Satu

1.4K 410 13
                                    

Setiap enam bulan sekali Tiyas pulang ke  Jawa Barat, menghabiskan waktu sekitar seminggu lalu berangkat lagi ke Kalimantan. Namun untuk kepulangannya kali ini, Tiyas mungkin tidak akan berangkat lagi ke Kalimantan. Beberapa barang miliknya pun sudah dibenahi dan akan menyusul lewat paket.

Pertama kali memasuki gang rumah, ada sekelompok Ibu-Ibu yang menatap sinis ke arahnya. Namun Tiyas membalas dengan senyuman dan anggukan sapaan, dia mengingat apa kata ibunya, jangan membalas sikap tidak baik orang lain terhadapnya. Mereka yang menatap sinis ke arahnya jelas tahu bagaimana masa lalunya, dan menganggap bahwa dirinya tidak layak tinggal di kampung tersebut.

Dari kejauhan terlihat seorang gadis kecil sedang bermain tanah di halaman rumah sendirian, mendongak ketika mendengar suara geretan koper. Matanya berbinar, senyum mengembang lebar, seketika membuang mainan yang sedang dia pegang, berdiri, berlari menuju dirinya. “Mama!”

Tiyas berhenti melangkah, tersenyum lebar, merentangkan tangan membiarkan gadis kecil itu berlari ke arahnya lalu menghambur ke pelukannya.

“Mama kok pulang nggak ngasih kabar ke Emak atau ke Nadia?” keluh gadis kecil itu dengan nada manja.
Alih-alih menjawab, Tiyas semakin mengeratkan pelukannya, mengirup dalam wangi stroberi yang menguar dari tubuh putrinya. Perasaan hangat menjalar ke seluruh tubuh, rasa rindu selama berbulan-bulan pada putrinya terbayarkan sudah, sesak mengerubungi dadanya setiap kali bertemu dengan putrinya, menyesal karena tak bisa memberikan perhatian dan kasih sayang yang semestinya pada putrinya.

Wanita tua keluar dari rumah, tersenyum hangat ketika melihat anaknya kembali ke rumah dengan selamat. “Kapan berangkat dari Kalimantan, Yas?” tanya wanita tua tersebut, tergopoh-gopoh duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah.

Tiyas melerai pelukannya, mengecup kening putrinya— Nadia. “Kemarin sore, Mak, mampir dulu ke rumah teman di Bandung, nggak enak karena dia yang jemput sama nawarin mampir dulu.” Tiyas mengajak putrinya naik ke teras rumah, menyalami ibunya, mengecup kening ibunya lamat. “Emak sehat?” tanya Tiyas, mengambil tempat duduk di kursi sebelah kiri ibunya.

Emak hanya mengangguk, tersenyum tipis.

Nadia duduk di pangkuan ibunya, bergelayut manja tak mau jauh-jauh dari ibunya. “Mama bawa oleh-oleh nggak?”

Tiyas mengusap rambut hitam lebat putrinya, mengangguk, mengedikkan dagu ke arah koper yang masih berada di halaman rumah. Seketika Nadia berdiri, berlari ke arah koper ibunya, menyeret koper berwarna hitam itu ke dalam rumah sembari bernyanyi riang. Melihat putrinya yang selalu bahagia setiap kali kepulangannya memberi sedikit kelegaan di hatinya. putrinya tidak mendendam atas ketidakberadaan dirinya selama ini.

Hening beberapa saat.

“Beberapa bulan belakangan ini, ada laki-laki dari kota Jakarta hampir setiap bulan datang ke sini dan menginap setiap sabtu-minggu menemani Nadia.”

Sorot mata sendu Tiyas berubah memancarkan kecemasan. “Emak kenal sama laki-laki itu?”

Emak menggeleng, mendesah pelan. “Emak nggak kenal, tapi bentuk wajahnya kayak nggak asing di mata emak. Seperti pernah melihat, tapi Emak lupa dimana dan siapanya.”

Tiyas menepuk keningnya, mendesah gusar. “Emak kok nggak hati-hati, main terima aja orang asing yang datang ke sini. Gimana kalau penculik atau orang yang berniat jahat? Lagian, kenapa Emak nggak telepon Tiyas?” cecar Tiyas pada ibunya.

Emak mengusap punggung putrinya menenangkan. “Tarik napas dulu, satu-satu kalau mau bertanya.” Emak meraih tangan putrinya, meremasnya lembut seolah sedang menghantarkan ketenangan. “Emak sengaja nggak kasih tahu kamu supaya nggak mengganggu pekerjaan kamu di sana. Coba kalau Emak kasih tahu, pasti nggak akan tenang kamu kerja di sana.”

Bahu Tiyas yang semula menegang perlahan melemas. “Mak, lain kali jangan diam seperti itu. Kalau sesuatu terjadi sama kalian, Tiyas nggak akan bisa memaafkan diri sendiri.”

“Iya, Emak paham. Makanya Emak ceritakan sekarang,” sahut Emak dengan nada lembut.

Tiyas mengembuskan napas perlahan, melepas ketegangan yang mendera dirinya. “Terus, bulan ini laki-laki itu udah datang? atau belum?”

Emak menggeleng. “Biasanya dia datang pertengahan bulan, ini baru awal bulan. Kalaupun dia datang, kamu keburu berangkat lagi ke Kalimantan.”

Tiyas menghela napas panjang, merangkum kuat jemari ibunya. “Tiyas nggak balik lagi ke Kalimantan, Mak. Pekerjaan Tiyas di sana sudah selesai.” Bibir Tiyas mengembangkan senyuman saat melihat ibunya menganga tak percaya. “Tiyas sudah diberhentikan, kita rintis usaha di sini, atau lebih bagus kita pindah dari sini.”

Tiba-tiba Emak mengahmbur memeluk putrinya, menangis tersedu.

Tiyas mematung, baru pertama kali melihat ibunya menangis seperti ini. “Emak kenapa?”

Emak masih menangis, menggeleng-geleng.

“Mak?”

“Emak tahu pekerjaan kamu seperti apa,” ucap Emak terisak sedih. “Dan Emak senang kamu sudah berhenti sekarang.”

Tiyas meringis, merasa seluruh tulang-belulang dalam tubuhnya lepas mendengar apa yang ibunya ucapkan. Tiyas kembali dihantam makna kasih ibu sepanjang hayat, ibunya berpura-pura tidak tahu apa pekerjaannya demi menjaga perasaannya, dan selalu mendoakan kesalamatannya. “Emak tahu darimana?”

“Firasat, Nak, sebagian dari omongan tetangga kita. Tapi Emak nggak pernah putus meminta kepada Allah supaya kita berada dalam kemaslahatan dan kebaikan. Emak yakin, Allah nggak mungkin menguji di luar batas kemampuan hamba-Nya. Kita semua sudah menyetujui perjalanan hidup kedepannya sejak dalam kandungan. Emak nggak ada tenaga menghentikan kamu, Emak hanya bisa berdoa.”

Runtuh sudah pertahanan dirinya, Tiyas menangis sejadi-jadinya meminta maaf atas kebohongannya selama ini dan malah lupa masalah laki-laki yang datang ke rumahnya. Di bawah awan mendung sore hari, mereka larut dalam kesedihan. Bukan meratapi nasib, tapi meratapi kesalahan mereka.

Malam menjelang, perasaan yang mengganjal di hati Tiyas selama sepuluh tahun sirna sudah. Tiyas tak melepaskan pandangannya dari Nadia, tersenyum hangat ketika melihat putrinya makan dengan lahap.

“Nama laki-laki itu Rendi, Yas. Dia bilang teman dekat kamu.”

Kening Tiyas mengerenyit, mengingat-ingat semua temannya dari awal sampai akhir atau barangkali ada kliennya waktu di Kalimantan. Tak kunjung menemukan nama yang disebutkan, Tiyas akhirnya mengangkat bahu tak tahu. “Nggak ada teman Tiyas yang namanya Rendi, Mak.”

Emak duduk di sofa ruang tamu yang sudah lusuh dengan beberapa busanya menyembul keluar. “Lah, masa kamu nggak ingat? Wajahnya meyakinkan banget waktu bilang teman kamu.”

Tiyas yang tengah duduk di kursi makan berpindah ke ruang tamu menyusul ibunya. “Beneran nggak ada teman Tiyas yang namanya Rendi, masa Tiyas mesti telepon satu-satu buat meyakinkan Emak.”

Emak melirik ke arah lain seolah sedang berpikir, dan mengingat. Tiba-tiba suara Nadia mengintrupsi keduanya.

“Om Rendi bilang, kalau Nadia itu keponakannya Om Rendi, Ma.”

“Keponakan?!” suara Tiyas sedikit meninggi, khawatir Si Rendi itu benar orang jahat yang mempunyai niat terselubung pada keluarganya. Karena jelas dirinya anak tunggal, sedangkan dari pihak pria sialan yang menghamilinya? Jangan ditanya, ptia sialan itu saja lari dari tanggung jawab, bagaimana mungkin ada keluarga dari pihak itu jauh-jauh datang kemari. “anak-anak dari keluaraga Emak kali?”

Emak mengibaskan tangan. “Kamu tahu sendiri, keluarga emak nggak mau mengakui Emak sebagai keluarga mereka lagi semenjak nikah sama Abah.”

Tiyas menjambak rambut frustrasi, melirik anak dan ibunya bergantian. “Harusnya Emak kasih tahu dari kemarin, langsung hubungi Tiyas waktu orangnya datang. Jadi Tiyas tahu laki-laki itu teman atau bukan,” gerutu Tiyas mencebik kesal.

Dengan santainya Emak mengangkat bahu. “Dia nggak menunjukkan gelagat penjahat, Yas, wajahnya juga tampan, nggak mungkin penjahat.”
Tiyas bersedekap, mendelik tak suka. “Jangan terayu sama rupa luarnya, Mak, bisa bahaya!”

Nadia memperhatikan ibu dan neneknya yang tengah berdebat, pikirannya menepis dugaan ibunya yang mengatakan Om Rendi adalah orang jahat. “Om Rendi baik, Ma. Sering ngajak Nadia main, terus Om Rendi pernah bilang—“ ucapan Nadia terhenti ketika mengingat pesan yang disampaikan padanya untuk tidak memberitahu ibunya siapa Om Rendi itu.

Seketika mata Tiyas memicing penuh selidik. “Bilang apa?”

Nadia menyengir, mengangkat bahu tak acuh. “Nadia lupa.” Nadia menguap lebar, mengucek mata. “Nadia ngantuk, Ma.” Nadia langsung meninggalkan ruang tamu setelah berpamitan pada ibu dan neneknya. Mengembuskan napas lega karena rahasia Om Rendi masih bisa dijaga.

Tiyas merasa ada yang putrinya sembunyikan, beralih menyorot ibunya yang seketika menghindari sorot matanya. Tiyas menghela napas lelah, mengangkat kaki, membaringkan tubuh di sofa yang sudah kehilangan keempukannya.

“Tadinya, Emak nggak mau membebani kamu, Yas.”

Tiyas menempelkan lengannya di kening, memandang plafon rumah yang catnya sudah memudar dan dihiasi lingkaran-lingkaran cokelat bekas bocor. “Justru Emak malah makin membebani Tiyas karena nggak bisa mencaritahu lebih awal,” balas Tiyas kemudian memejamkan mata mengabaikan keberadaan ibunya.

Jejak Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang