Lima

1.1K 370 26
                                    

Mamak kambeekk... Gimana kabar semua?? Mudah2an tetap seehat yaa..

Mamak kambeknya pelan-pelan, proses pemulihan. Hayuk ah diramaikan. Semoga sukaaa...

Hepi reading lope~lope

***

Nadia memekik kegirangan ketika melihat Rendi berdiri di ambang pagar bambu rumahnya. “Nadia kira Om Rendi udah pulang.” Nadia bergegas menghampiri Rendi, membuka ikatan pagar.

Rendi tersenyum hangat, begitupun dengan sorot matanya. “Om sengaja ngambil libur panjang supaya bisa lebih lama menemani kamu.” Rendi masuk ke halaman, menggenggam tangan Nadia, mengajaknya duduk di tepi teras. Rendi mengembuskan napas, melirik keadaan sekitar yang tampak sepi. “Mama kemana?”

Nadia memutar bola mata tampak berpikir. “Mama nemenin Emak ke sawah, terus benahin kebun di belakang rumah.”

“Pantesan nggak ada yang berdiri di depan pintu,” timpal Rendi dengan suara pelan.

Nadia terkikik. “Mama khawatir kalau Om itu orang jahat, karena kami nggak punya keluarga lain.”

Rendi menatap lekat Nadia. “Nggak ada Om atau Tante?”

Nadia menggeleng.

“Terus, keluarga yang Nadia kenal ada berapa orang?”

Nadia menggeleng lagi. “Nadia cuma punya Emak sama Mama aja, temen juga Nadia nggak punya.”

Rendi terdiam, menebak bahwa keterbatasan Nadia dalam berteman dan berkeluarga itu akibat dari larangan Tiyas. Tanpa sadar Rendi menggeleng, berdecak kesal karena sikap Tiyas terlalu berlebihan, padahal Nadia sedang masanya untuk bersosialisasi.

“Mama yang melarang kamu buat berteman?” tanya Rendi lagi seolah tak puas dengan jawaban Nadia.

“Mama nggak pernah larang Nadia buat berteman, tapi nggak ada yang mau temenan sama Nadia.”

Bahu Rendi turun, ternyata dirinya salah menebak. “Kenapa nggak ada yang mau berteman sama Nadia?”

“Karena dia lahir bukan dari ikatan pernikahan dan nggak punya bapak,” sambar Tiyas dengan nada ketus.
Rendi terkejut mendengar suara Tiyas, mengusap dada pelan, kemudian menoleh ke belakang.
Tiyas mengangkat bahu tak acuh, maju dua langkah, duduk di tepi dipan. “Tolong  antar teko ke sawah buat minum Emak ya, Nad.”

Nadia mengangguk penuh semangat, bergegas berdiri, masuk ke rumah.

“Kenapa belum kembali ke Jakarta?”

Raut wajah datar yang ditunjukkan Tiyas membuatnya gemas, dan tanpa sadar menyunggingkan senyuman. “Belum puas bertemu Nadia.” Rendi beranjak, berpindah duduk di samping Tiyas. “Kalian nggak punya keluarga lain? Saudara maksud saya.”

Tiyas mencebik, melengos. “Apa pertanyaan itu harus dijawab?”

Rendi menggeleng. “Saya cuma ingin tahu saja, saya baru sadar Nadia selalu sendiri dan nggak pernah bercerita tentang saudaranya.”

Bibir Tiyas terangkat miris. “Kamu pikir, karena apa Nadia selalu sendiri?”

Rendi menunduk.

“Ini masih perkampungan, apa pun yang melanggar norma akan terlihat buruk di mata masyarakat.”

Benar, Rendi baru menyadari itu.

“Itu artinya Nadia nggak sekolah?”

Tiyas menghela napas panjang. “Sekolah, tapi banyak drama. Seiring bertambah usia, Nadia mulai mengerti bahwa dirinya memang nggak akan bisa berteman.”

“Kalau begitu, Nadia lebih baik tinggal di Jakarta sama saya, dia bisa punya teman dan keluarga.”

Ucapan Rendi mengundang delikan tajam dari Tiyas. “Sudah saya duga, kedatangan kamu ke sini bukan hanya rasa tanggung jawab.” Mata Tiyas memicing penuh selidik. “Dia suruh kamu datang ke sini membawa Nadia?”

Rendi menelan ludah kesusahan, menyengir. “Itu sama sekali bukan kebenarannya, Mbak, nggak ada sangkut pautnya dengan Ka Reno.”

“Terus?!”

“Saya hanya kasihan saja sama Nadia, karena di usianya sekarang serba terbatas." Rendi menatap lekat Tiyas.

Tiyas meringis, membuang pandangannya ke lain arah. “Meski terbatas, nggak mengurangi kebahagiaannya.”

Rendi mengangguk. “Saya percaya.” Tatapan Rendi terpaku pada sorot mata Tiyas yang tajam. “Mbak banyak berjuang untuk Nadia, dan sekarang sudah waktunya buat Mbak membagi beban itu kepada saya.”

Tiyas mendengkus. “Akan sangat menyenangkan kalau beban bisa dibagi semudah itu,” sahut Tiyas dengan nada sarkas.

Rendi meringis. “Saya tahu itu nggak mudah, tapi nggak ada salahnya kita coba, Mbak.” Rendi mengembuskan napas perlahan. “Saya sedang mengurus surat pindah ke kota ini, begitupun dengan pekerjaan saya supaya kita bisa mengenal lebih dekat.”

Tiyas melotot. “Jangan aneh-aneh kamu.”

Rendi mencondongkan badannya ke arah Tiyas, sorot matanya memancar keseriusan, memberanikan diri meraih tangan Tiyas, lalu menggenggamnya. “Saya tahu ini sangat terlambat, tapi nggak ada salahnya Mbak kasih kesempatan pada saya untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh Kak Reno. Saya sebagai adiknya malu, dan untuk membayar rasa malu itu, saya ingin bertanggung jawab.”

Tiyas merasakan tangan Rendi yang dingin, hatinya bergetar atas ucapan Rendi yang penuh keseriusan. “Bertahun-tahun saya berusaha mengubur jejak masa lalu, dan jejak itu mendadak muncul kepermukaan hanya karena pertemuan kita. Rasanya nggak adil banget buat saya.”

“Di antara kita nggak ada yang benar-benar dapat keadilan, Mbak, kita sama-sama terjebak. Kasih saya satu kesempatan, saya ingin membantu Mbak menghapus jejak itu.” Rendi mengeratkan genggamannya, dalam hati harap-harap cemas Tiyas akan mengabulkan permintaannya.

Tiyas tersentuh, tapi hanya untuk beberapa detik, karena setelah sadar sepenuhnya, Tiyas mengempaskan tangan Rendi, tersenyum miring. “Saya masih berpegang teguh tetap menghalangi kamu menemui Nadia.” Tiyas berdiri, bersedekap. “Ingat itu.”

Tiyas mengentakkan kaki sebelum melenggang masuk ke rumah. Dia tidak boleh lemah, membiarkan orang baru masuk ke kehidupannya.
Sementara di luar, Rendi menghela napas panjang, menjambak rambut frustrasi karena sangat sulit menggoyahkan seorang Tiyas.

Jejak Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang