Dua Puluh

1.3K 356 19
                                    

Reno tak hentinya memaki, menghancurkan barang-barang yang ada di ruang kerjanya hingga menarik perhatian ibunya.

“Ya ampun… ada apa sama kamu, No? Kenapa berantakin ruangan kerja kamu?” pekik Mama dengan mata memandangi seisi ruangan yang sudah seperti kapal pecah.

Reno mengempaskan tubuhnya ke kursi, memejamkan mata sesaat, sebelum akhirnya menatap ibunya dengan sorot tajam. “Mama tahu kan kalau Rendi mutasi ke daerah itu demi bisa bersama pelacur itu?! Kenapa Mama diamkan saja dia?!”

Mama mengusap dada, terkejut dengan nada tinggi yang dilontarkan putranya. “Mama sudah memperingati Rendi, mungkin Rendi belum mengerti dan sepenuhnya sadar, No…”

Reno tersenyum tipis. “Percuma saya berjuang menyekolahkan dia kalau akhirnya malah menikah dengan wanita rendahan.” Kata-kata tajam itu keluar begitu ringan dari mulut Reno. Amarahnya tersulut ketika melihat foto kebersamaan adiknya dengan Tiyas. Dia tidak terima Tiyas menolaknya, sedangkan adiknya bisa dekat dengan Tiyas.

Tangan Reno terkepal kuat, membuang pandangan dari ibunya. “Saya nggak mau tahu, Ma, Rendi nggak boleh menikah dengan wanita murahan yang nggak jelas asal-usulnya. Bila perlu, kita jodohkan dia dengan wanita yang bisa memberi keuntungan untuk bisnis kita.” Seringai muncul dari bibirnya. Jika dirinya tidak bisa memiliki Tiyas, adiknya pun tidak bisa memiliki Tiyas. Apalagi jika sampai mereka bahagia di atas kesengsaraannya.

“Mama juga sudah pikirkan itu, dan sudah membicarakannya dengan kolega bisnis kita. Sekarang, hanya tinggal menyeret Rendi pulang dari kampung itu dan mencegahnya agar tidak kembali ke sana.”

Reno mengangguk-angguk, sementara bibirnya menyunggingkan senyuman licik. Dari dulu Tiyas sudah jadi miliknya, jadi jelas tidak boleh ada yang memiliki Tiyas selain dirinya.

***

Angin malam menemani dua insan yang tengah duduk bersisian.

“Kamu yakin mau berjuang buat saya dan Nadia?” Tiyas mulai membuka percakapan setelah beberapa saat lalu hanya diam.

Rendi mengangguk tanpa melihat Tiyas. “Apa pun saya upayakan untuk menjaga kalian.”

Tiyas tersenyum masam, menunduk. “Saya nggak mau terbuai lagi dengan janji manis semu, Ren.”

Rendi menoleh, menatap sendu wanita di sampingnya itu. “Apa yang saya ucapkan itu bukan janji semu, melainkan tekad dalam diri saya.”

Tiyas tertawa kecil, sengaja mengejek Rendi. “Saya pernah di posisi seperti ini dulu, dan dengan polosnya saya percaya.”

Rendi meraih tangan Tiyas, menggenggamnya. “Kalau begitu jangan Mbak percaya sampai saya membuktikan tekad saya.”

Tiyas mengangkat pandangannya, membiarkan matanya bertemu dengan mata Rendi. Sorot mata hangat yang memancar dari bola mata Rendi berhasil menembus hatinya yang perlahan tak lagi dingin.

“Berulang kali saya bilang, saya memang nggak bisa menghilangkan jejak masa lalu Mbak, tapi saya berusaha menutupnya supaya Mbak dan Nadia bahagia.” Rendi menguatkan genggamannya. “Kalian berhak bahagia,” bisiknya.

Tiyas ingin mengangguk dan memercayai Rendi. Namun, ingatan masa lalunya mencegah, menyuruhnya untuk bergeming. Tiyas berusaha menguatkan hatinya agar tidak lemah, setidaknya sampai terlihat Rendi tidak akan melakukan hal yang sama seperti pria sialan itu lakukan.

Seolah menyadari pergolakan batin yang sedang Tiyas rasakan, Rendi tersenyum tipis, menggerakkan genggaman tangannya agar Tiyas tersadar dari lamunan. “Nggak mungkin kesalahan sama terulang dua kali, Mbak.”

Tiyas mengerjap, menggeleng. “Apa yang terjadi di masa lalu nggak bisa saya lupain, Ren. Sakitnya ditinggalkan, beratnya mengandung sendirian, dan membesarkan anak. Susah buat saya percaya bahwa semua itu nggak akan terulang lagi.”
Rendi mengangguk paham, semakin menguatkan genggamannya. “Mbak trauma.” Rendi memperjelas ungkapan Tiyas.

Tiyas mengangguk, bergidik kala teringat semakin sulit hidupnya setelah pria sialan itu meninggalkannya. “Setiap hari merasa nggak pantas hidup, terbesit pikiran kematian lebih indah daripada terus hidup.” Mata Tiyas berkaca-kaca. “Keadaan semakin sulit, kemampuan terbatas, kekuatan tubuh sudah mencapai batas maksimal, akhirnya saya memutuskan untuk jadi pelacur. Kepalang hancur, kan?”

Rendi meringis seolah ikut merasakan sakit. Sebelah tangannya merangkul bahu Tiyas, mendekapnya, menguatkan. “Mbak hebat, saya yakin banyak wanita yang sehebat Mbak.”

Tanpa sadar Tiyas menyandarkan kepalanya di dada bidang Rendi, matanya terpejam meresapi rasa nyaman dari dekapan Rendi.

Rendi tersenyum tipis, membelai rambut Tiyas. “Tapi, Mbak, sekuat-kuatnya wanita, ternyata membutuhkan bahu untuk bersandar dan dada untuk mencurahkan keluh-kesahnya.”

Tiyas memutar bola mata jengah. Satu hal yang dirinya lupakan. Rendi tidak boleh diberi kelonggaran, karena ketika diberi kelonggaran akan melunjak. “Maaf, kamu yang nahan badan saya. Bukan sengaja bersandar di sini, ya.” Tiyas meronta meminta dilepaskan.

Rendi tertawa kecil, sengaja menempelkan dua lengannya, mengeratkan dekapannya pada Tiyas. “Saya tahu, kok, Mbak udah kepalang nyaman saya dekap.”

Tiyas mencebik, terus meronta. “Gimana kalau ada tetangga lewat, terus lihat dan jadi salah paham?”

Rendi memutar bola mata, berpikir beberapa saat, sebelum akhirnya senyum jahil tersungging di bibirnya. “Nggak apa, biar langsung dinikahkan saja sama warga, jadi Mbak nggak punya alasan buat menghindar.”

Tiyas berdecak, meronta semakin jadi minta dilepaskan. Dekapan Rendi membuatnya sesak, sesak dengan harapan-harapan yang mulai berdatangan memenuhi hatinya.

Jejak Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang