Tiga

1.3K 416 33
                                    

Mamak lihat pembacanya nyampe 400 lho, mo narget ah. 300 vote 50 komentar baru update lagi.

Semoga sukaaa
Hepi reading lope~lope

***

“Mama kok ngusir Om Rendi? Kan Om Rendi baik, Ma!” rengek Nadia mengayun-ayunkan lengan ibunya. “Nadia kangen pengen ketemu Om Rendi.”

Tiyas melirik putrinya, menghela napas panjang. “Kamu harus dirukiyah, khawatir kalau dia terapin sesuatu ke kamu. Mendadak lengket banget.”

Nadia menunduk lesu hampir menangis. “Padahal Om Rendi nggak jahat, Mama yang jahat ngusir Om Rendi. Mending Mama berangkat kerja lagi daripada Nadia nggak bisa ketemu Om Rendi!”

Seketika Tiyas melotot, mencubit lengan Nadia kesal. “Dengar, ya, kalau terbukti Om Rendi jahat dan culik kamu, siapa yang repot? Mama! Kamu baru kenal sama Om Rendi beberapa bulan, sedangkan Mama yang melahirkan kamu, lebih percaya sama siapa, hah!” suara Tiyas meninggi, urat lehernya bermunculan.

Nadia menangis tertahan, tak berani menatap ibunya. “Cuma Om Rendi yang bisa buat Nadia ketemu sama Bapak, Mama nggak pernah mau kasih tahu dimana Bapak.”

Tiyas melengos, ternyata benar Rendi ada hubungannya dengan pria sialan itu. Entah siapa Rendi dan hubungannya dengan pria sialan itu, tapi yang pasti dia tidak akan membiarkan anaknya mengenal apalagi sampai bertemu pria sialan itu. Susah payah dirinya memperjuangkan Nadia, dan sudah besar mereka datang, seperti sengaja menghinanya.

Emak datang lewat pintu dapur, tergopoh-gopoh ke ruang tamu. “Ada apa ini sore-sore rame sampai kedengeran keluar rumah?” Emak mendekati Nadia, terkejut karena punggung Nadia bergetar hebat. “Kamu apain Nadia sampai nangis gini, Yas?!”

Tiyas menjambak rambut frustrasi, menoleh pada ibunya. “Lain kali, Emak harus hati-hati menerima orang asing, apalagi sampai berinteraksi sama Nadia. Tiyas salah meninggalkan Emak dan Nadia sendirian di sini, tapi harusnya kalian bisa jaga diri dari orang yang baru dikenal.”

Emak bergeming masih belum mengerti dengan ucapan anaknya.

Tiyas berbalik, melangkah menuju kamarnya, tapi sebelum benar-benar masuk, Tiyas menghentikan langkahnya. “Tiyas belum tahu pasti siapa Rendi, tapi Rendi ada hubungannya sama dia, Mak.” Tiyas memejamkan mata sesaat, ketika matanya kembali terbuka, cairan bening membendung di pelupuk mata. “Dia yang susah payah Tiyas ingin lupakan dan buang.” Setelah mengatakan itu, Tiyas masuk ke kamar, meninggalkan ibu dan anaknya di ruang tamu. Dadanya terlalu sakit untuk bertahan di dekat Nadia semakin lama, karena bila diingat, dirinya selalu menyesal karena berhenti melangkah ketika hendak melakukan bunuh diri.

Tiyas membaringkan tubuhnya di kasur kapuk tipis, memandang pelafon kamarnya yang sudah terbuka karena sesekali kucing liar bertengkar di sana. Tiyas meringis ketika ingatan kelam itu kembali datang setelah sekian lamanya terkubur. Tidak bisa dipungkuri, pertemuannya dengan Rendi hari ini hanya mengundang luka masa lalunya.

Seorang gadis tak berani mengangkat kepalanya, hanya menunduk, memainkan ujung kemeja hitam lusuhnya. “Kamu pulang hari ini?” pertanyaan itu berbanding terbalik dengan apa yang sebenarnya ingin dia ucapkan. ‘Jangan pulang.’ Atau ‘jangan tinggalkan aku.’ namun dia tidak memiliki hak untuk mengatakan itu.

Pria yang duduk berhadapan dengan gadis tersebut tersenyum sendu, membelai kepala gadis tersebut. “Jangan khawatir, aku balik lagi kok ke sini buat menikahi kamu.” Tangan pria tersebut merambat, merangkum tangan gadis lugu itu. “Aku juga nggak mau kalau anak kita lahir tanpa ikatan pernikahan dan tumbuh tanpa salah satu dari kita.”

Setelah mendengar itu, gadis lugu itu baru berani mengangkat kepalanya, linangan air mata tergesa dia usap agar tidak terlihat oleh kekasihnya. “Kamu janji ya?”

Pria itu tersenyum hangat, mengecup bibir kekasihnya sekilas. “Iya janji.” Satu tangan pria itu mengusap perut kekasihnya yang masih datar. “Jaga anak kita baik-baik ya? aku bakal datang secepatnya.”

Dengan penuh antusias gadis itu mengangguk, percaya bahwa kekasihnya akan menepati janji dan dirinya hidup bahagia dengan keluarga kecil yang didambakannya.

Tiyas kehilangan segalanya hanya untuk mempertahankan Nadia, dan dengan bodohnya menunggu pria itu datang kembali menepati janjinya. Namun sampai detik ini pria itu hilang bak ditelan bumi, tenggelam ke dasar lautan untuk menemukan jasadnya pun adalah hal yang mustahil. Tanpa sadar air mata berlinang lewat samping wajahnya, Tiyas memejamkan mata karena rasa sesak semakin menggerogoti rongga dadanya.

***
Keesokan harinya, sikap Nadia sudah kembali seperti biasanya. Tiyas menarik kursi makan, duduk di samping Nadia. Tiyas berdeham, bersedekap di meja, memandang Nadia lekat. “Nadia, apa aja yang Om Rendi bicarakan sama kamu?”

Nadia berhenti mengunyah sesaat, melirik ibunya sekilas. “Kenapa Mama pengen tahu?”

Tiyas mengusap tengkuknya, berdeham. Meski sikap Nadia sudah membaik, tetap saja suasana yang mengisi di antara mereka sangat canggung. Tiyas juga merasa bersalah karena sudah membentak dan memarahi putrinya. “Buat memastikan kalau Om Rendi nggak berbahaya buat kita, jadi Mama bisa pertimbangkan boleh atau enggaknya Om Rendi menemui kamu.”

Wajah Nadia mendadak bersinar, matanya berbinar cerah, berbalik menghadap ibunya. “Mama serius?”
Dengan berat hati Tiyas mengangguk, mengangkat sudut bibirnya tersenyum tipis. “Mama khawatir Om Rendi itu bawa pengaruh buruk atau hal negatif lainnya.” Tiyas mengusp puncak kepala putrinya. “Tapi melihat kamu kecewa banget nggak bisa ketemu Om Rendi, Mama berpikir, Om Rendi nggak sejahat itu.”

“Om Rendi baik, Ma,” sahut Nadia dengan antusias. “Om Rendi sering banget ngasih hadiah, Om Rendi juga bilang, apa aja yang Nadia mau pasti Om Rendi kasih. Terus, Ma, Om Rendi juga bilang, kalau Nadia itu punya dua Nenek nggak cuma Emak aja,” celoteh Nadia riang.

Mendadak Tiyas merasa kepalanya berdenging, ringisan muncul dari bibirnya. Rendi datang pasti dengan tujuan tertentu, entah siapa Rendi bagi pria sialan itu. Tiyas memijat pelipisnya yang terasa kebas, menghela napas panjang, berusaha bersikap bijak menghadapi putrinya. “Begini, kalau memang nenek Nadia ada dua, harusnya beliau menengok Nadia, atau paling nggak menghubungi Nadia.” Tiyas merapikan rambut putrinya. “Tapi, beliau nggak ada, Mama juga nggak kenal. Jangan mudah percaya sama orang yang baru kita kenal, Sayang. Mama nggak akan melarang kamu kayak kemarin, tapi Mama boleh minta sama kamu untuk berhati-hati?”

Melihat respons Nadia yang bergeming tampak berpikir memberi sedikit kelegaan pada Tiyas. Bibir Tiyas mengembang lebar memperhatikan putrinya. “Gimana?”

Nadia mengangguk samar. “Iya, Ma.”

Tiyas memetikan jari. “Nah, gitu dong. Jadi Mama nggak perlu ngeluarin tenaga emosi gegara ini.”

Ketukan pintu terdengar, Nadia bergegas melompat dari kursi berlarian ke pintu dengan penuh semangat.

Tiyas berbalik, melongokkan kepala mencuri lirik sekalian mencuri dengar ke arah pintu yang memang hanya disekat menggunakan 3 batang kayu, pemisah antara ruang tamu dan tempat makan hingga bisa melihat ke arah pintu.

Mata Tiyas memicing, beberapa detik kemudian memutar bola mata jengah, karena ternyata yang datang tidak lain adalah Rendi.

Jejak Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang