Prolog

2.9K 448 9
                                    

Dua wanita berbeda usia duduk lesehan di teras rumah bordil, mendongak memandang langit gelap seperti kehidupan mereka. Salah satu dari mereka berulang kali meringis, menyeka cairan bening yang keluar dari sudut matanya.

"Kapan nasib kita bisa berubah, Mbak? Rasanya lelah hidup seperti ini," keluh wanita yang terlihat lebih muda dari wanita di samping kanannya.

Wanita yang dipanggil Mbak itu hanya tersenyum sendu, raut wajahnya memancarkan keteduhan dan kehangatan. "Nasib kita nggak akan berubah selama tetap diam di sini," sahutnya, "Kecuali kita melarikan diri, melepas tali kekang tak terlihat ini, Nes," imbuhnya dengan suara rendah.

Wanita berkulit kuning langsat itu menyenderkan kepala di bahu wanita yang sudah dia anggap sebagai kakaknya sendiri. "Mbak Tiyas betah kerja sebagai pelacur? Aku pengen banget melarikan diri, tapi nggak ada tempat buat pulang. Sedangkan Mbak punya anak dan ibu yang siap menyambut Mbak setiap pulang."

Tiyas tersenyum tipis, menepuk-nepuk pipi wanita tersebut. Mengingat mereka membuat hati Tiyas bergetar pedih, bertahun-tahun dia membohongi ibunya, mengatakan pekerjaannya sangat bagus dan halal. Namun pada kenyataannya, uang yang dirinya kirim setiap bulan adalah hasil dari perzinaannya. "Mereka nggak tahu saja apa yang Mbak kerjakan di sini. Kalau mereka tahu, nggak akan ada sambutan, yang ada malah jijik lihat Mbak."

Nesa menghela napas panjang, merangkul lengan Tiyas. "Aku sering banget berharap dan berkhayal ada salah satu pelanggan kita yang mencintai dengan tulus dan menarik kita dari kubangan ini," ujar Nesa dengan nada polos.

Seketika keheningan terpecah oleh tawa Tiyas yang menggelegar. "Kamu keseringan baca novel romansa, ya?" tanya Tiyas di sela tawanya. Melihat Nesa mengangguk dengan raut wajah polos bercampur kebingungan kembali mengundang tawanya. Tiyas refleks menoyor kepala Nesa gemas. "Nggak ada yang kayak gitu, Nes. Kamu jangan terlalu banyak berharap apalagi bermimpi."

Nesa mencebik, mengempaskan lengan Tiyas, duduk tegak. "Mbak nggak percaya sama keajaiban?"


Tiyas mengangguk, sesekali masih tertawa, sorot matanya memancar geli. "Dengar baik-baik, ya." Tiyas menaik-turunkan tangannya, sedikit mencondongkan tubuhnya menghadap Nesa. "Sepuluh tahun Mbak kerja beginian, belum pernah Mbak dapat keajaiban kayak begitu. Yang jelas, pria datang ke sini melampiaskan hawa nafsu mereka ke kita itu untuk menjaga hati pasangan mereka. Nggak ada pria yang datang ke sini buat mencari wanita buat dijadikan pasangan hidup mereka."


Nesa menggeleng tak terima dengan penjelasan yang diberikan oleh Tiyas. "Kali aja ada satu amalan baik yang dibalas dengan itu."

Tiyas tersenyum hangat, mengusap tangan Nesa. "Oke, terserah. Mbak kasih tahu itu supaya kamu nggak terlalu berharap karena jatohnya bikin sakit."

Tiyas pernah berada di fase yang sedang Nesa rasakan, dirinya pernah menerbangkan berbagai harapan dan doa agar bisa terlepas dari semua ini. Namun semakin lama, dirinya sadar bahwa tidak ada kepantasan bagi dirinya untuk mengharap, diberi izin untuk bernapas pun sudah sangat bersyukur. Siapa dirinya? Hanya wanita kotor yang hina.

"Beberapa teman kita bilang, jadi kupu-kupu malam itu enak. Dapat kenikmatan sama duit sekaligus, tapi yang aku rasakan kok menyakitkan banget, Mbak? Setiap mendengar desahan pria di atasku, rasanya remuk redam hatiku. Capek, Mbak." Nesa tak bisa berhenti mengeluh, dan dia juga tak bisa berhenti dari pekerjaan tersebut.

Tiyas tersenyum sedih, merangkul Nesa memberi kekuatan. "Kamu masih muda, masih panjang harapan dan masa depannya. Benar kata kamu, siapa tahu ada satu amalan kebaikan yang menghantarkan keberuntungan buat kita, kan? Jangan patah semangat, oke?"

Nesa mengangguk samar. "Mbak juga harus yakin dong!"

Tiyas meringis. "Jangan khawatir, dikit-dikit Mbak mulai berhenti, kok. Mami juga bilang usia Mbak udah nggak mendukung buat stay di sini. Besok atau lusa bisa jadi Mbak pulang ke Jawa."

Mendadak air mata Nesa berlinang. "Mbak kok ninggalin aku sendirian?"


Tiyas tersenyum lebar. "Kamu masih masanya diburu sama pengunjung, Mbak tinggal di sini juga yang ada malah buang-buang duit." Usianya dengan Nesa berbeda 11 tahun, Nesa datang ke rumah bordil itu ketika berusia 17 tahun dan sangat dekat dengan dirinya. Dan masa yang dinantikan dalam hidupnya adalah diberhentikan agar mendapat uang pesangon dari majikannya.

Tangis Nesa semakin menjadi. "Kenapa Mbak bilangnya mendadak banget, sih!"

Tiyas tertawa, mengusap pipi Nesa, menyusut air mata. "Sengaja biar kamu nangisnya nggak kelamaan." Tanpa bisa ditahan, matanya pun berkaca-kaca merasa sakit membayangkan perpisahannya dengan Nesa. "Kamu jaga diri baik-baik, jangan percaya atau tergoda sama pria yang udah kamu layani, ya? kita nggak tahu mereka jahat atau nggak." Belajar dari teman-teman seperjuangannya, ada yang jadi korban kekerasaan dan pelecehan seksual akibat terbuai rayuan pria hidung belang yang mempunyai niat jahat sebelumnya.

Nesa mencebik, mengusap kasar matanya. "Mbak kok tega!"

Tiyas memeluk Nesa, diam-diam menangis sedih karena harus berpisah. Dua tahun dirinya membimbing Nesa, mengajarkan nilai-nilai kebaikan agar tidak menjadi liar seperti yang lain, karena dirinya sudah menganggap Nesa sebagai adik sendiri. "Banyakin nabung supaya bisa melanjutkan sekolah." Pesannya yang hanya diangguki oleh Nesa.

"Karena Mbak mau pulang-" Nesa menjeda ucapannya, menebak sudikah Tiyas menceritakan masa lalu yang selalu dijawab suram tanpa mau membeberkan dengan rinci. "Aku pengen banget dengar cerita masa lalu Mbak sepahit apa, karena Mbak udah tahu bagaimana aku bisa terlempar ke sini."

Tiyas mendesah gusar, menggeleng, menolak permintaan Nesa.

Nesa merengek, memohon agar Tiyas mau bercerita.

Namun Tiyas masih kukuh menolak, membungkam mulutnya. Karena ketika dirinya menceritakan masa lalu, bayangan kelam turut andil menyiksa relung hatinya dan membuatnya merasa dihantam beribu-ribu kali dengan bongkahan penyesalan.


Jejak Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang