk, “Tapi dengan satu syarat”
Arthit mengangkat alis,
“Kau harus benar-benar sabar saat mengajariku”
Arthit terkekeh, “Asal kau tidak menyebalkan saja”
“Aku? memangnya kapan aku menyebalkan?”
“E.ve.ry.day.e.ve.ry.ti.me”
“Au. Bagian mana yang menyebalkan. Saat aku menyatakan cinta? Saat aku bilang betapa menggemaskannya P’Arthit? Atau saat aku memelukmu? Bukannya itu yang membuatmu semakin menyukaiku. Lihat, kau tersenyum dan pipimu memerah”
Arthit terkekeh dan berbalik membelakangi Kongpob.
“Sepertinya kau benar-benar sudah baikan, huh. LIhat tingkahmu”
Kongpob terdiam, “Sebenarnya…” Kalimatnya menggantung membuat Arthit kembali menatap ke arahnya dengan khawatir.
“Kenapa? Masih pusing? Harusnya kau tiduran saja bukannya mengobrol” Arthit memeriksa kening Kongpob dan sedikit lega karena suhunya normal.
Kongpob yang merengut akhirnya tersenyum sebelum kemudian memeluk Arthit. Kekasihnya tersebut membeku selama beberapa saat sebelum kembali tenang dan membalas pelukannya.
“Rasanya rinnndu sekali. Tidak bisa memelukmu selama dua hari ini”
“Kau yang menolak pelukanku”
“Tentu saja aku tidak mau Phi ketularan demamku”
“Terima kasih atas perhatiannya. Bagaimana kalau mulai sekarang, perhatiannya dengan mencegah sakit saja, makan dan tidur teratur. Belajar jaga diri. Oke?”
“Khrappp P’Arthit”
*END
(*Haloooo... semoga masih ada yang mempertahankan buku ini di library-nya dan masih mau baca update annya. Aku mau belajar nulis lagi, dan nggak bisa berekspektasi apa-apa karena pada dasarnya pengen mengeluarkan unek-unek saja. Maapin kalau tidak mesra dan agak anyep, hehe...)