Dua

1.3K 415 11
                                    

Dua minggu sudah dirinya berada di rumah, tetapi pria yang disebutkan ibunya tak kunjung menunjukkan batang datang. Siapa pria itu? Apa pria itu berniat membahayakan keluarganya? Tak henti Tiyas mendesah gusar khawatir akan keselamatan keluarganya, mengingat Nadia yang masih kecil dan ibunya sudah lajut usia.

Tiyas terlonjak kaget mendengar suara ibunya dari arah belakang, menghela napas panjang mengusap dadanya berulang kali.

“Daripada melamun nggak jelas, mending bantu Emak ke kebun, Yas!”

Tiyas berbalik, memberengut sebal. “Emak mau bikin Tiyas jantungan?” sungut Tiyas bergegas mengikuti ibunya ke dapur. “Tiyas nggak bisa ikut ke kebun, jaga-jaga kalau laki-laki itu datang ke sini.”

Emak menggeleng-geleng atas kekhawatiran putrinya yang berlebihan. “Emak yakin dia bukan orang jahat, kalau dia memang jahat, harusnya sudah melancarkan niatnya selang dua kali datang ke sini,” sahut Emak dengan nada tak acuh.

Tiyas berdecak, duduk di dipan yang mengarah ke tungku perapian. “Tetap aja, Mak, perasaan Tiyas nggak enak. Kayak ada yang janggal, tapi Tiyas nggak tahu apa.” Tiyas melirik api membara dari tungku perapian, disusul asap hitam. “Mak, keseringan pakai tungku kayu begini nggak baik buat kesehatan. Tiyas kan udah belikan kompor gas,” omel Tiyas kesal karena ibunya masih saja menggunakan cara tradisional.

Emak mengangkat bahu ringan. “Kepalang nyaman, udah terbiasa pakai beginian. Emak takut suatu saat tabungnya meledak kalau pakai kompor gas.”

Tiyas mencebik, mengusap wajah kasar. “Itu sugesti Emak aja.” Tiyas mengalihkan pandangannya ke arah pintu samping dapur yang terbuka, menunjukkan hamparan tanah yang ditumbuhi dengan pepohonan dan dedaunan. “Tempo lalu Emak bilang, wajahnya nggak asing.” Tiyas menoleh pada ibunya. “Emak nggak berusaha mengingat siapa dia?”
Tiyas masih berusaha mendesak ibunya untuk mendeskripsikan dengan baik dan benar bagaimana rupa pria itu,  berjaga-jaga jika postur tubuh pria itu lebih tinggi darinya, jadi bisa bersiap-siap.

Emak memutar bola mata, berpikir, tidak lama kemudian menghela napas panjang. “Emak nggak tahu ini benar atau enggak, terus Emak juga bukan bermaksud mengungkit masa lalu kamu. Tapi yang ada dalam ingatan Emak, dia mirip sama ayahnya Nadia.”

Tiyas bergeming, tubuhnya lemas seketika merasa dilempar ke dasar jurang yang gelap dan pekat. “Emak salah ingat kali,” elak Tiyas sembari tersenyum tipis mempertahankan benteng ketegarannya.

Emak mendesah pasrah, mengangguk samar. “Emak juga berharap begitu.” Emak beranjak dari depan tungku, meraih arit yang menggantung di bilik dapur. “Kalau kamu nggak mau ikut ke kebun, tolong beresin rumah, terus masak, ya? apinya sudah Emak nyalakan, sekalian titip air, tunggu sampai mendidih, buat mandi sore Nadia,” tunjuk beliau pada panci di atas tungku.

Tiyas hanya mengangguk, pikirannya berkelana pada masa lalu yang sebenarnya tidak ingin dia ingat lagi. Tiyas tidak tahu banyak tentang pria sialan itu, yang membekas diingatannya keberengsekan pria sialan itu dan juga kebodohannya.
Selang beberapa menit ibunya pergi, ketukan pintu terdengar, Tiyas mengerjapkan mata beberapa kali, bergegas menuju ruang tamu, membukakan pintu.

“Nadia!” sapaan riang seorang pria berkulit putih, berpakaian rapi, mengira bahwa yang membukakan pintu adalah gadis kecilnya.

Sebelah alis Tiyas terangkat, melirik sinis pada pria yang berdiri di hadapannya itu. “Saya ibunya Nadia,” tegasnya.

Pria tersebut berdeham, mendadak merasa canggung, tersenyum kikuk. “Wah, akhirnya saya bisa bertemu sama mamanya Nadia,” ucap pria tersebut dengan senyum lebar dan wajah yang berbinar membuat Tiyas ingin membungkus pria tersebut agar tidak lagi melihat wajah yang menurutnya bisa memikat siapa pun.

Tiyas bersedekap, membiarkan tubuhnya menutupi pintu masuk yang memang hanya cukup dilewati satu orang. “Kamu Rendi?”

Muncul keterkejutan dari raut wajah pria tersebut, tetapi beberapa saat kemudian raut wajahnya kembali normal. “Rupanya Mbak sudah tahu saya,” sahutnya dengan nada tenang.
Tiyas mendengkus, melirik dari ujung kepala pria tersebut hingga ke ujung sepatu. Wajahnya memang tampan dihiasi lesung pipi di kedua pipinya, bibirnya tebal tapi kecil, dan matanya besar dan dalam membuat sorot matanya terlihat tajam. Ibunya tidak salah, dari depan pria itu tidak terlihat membahayakan, tapi tidak ada yang tahu bagaimana bagian dalamnya. Seperti pria hidung belang yang mendatanginya, sebagian dari mereka memiliki rupa yang rupawan tapi tidak dengan hati mereka. Ingat, letak hati memang dekat, tapi isinya sangat jauh dan tidak bisa ditebak.

“Emak kasih tahu saya, Nadia juga, jadi mustahil kalau saya nggak tahu nama kamu.” Tiyas kembali menilik pria tersebut, meski menyadari ketidaknyamanan dari raut wajah pria tersebut. “Maaf, bukan saya nggak sopan. Tapi buat memastikan ingatan saya pernah punya teman kamu,” tunjuknya sembari mengacungkan jari telunjuk tepat ke arah wajah pria tersebut.

Pria tersebut— Rendi tersenyum kikuk, mengusap tengkuknya merasa canggung. “Kita memang belum pernah bertemu, Mbak, saya cuma mengaku-ngaku sebagai teman Mbak supaya bisa dekat dengan Nadia.”

Tiyas berdecak, kemudian mengangguk. “Ah, begitu. Ternyata kamu jujur banget, ya,” ucap Tiyas dengan nada sarkas. Dia sengaja tidak mempersilakan Rendi masuk ke rumah, karena keramah-tamahan hanya akan membuat orang asing melunjak. “Omong-omong, kenapa kamu memanggil saya Mbak? Seolah kamu sudah kenal saya dan tahu perbedaan usia kita.”

Rendi tersenyum tipis. “Saya tahu, Mbak lebih tua lima tahun dari saya.”

Oke baiklah, pernyataan lebih tua sedikit menyinggung pendengarannya. Kening Tiyas mengerenyit, heran karena pria di depannya bersikap seolah tahu usianya. Tiyas berdeham, berdiri tegak, mengangkat dagu. “Sejak kedatangan kamu pertama kali, memang nggak ada sopan-sopannya. Sudah ngaku-ngaku teman saya, mendekati anak saya tanpa permisi, terus manggil Mbak tanpa seizin saya.” Tiyas berdecak menggeleng-geleng. “Ada maksud apa kamu sama keluarga saya?”

Rendi berusaha mencuri lirik ke dalam rumah adakah Nadia di sana.

“Nadia nggak ada, kamu nggak boleh bertemu lagi sama Nadia,” tukas Tiyas dengan nada ketus.

Akhirnya, pasokan kesabaran yang Rendi miliki digunakan saat ini untuk menghadapi wanita yang berdiri di hadapannya. “Saya nggak ada niat jahat kok.”

Tiyas mengangkat bahu tak peduli. “Mana bisa saya percaya hanya dengan ucapan kamu.”

Rendi mengembuskan napas perlahan, menyorot tajam Tiyas. “Kalau saya berniat jahat, harusnya nggak usah repot-repot setiap bulan berkunjung kemari.”

“Siapa yang minta kamu berkunjung setiap bulan ke sini?”

Rendi dibuat menganga dengan serangan balik yang diberikan Tiyas. Rendi sudah memperkirakan percekcokan akan terjadi jika dirinya dan Tiyas bertemu, tapi dia tidak menyangka akan berkepanjangan seperti sekarang. “Rasa tanggung jawab yang mendorong saya melakukan ini.”

Tiyas mengangguk-angguk. “Tanggung jawab atas apa? Memang siapa kamu sampai harus bertanggung jawab dengan hal yang belum jelas?”

Rendi mendesah frustrasi, maju dua langkah, merentangkan tangan, bertumpu pada ambang pintu mengukung tubuh Tiyas yang setinggi dadanya, menatap Tiyas lekat. “Begini, saya orangnya sabar, tapi mudah juga tersulut emosi,” geram Rendi dengan nada rendah. “Kita bisa berteman sekarang,”  imbuh Rendi kembali ke ekspresi tenang.

Tiyas memutar bola mata malas, mencebik bersikap tak acuh. “Pertama, saya nggak peduli dengan apa yang kamu katakan. Kedua, saya nggak takut kamu pemarah ataupun penyabar. Yang jelas, saya kepala rumah tangga di sini, wajar kalau saya mengkhawatirkan keluarga saya, karena kamu orang asing yang mengaku-ngaku sebagai teman saya. Kesan pertama aja udah buat saya males ketemu kamu, siapa yang mau berteman sama pembohong?” balas Tiyas dengan nada rendah tak gentar dengan sikap Rendi.

Tangan Rendi terkepal, menahan napas beberapa detik sebelum akhirnya mundur lima langkah menjauh dari Tiyas. “Saya nggak seperti yang Mb— kamu pikirkan. Kita bisa buktikan setelah Nadia datang.”

Tiyas mengibaskan tangan. “Tapi saya nggak akan mengizinkan kamu bertemu sama Nadia lagi.”

“Sialan!” umpat Rendi refleks kesal karena kekeras kepalaan wanita di depannya ini.

Tiyas melotot mendengar umpatan Rendi. “Kamu mengumpati saya?!”

Rendi tertawa kikuk, langsung mengambil sikap menggerak-gerakkan kakinya. “Sialan tiba-tiba ujung kaki kerasa digigit binatang,” jawabnya cengengesan.

Tiyas mencebik. “Pergi kamu dari sini!”

“Saya akan pergi, tapi setelah bertemu Nadia,” kukuh Rendi dengan nada memelas.

Tiyas menilik lagi wajah Rendi, tertegun ketika menemukan kemiripan Rendi dengan pria sialan itu. Tiyas menggeleng tegas, mendorong Rendi agar keluar dari teras rumahnya. “Pergi!”

Tiyas meringis, ternyata jejak dari masa lalunya masih mengikuti, padahal dirinya sudah susah payah melupakan dan mengikhlaskan masa lalunya itu.

Jejak Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang