Sembilan

1K 368 14
                                    

Tiyas membaringkan tubuhnya di kasur, menatap plafon kamarnya dengan sorot kehampaan, melepas semua emosi yang menggerogotinya ketika berbicara dengan Rendi. Jika dirinya bisa dengan mudah melupakan semua, mungkin tidak akan ada amarah di hatinya setiap kali menyinggung pria sialan itu. Namun sayangnya, sangat sulit bagi dirinya untuk bisa melupakan apalagi memaafkan.

Dering gawai menyadarkan Tiyas dari lamunan, bibirnya sedikit terangkat ketika melihat siapa yang menghubunginya. “Gimana, Nes?”

“Ya ampun… saking senangnya bisa kumpul lagi sama keluarga sampai lupa sama teman seperjuangan.”

Tiyas tertawa geli, beranjak dari tidurnya, menyandarkan bahu di dinding bilik kamarnya. “Setengah benar, setengahnya lagi nggak. Aku nggak bisa bohong emang senang banget bisa bertemu sama Nadia setiap hari, tapi ada yang bikin aku setengah menyesal buat pulang.”

“Kenapa, kenapa?”

Tiyas menghela napas berat, memijat keningnya beberapa kali. “Kamu tahu, ada laki yang bisa dibilang aneh datang setiap hari ke rumah cuma buat mengganggu aku.” Tiyas memutar bola mata berpikir. “Bukan, maksa aku buat mengizinkan dia bertemu sama Nadia.”

Terdengar tawa renyah dari seberang. “Masa sih, Mbak? Apa mungkin salah satu pelanggan Mbak yang pengen deketin Nadia supaya bisa kawinin ibunya?”

Tiyas mendengkus, mengusap wajah kasar. “Aku lebih senang kalau keadaannya begitu,” sahut Tiyas kembali menghela napas panjang. “Tapi masalahnya, dia adik dari bapaknya Nadia. Secara nggak langsung dia kayak sengaja ngejek aku. Bener, nggak?”

“Enggak.”

Kening Tiyas mengernyit tidak setuju. “Kok gitu, sih?!”

“Kakaknya berengsek, belum tentu adeknya juga sama, kan? Mbak jangan terlalu menyamaratakan pria lain sama bapaknya Nadia, ah. Nggak baik.”

Tiyas mendesah gusar. “Rata-rata emang begitu, kan?”

“Iya, tapi sampai kapan Mbak menutup diri? Lebih baik mencoba daripada nggak sama sekali. Kasihan Nadia, Mbak, dia juga membutuhkan keluarga yang utuh.”

Tiyas kembali memutar bola mata jengah. Ada apa dengan orang-orang di sekitarnya ini, mengapa mereka tiba-tiba seolah mendorongnya untuk menerima Rendi?

“Iya sih memang berbicara lebih mudah, tapi kalau kalian berada di posisiku ya mana mau nerima bagian dari masa lalu, kan? Mana dekat banget,” kukuh Tiyas.

“Balik lagi ke tujuan hidup sih, Mbak. Kalau aku ya mending belajar melupakan masa lalu dan menikmati masa sekarang dengan kebahagiaan. Rugi juga membiarkan diri digelung kesedihan dan kepedihan masa lalu.”

Stop! Ada apa telepon malam-malam?”

Cekikikan terdengar. “Aku mau cerita, Mbak.”

“Ya udah cerita!”

Tiyas mengembuskan napas lega, mendengarkan teman seperjuangannya bercerita menumpahkan keluh kesahnya. Sementara, dia akan melupakan tentang Rendi dan segala keanehannya.

***

“Gimana? Udah ketemu dimana Tiyas sekarang?”

Rendi menghela napas, baru saja dirinya sampai di rumah sudah dicecar oleh kakaknya. “Belum, Kak.”

Pria berwajah lebih dewasa dari Rendi itu memicingkan mata curiga. “Lo belum nemuin keberadaan Tiyas, tapi lo udah mutasi ke kampungnya Tiyas?”

Rendi mengangkat bahu ringan, melangkah gontai ke sofa yang ada di ruang kerja kakaknya. “Setiap bulan gue cari keberadaan dia disela kesibukan gue, rasanya buang-buang waktu, jadi lebih baik gue pindah sekalian supaya bisa curi-curi waktu dan nggak harus menempuh jarak jauh.” Dengan tenang Rendi duduk bersilang kaki, bersedekap, menatap kakaknya. “Menurut gue, kalaupun lo ketemu sama Tiyas, tipis harapan bisa mendapat sambutan hangat,” karena dirinya sendiri pun tidak mendapat sambutan hangat padahal bukan pelakunya.

Reno berdecak, duduk di kursi kerjanya. “Lo nggak tahu gimana rasanya hidup dihantui rasa bersalah bertahun-tahun kayak gini. Gue juga pengen tahu apa anak kami hidup atau dia memilih menggugurkan.”

Rendi mencebik melihat raut wajah kakaknya yang mendadak sendu. “Seharusnya dulu lo berpikir ulang sebelum merusak anak orang.”

Reno mendesah frustrasi. “Gue juga nggak nyangka bakal ada di posisi yang serumit ini, Ren.”

Gue juga nggak nyangka bisa terbelenggu situasi yang nggak menyenangkan seperti ini, Kak. Batin Rendi menimpali putus asa.

Rendi mengangkat bahu bingung. “Ya mau gimana lagi.” Rendi beralih menatap jendela yang tembus ke halaman depan rumah. “Gue juga melakukan ini supaya bisa membantu, lo.”

Reno meringis. “Gue beneran nggak akan bisa hidup tenang.” Setiap malam Reno terpikirkan dimana kekasihnya, bagaimana keadaannya dan juga anak mereka. Masih hidupkah mereka? Dan setiap kali memikirkan itu, hati Reno terasa diremas hingga remuk memberikan rasa sakit sampai ke ujung kepalanya.

Rendi mengerti kepedihan yang tersirat dari raut wajah kakaknya. Namun membohongi kakaknya adalah cara terbaik untuk melindungi Tiyas dari luka yang sama.

“Lebih baik selesaikan dulu urusan lo sama Mbak Oliv, Kak. Percuma kita bisa bertemu Tiyas kalau keadaan lo masih belum stabil, karena lo tahu Mbak Oliv sangat terobsesi milikin lo. Lo nggak boleh menambah penderitaan dia lagi.”

Ucapan Rendi menarik perhatian Reno. “Nggak boleh?” ulang Reno dengan nada rendah.

Rendi mengangguk mantap. “Apa yang lo tinggalkan pada Tiyas itu sebuah penderitaan, karena gue berusaha menempatkan diri sebagai Tiyas.”

Reno tersenyum miring. “Dia pelipur lara gue, Ren.”

“Tapi lo sumber luka hidupnya, Kak.” Rendi berdiri, bergegas keluar dari ruang kerja kakaknya karena amarah mulai mengetuk hatinya melihat betapa besar keegoisan kakaknya pada Tiyas.

Dia tidak akan keberatan jika harus merusak hubungannya dengan kakaknya asal tetap bisa melindungi Tiyas. Karena baginya sekarang adalah kebahagiaan Tiyas dan Nadia lepas dari bayangan masa lalu.

Jejak Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang