33. MENATA HATI

960 67 75
                                    

Kirana's POV

Aku tak bisa berhenti menangis sepanjang perjalananku. Aku menyesali kesalahanku. Seharusnya aku bertanya padanya, bukan menuduh. Terlebih bahkan semua tuduhan yang kutujukan padanya tak ada satupun yang benar.

Tadi, di antara serpihan kesadaranku yang terserak, aku menemukan diriku terbangun di kamar Dipta. I don't have any idea how could i end up there after i got drunk last nite. Tapi bukan itu yang mengejutkanku. Kenyataan bahwa Dipta ternyata bukan sedang meng-ghostingku, kenyataan bahwa Nadia bisa melakukan hal segila itu, serta semua hal yang disampaikan Dipta tadi benar-benar memenuhi isi kepalaku saat ini.

Begitu Dipta selesai meluapkan amarahnya dan menjelaskan hal-hal yang menjadi salah paham kami, dia menuju kamar mandi. Aku pasti sudah akan menyusulnya ke dalam jika kami sedang baik-baik saja. Jadi yang tadi bisa kulakukan hanya bersimpuh di depan kamar mandi menunggunya keluar, dan berharap dia akan luluh kembali dan bersedia memaafkanku. But look where I am now?! I end up here, in a grab car yang di pesenin Dipta. He ignored me. Dia mengabaikan simpuhku. Bahkan meski aku tetap pada simpuhku sampai dia akan berangkat kerja, dia tetap tidak bergeming, meski aku benar-benar bersungguh-sungguh dengan simpuhku. Bisa dikatakan itu permohonan ku. Karena aku tak mampu berucap, jadi yang bisa kulakukan hanya menunduk dalam simpuhku. Tapi aku bisa apa. mungkin permohonan maafku tak bisa dia terima. Aku bisa paham, namun aku hanya tidak bisa memaafkan diriku sendiri kini.

Mas driver sepertinya paham situasiku, atau memang dia type pendiam, karena aku tidak mendengar dia berbasa-basi padaku sama sekali seperti yang biasa kudengar dari para driver yang mengantarkanku. Terserah. I dont give a shit about that.  Aku mencoba membuang mukaku ke arah jendela. Berpura-pura melihat setiap kendaraan yang mencoba melewati kami. No wonder, jam berangkat kerja gini pasti macet dimana-mana. Semoga saja Dipta bisa menembus kemacetan dan sampai di kantor tanpa terlambat. Semoga saja dia selalu dalam lindungan Tuhan selama dia di jalan.

Jujur aku sangat takut saat melihat Dipta tadi pagi. Aku belum pernah melihat dia semarah itu. Wajar saja dia semarah itu. Dia pergi untuk bekerja keluar kota untuk waktu yang tidak sebentar. Namun malah mendapati aku bergandengan tangan dengan laki-laki lain sekembalinya dari luar kota. Tapi sungguh, bukan maksudku menghianatinya. Aku justru mengira dia yang meninggalkan aku terlebih dahulu.
Lalu yang membuatku menangis? Itu karena aku benar-benar tidak menginginkan kami berada pada fase ini. Fase kami saling meneriaki satu sama lain. Yang ternyata adalah kesalah pahaman semata.

Hal yang paaaling aku tidak bisa pahami adalah saat aku membaca pesan dari Je untuk Demon. Tentang bagaimana Nadia bisa dengan mudahnya menjatuhkan teman lain demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Mungkin banyak di luaran sana yang melakukan hal tersebut. Tapi yang dilakukan Nadia benar-benar sudah melewati batas. Dan saat itu mungkin karena Nadia mengira Marsha adalah partner Dipta, sehingga Marsha yang dia jatuhkan. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan jika sasaran nadia adalah aku.

Tiiiin tiiinn

Suara klakson sopir ojol yang kutumpangi sedikit menarikku kembali dari semua pikiran pikiranku. Melihat driver tersebut justru mengingatkanku setiap Dipta menyetir sambil menggenggam tanganku. Atau saat aku diam-diam mengaguminya saat dia sedang fokus menyetir. Huuuffhh. Aku menghembuskan nafas agak berat. Akan lebih mudah move on dari Dipta jika aku merasa tersakiti seperti overthinkingku kemarin-kemarin. Sekarang pasti akan lebih sulit. God, what am I going to do now.

***

Baru hari ke 5 setelah kejadian dari rumah Dipta waktu itu. Wanna know how do I look like? I'm such a mess. Moody ngga jelas, marah-marah tanpa sebab, feel insecure di detik berikutnya, suka tiba-tiba nge-blank hingga beberapa kali aku tanpa sadar adaaa aja kelengkapan dokumen member yang kurang sehingga aku kena tegur. Saat seperti itu Bayu sering sekali akan menggunakan wewenangnya sebagai supervisor untuk membantuku dari teguran operational manager, tapi aku buru-buru melebarkan mataku pertanda aku melarang dan menolaknya. But above all, aku merindunya. I admit I miss Dipta so bad. I miss his smell, I miss his voice, I miss his eyes, I miss his arms around me, I miss his touch very much, I miss his kisses, I miss being with him, I miss addressing him by "DD" as I used to, I miss everything about him. Aku tidak pernah mengira kalau ketiadaan Dipta bisa memberiku dampak segini besar.

Demon for Kirana (FINISHED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang