Sepuluh

1.1K 363 7
                                    

Terlihat senyum mengembang dari bibir Tiyas karena sudah tiga hari Rendi tak menunjukkan batang hidungnya. Ketakutan yang merongrong jiwanya perlahan mulai memudar, Rendi sudah pergi, tidak akan mengusiknya lagi.

Senyum Tiyas perlahan memudar ketika melihat putrinya datang dengan pakaian kotor dan mata sembab. Seketika Tiyas berdiri, menghampiri putrinya. “Kenapa, Nad?”

Nadia tersenyum tipis, menggeleng. “Nggak apa-apa, Ma, tadi nggak sengaja kepeleset di sungai terus jatuh.”

Tiyas mendesah gusar, menepuk-nepuk kaki lalu punggung putrinya. “Jatuhnya separah ini?” mata Tiyas menangkap luka di lengan putrinya yang lumayan panjang, dan beberapa memar di kakinya.

Nadia masih setia tersenyum, mengangguk. “Salah Nadia nggak hati-hati, Ma,” ucapnya disusul ringisan sakit.

Tiyas membelai pipi putrinya, mengajak Nadia masuk ke rumah. Tiyas menyiapkan air hangat, handuk kecil, dan kotak P3K. Mengelap perlahan luka-luka di tubuh Nadia, sesekali dirinya ikut meringis seolah merasakan sakit.

“Sakit, Ma…” rengek Nadia dengan linangan air mata.

“Iya, Sayang, Mama tahu ini pasti sakit banget. Ini juga Mama pelan-pelan bersihinnya,” sahut Tiyas tak melirik putrinya.

Nadia menggeleng, menepuk-nepuk dadanya. “Nadia sakit dikatain terus nggak punya Bapak.”

Seketika Tiyas mendongak, menatap lekat putrinya. Hatinya bak terasa ditekan ribuan ton melihat sorot mata Nadia yang memancar kesakitan. “Siapa yang ngatain kamu kayak gitu? Bilang sama Mama!”

Nadia menggeleng. “Nadia emang nggak punya Bapak, kan?”

Tiyas terduduk lemas, memandang nanar putrinya. Lidahnya mendadak terasa kelu.

“Nadia udah cukup merasa bahagia ada Mama dan juga Emak, tapi mereka ngejekin Nadia terus hampir setiap hari. Bilang kalau Nadia nggak akan bahagia tanpa kehadiran Bapak, Nadia nggak pantas hidup karena nggak ada bapaknya.” Nadia lelah mendengar ejekan teman sekampung dan sekolahnya yang tak berhenti setiap bertemu dengannya. Anak gadis menginjak remaja itu baru berani memuntahkan semuanya pada ibunya sekarang, karena terpergok ibunya datang dengan keadaan penuh luka.

Tiyas terpaku, tangannya mendadak terasa kaku, sedangkan tubuhnya terasa lemas. “Kamu disiksa sama yang ngejekin kamu?” dari sekian banyak pertanyaan yang bermunculan di benaknya, pertanyaan itu yang malah keluar dari mulutnya dengan suara bergetar.

Nadia buru-buru menggeleng. “Enggak, Ma, luka ini nggak ada hubungannya sama ejekan mereka.” Nadia tersenyum sendu. “Badan Nadia sakit semua, Ma, Nadia mau tidur dulu, ya?”

Tiyas bergeming, pikirannya berkecamuk. Mata Tiyas mengarah ke tirai kamar yang dimasuki Nadia, hatinya berdesir pedih. Ternyata dirinya tidak benar-benar peduli pada Nadia, karena buktinya dia tidak tahu apa saja yang Nadia alami.

Sore menjelang, kening Tiyas mengernyit heran karena putrinya tak kunjung keluar rumah.

“Nadia kemana, Yas?” tergopoh-gopoh Emak duduk di kursi ruang tamu, berusaha mengatur napas.

Tiyas duduk di samping ibunya, menatap ke arah tirai. “Daritadi siang udah pulang, mungkin dia masih tidur, Mak.” Tiyas menjeda ucapannya beberapa detik, mengubah posisi duduknya menghadap ibunya. “Mak, apa Nadia sering mengeluhkan ulah anak-anak di kampung sini ke Emak?”

Emak terkejut, tapi beberapa saat kemudian raut wajahnya kembali tenang. Mengabaikan pertanyaan Tiyas, menyuruput teh hangat di mug kaleng miliknya.

“Mak…” Tiyas mengguncang tubuhnya ibunya. “Tadi Nadia datang bicarain hal yang Tiyas nggak tahu selama ini. Tiyas malu, Mak, nggak bisa menenangkan Nadia.”

Emak menghela napas. “Emak nggak pernah menenangkan Nadia, karena memang kenyataannya Nadia nggak punya Bapak. Emak cuma minta dia buat bersabar dan menerima kenyataan.”

Tiyas tersenyum getir, hatinya terasa dicengkeram kuat. “Sejak kapan, Mak?”

Emak terdiam beberapa detik. “Sejak dia lahir.”

Jawaban ibunya terdengar seperti lelucon di telinganya, tetapi pada kenyataannya memang sejak Nadia dalam kandungan sudah banyak yang mencibir. Namun dirinya tak habis pikir, mereka belum juga puas melayangkan hinaan kepadanya dan menumpahkannya pada Nadia.
“Mak…” suara Tiyas terdengar parau.

“Kita nggak bisa melawan takdir, Yas, seberapa kuat dinding yang kamu bangun buat melindungi Nadia, nggak bisa sekokoh yang kamu harapkan, Yas.”

Tiyas membekap bibirnya, napasnya tersendat-sendat. Setegar apa pun dirinya di depan Nadia, tetap saja dia lemah di depan ibunya. “Keputusan Tiyas buat mempertahankan Nadia ternyata nggak sepenuhnya benar.”

Emak mengangguk. “Tapi menggugurkan Nadia melipat gandakan dosa kamu, Yas.”

Tangis Tiyas pecah mengingat sorot mata Nadia waktu tadi siang. Ada yang dirinya lewatkan dalam membesarkan Nadia. Dia melewatkan isi hati Nadia.

Jejak Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang