Sebuah Lelah

2.1K 254 14
                                    

Kencan tidak biasa mereka minggu ini adalah Timezone. Kongpob merasa ini adalah pilihan terbaik yang pernah mereka putuskan. Tidak ada risih karena pandangan sekitar, tidak lain karena keduanya berpenampilan casual layaknya anak muda dan bertingkah kekanak-kanakan sepanjang hari. Bertanding street basketball, berteriak-teriak saat balapan mobil virtual, saling tertawa memainkan Hockey meja, atau saat sekumpulan anak SMA menantang mereka untuk beradu di Dance-dance revolution. Semuanya mereka nikmati hingga melupakan waktu yang bergulir.

Kongpob baru berhenti saat melihat kening Arthit yang basah oleh peluh, kendati sang kekasih tidak merasa kelelahan sedikitpun, tapi dia merasa harus menjadi lebih waras untuk menghentikan aktifitas mereka sebelum asam lambung di perut masing-masing naik dan merusak pekerjaan mereka keesokan harinya.

Arthit mengangkat alis saat Kongpob mencegahnya berjalan ke permainan selanjutnya dan malah mengusap keningnya “Kita harus berhenti, P’Arthit. Lihat peluhmu”

Arthit mendengus tak setuju, namun pandangannya juga menangkap keringat yang mengalir dari pelipis Kongpob, membuatnya menyerah meskipun tidak tulus.

“Lalu kita mau kemana lagi?” Tanyanya, yang kemudian disambut dengan bunyi nyaring dari perutnya, membuatnya malu.

Kongpob tertawa kecil “Tomyam?” tawarnya, dijawab anggukan antusias.

***

“Aku sebenarnya tidak kalah di dance battle tadi” celoteh Arthit tiba-tiba, tomyam pedas yang beberapa kali masuk ke dalam mulutnya sukses membuat kemampuan bicaranya bertambah dua kali lipat. Dia merasa butuh menceritakan sesuatu yang terlewat dari pengamatan orang-orang.

Kongpob memandangnya, memberi tanda kalau dia terus mendengarkan.

“Si blonde yang melawanku tadi, aku merasa dia menaruh hati pada satu-satunya gadis yang ada di gerombolan itu. Lirikan matanya pada gadis itu membuatku yakin kalau mereka pacaran” Arthit mengangkat bahu “Atau hanya saling suka tapi belum menyatakan, entahlah. Yang jelas aku sengaja mengalah. Karena dengan begitu dia bisa menunjukkan sisi hebatnya di depan si gadis”

Kongpob tersenyum, takjub pada kemampuan mengamati kekasihnya. namun sedetik kemudian dia memasang wajah pura-pura merengut “Lalu kenapa P’ tidak menunjukkan sisi hebat P’Arthit untukku? Malah mengalah pada anak SMA”

Arthit melotot, mengangkat sendoknya untuk memukul kepala Kongpob “Dasar kau-”

“Bercanda, P’” Ujar Kongpob buru-buru.

“Lihat berapa umur kita. Memangnya masih pantas bertingkah sok hebat”

“Aku selalu bertingkah sok hebat untukmu, P”

“Aku tidak dengar”

Kongpob tertawa melihat Arthit yang sebegitu niatnya menghindari percakapan gombal dengannya, laki-laki di hadapannya itu dengan bersemangat memasukkan sesendok penuh tomyam ke dalam mulut.

“Ngomong-ngomong. Tomyam disini tidak buruk” celetuk Arthit tiba-tiba. Ini adalah pertama kalinya dia berkunjung kemari, dia hanya menurut saja saat Kongpob tadi menyeretnya ke rumah makan yang cukup jauh dari Timezone, namun lebih dekat dari asrama sang junior.

“Benarkah? Lalu menurut P’Arthit, apa ada yang kurang di menu di sini?”

Arthit yang tidak menangkap nada janggal Kongpob, mengangkat bahu dan menjawab sekenanya “Tidak ada, kurasa. menunya sama saja dengan restoran lain. Lagipula kenapa kau bersemangat sekali mengajakku kemari, sih? Bukankah ada restoran tomyam juga di dekat timezone”

“Aku cuma ingin menunjukkan tempat biasanya aku makan, P’”

Arthit tersenyum miring, menggeleng pelan dan melanjutkan santapannya. Mau heran seperti apapun, Kongpobnya akan selalu sama, melankolis dan tidak penting.

Opposite AttractWhere stories live. Discover now