AU - Airport

2K 211 10
                                    

Dia sendirian, diatara lalu lalang para muda yang bersiap dengan tiket penerbangan.
Dia sendirian, saat sekitarnya bergandengan tangan.
Dia sendirian, menunggu seseorang yang tidak akan pernah datang.

***

Seakan baru kemarin, senyum cerah menghiasi bibir pujaan hatinya yang memasuki pintu keberangkatan. Mereka saling melambaikan tangan, setelah sama-sama bertukar janji untuk saling bertemu satu minggu kemudian. Janji yang sayang sekali tidak akan pernah ditepati meskipun bertahun-tahun sudah berlalu.

Dia duduk di salah satu kursi tunggu di depan pintu kedatangan, menatap kosong keramaian yang didominasi anak-anak muda yang antusias menyambut liburan. Keceriaan yang sama yang di tunjukkan cinta pertamanya saat dulu dia melepas kepergiannya.

Laki-laki itu tersenyum sedih. Seandainya saja dia melarangnya pergi, atau seandainya dia ikut saja untuk liburan bersama. Mungkin rasa sakit yang tertinggal karena kecelakaan pesawat itu tidak akan sedalam itu.

Namun seandainya tinggal seandainya, dia tahu Tuhan sudah menyiapkan rencana lain untuk mereka berdua, meskipun kesadaran itu butuh waktu yang sangat lama untuk sampai ke kepalanya.

Beberapa waktu sekali laki-laki itu datang kemari, menatap pintu kedatangan dan berharap keajaiban akan datang. Mengkhayalkan bagaimana kekasihnya berlari dari dalam untuk memberikan pelukan rindu dan kerepotannya akan barang bawaan. Tindakan yang justru membuatnya semakin sakit, karena bukan harapannya yang terkabul, tapi justru dirinya yang harus dihadapkan pada kebahagiaan orang-orang, melihat bagaimana seorang ayah yang menghambur memeluk putri kecilnya, atau seorang wanita yang menangis karena akhirnya bertemu dengan suami tercinta. Dia tidak suka itu, hati busuknya dengan tanpa sadar mengharap orang-orang itu mendapatkan nasib yang sama dengannya. dia ingin mereka mendapati kosong pintu kedatangan seperti dirinya.

Pemikiran jahat yang lantas membuatnya tersentak, sadar kalau semuanya mulai tidak sehat. Cintanya, apakah dia senang jika dirinya seperti ini, apakah dia akan datang padanya jika dia melihat banyak orang terluka karena musibah yang sama seperti yang dialaminya. Laki-laki itu meneteskan air mata, menyesal.

Mungkin inilah saatnya melepaskan, lalu membuka lembaran baru untuk melanjutkan hidupnya ke masa depan. Ada banyak orang yang menyayanginya, serta menawarinya berbagi langkah bersama. Dulu mungkin dirinya tak pernah menyadari itu semua, namun saat hatinya mulai terbuka, saat satu diantara mereka sanggup menembus kekerasan hatinya, selanjutnya jadi terasa mudah.

“Kongpob!”

Laki-laki itu mendongak dan mendapati seorang berkemeja biru menatapnya dengan bingung, tetesan peluh membuatnya tahu kalau sosok itu berlari demi sampai ke tempat ini.

“Kenapa kau memintaku kemari?”

Laki-laki yang dipanggil Kongpob itu tersenyum dan berdiri, tanpa bicara dia meraih tangan lawan bicaranya untuk diajak pergi.

“Tunggu dulu. Kau belum menjawab pertanyaanku”

Kongpob menghentikan langkah dan mengeluarkan dua lembar tiket dari tas sakunya “Ayo kita liburan, P’Arthit”

Oke, itu aneh. Arthit baru pulang kerja saat Kongpob memintanya untuk menyusul ke bandara dalam waktu satu jam, namun dia tidak menyangka kalau alasan dibaliknya adalah untuk ini. Dia pikir....

“Kupikir kau butuh waktu sendirian” Ucapnya kemudian. Membuat senyum di bibir Kongpob memudar. Arthit mengamati detail perubahan itu dan menghembuskan nafas pelan. Dia menggenggam balik tangan hangat itu

“Kong. Aku mengerti bagaimana perasaanmu dan seberapa pentingnya tempat ini untukmu. Ambil waktumu... aku akan menunggu di rumah, Oke?”

“No, P’”

Kongpob memeluk laki-laki dihadapannya, erat.

“P’ aku sudah sangat menyakitimu”

“Aku mengert-”

“Tapi aku juga ingin berterima kasih padamu”

Arthit hendak meronta minta dilepaskan, namun Kongpob belum selesai dengan apa yang ingin dia ungkapkan

“Awalnya, aku datang kemari setiap minggu. Berharap Khaofang akan datang sewaktu-waktu. Lau intensitas itu berkurang jadi perbulan, semenjak aku bertemu dengan seseorang. Kupikir aku bersikap tidak adil saat tanpa sengaja melupakannya. Tapi aku tidak bisa menghentikannya, perasaanku untukmu, P’, lebih besar dari kenanganku dengannya. Dan rutinitasku datang kemari berganti jadi setahun sekali semenjak kita bersama. Aku membenci diriku sendiri karena tidak merasa bersalah saat melakukannya. Kau tahu, p’. Pada akhirnya aku sadar kalau inilah saatnya aku melepaskan”

Ada getaran dari suara itu, membuat Arthit berhenti berontak dan membalas pelukan.

“Aku sadar aku sudah sangat menyakiti orang yang sekarang ini ada disisiku. Yang menyambutku sepulang dari sini seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal kenyataanya, bersaing dengan masa lalu itu menyakitkan, aku menyadarinya saat cinta masa kecilmu datang waktu itu. Maafkan aku, P’. Aku egois sekali”

Arthit menepuk-nepuk punggung Kongpob penuh pengertian. “Tapi kau masih mencintainya. Aku mengerti itu”

Kongpob menggeleng “Aku menyimpan kenangannya dalam hati, tapi cintaku sekarang hanyalah P’Arthit”

Arthit menutup mata saat mendengar pengakuan itu. Selama ini, tidak pernah ada pembahasan cinta dan khaofang dalam satu kalimat yang sama. membuatnya tidak berani mengharap banyak. Namun ketika Kongpob akhirnya mengatakannya, air matanya menetes, tidak ada kebahagiaan yang bisa mengalahkan momen ini.

Kongpob melepaskan pelukan mereka, terkejut dengan butiran bening yang mengalir di pipi kekasihnya, hal yang membuatnya sadar kalau dugaannya benar, sikapnya yang terus menghidupkan khaofang membuat Arthit sakit meskipun tak pernah terucap.

“Jadi, liburan denganku?” Tanya Kongpob, membuat Arthit mengerutkan alis

“Tapi Kong, kau phobia pesawat terbang”

Satu lagi dampak musibah itu untuk Kongpob,

Kongpob menggeleng “Aku tidak phobia pesawat, P’. Aku hanya takut melewati pintu keberangkatan dan tidak kembali lagi. Apa kau mau menemaniku?”

Arthit masih tidak terlihat ingin menyetujui usulan itu, membuat Kongpob mulai menekuk mukanya.

“Tapi... Aissh. Bisakah kau memberitahuku sedikit lebih awal. aku belum mandi, kau memanggilku mendadak membuatku takut dan langsung kemari”

Raungan frustasi itu malah membuat Kongpob terkekeh, suasana sendu diantara mereka langsung berganti dengan suasana yang biasa. Perdebatan kecil antara senior junior.

Kongpob kembali memeluk Arthit sembari membisikkan sesuatu ke telinganya “Tenang saja, p’. Bau keringatmu tetap yang terwangi untukku”

“KONGPOB”

-END

- Ada yang terkecoh di paragraf awal-awal??? hehe... semoga suka
- Aku kemarin nyimpen photonya singto yang dia di airport duduk sendiri cakeppp banget tp kok ilang pas mau dipajang :(  ada yang punya????

Opposite AttractWhere stories live. Discover now