Sembilan Belas

955 365 29
                                    

Semenjak update Wattpad versi terbaru, Mamak kurang nyaman. Balas komentar juga nggak bisa, dibuka juga nggak bisa, ngevote sendiri nggak bisa. Apa dan dimana sih masalahnya? Jadi sedih Mamak, tuh... Hayuk ah ramaikaann...

***

Kening Tiyas mengernyit heran ketika melihat Rendi datang mengenakan celana piyama dengan kaos putih polos. Dari wajahnya terlihat jelas baru bangun tidur dan hanya mencuci muka. Tiyas menghela napas panjang, berkacak pinggang, menggeleng tak habis pikir.
Rendi semakin dekat, masuk halaman rumah.

“Ada apa pagi-pagi datang ke sini?”

Rendi menyengir lebar, menggaruk kepalanya yang tak gatal sembari terus melangkah mendekati Tiyas. “Semalam lupa nggak masak nasi, perut lapar tapi nasi belum matang. Boleh numpang makan?”

Tiyas berdecak. “Di sini juga belum ada nasi.”

Rendi mencebik. “Nggak percaya saya, Mbak.”

“Lah?”

Rendi mengangkat bahu ringan, melenggang masuk teras melewati Tiyas. “Kalau di sini nggak ada nasi, gimana Nadia makan?”

Tiyas memutar bola mata malas, berbalik menghadap Rendi, bersedekap kesal. “Memang beneran nggak ada, kok!”

Kali ini Rendi tak segan menunjukan wajah cemberutnya, mendelik ke arah Tiyas. “Minta nasi doang, pelit banget sih, Mbak!”

“Lah kamu, udah minta, ngotot lagi!”

Rendi mengurungkan niatnya yang hendak mendudukkan diri di dipan, mendekati Tiyas, mengikis jarak hingga tiga langkah antara mereka. “Ya salah Mbak nolak keberkahan. Kasih saya nasi itu sama dengan sedekah, Mbak.”

Sebelah alis Tiyas terangkat. “Kamu udah kaya, nggak jadi sedekah kalau saya ngasih ke kamu.”

Rendi maju satu langkah lagi. “Kalau saya kaya, nggak akan mau saya repot-repot kerja."

Nadia yang berada di dalam rumah mendengar perdebatan antara dua orang dewasa tersebut hanya bisa menghela napas sembari menggeleng tak habis pikir. Nadia membawa bakul nasi yang sudah dimasak dari subuh hari keluar rumah.

“Nih Om, mau dibawa semua juga boleh,” sentak Nadia sembari menyimpan bakul tersebut di dipan.
Rendi mengacungkan jempolnya, tersenyum lebar, melangkah melewati Tiyas begitu saja.

Tiyas memutar bola mata jengah, berbalik, melangkah menuju dipan menyusul keduanya. “Nggak sekalian makan di sini aja?” tawar Tiyas dengan nada sarkas berniat menyindir Rendi.

Senyum Rendi semakin lebar, mengangguk penuh semangat. Tiyas tidak tahu saja dirinya hanya membuat alasan agar bisa menemui Tiyas dan menghabiskan waktu bersama.

Tiyas menghela napas, melirik putrinya memberi isyarat untuk membawa lauk pauk yang ada di meja makan. “Lain kali masak nasi itu dari malam, biar nggak merepotkan orang lain pagi-pagi.”

Rendi hanya mengacungkan ibu jarinya sembari tersenyum lebar.

Nadia datang membawa dua piring yang berisi lauk-pauk, menyimpannya di depan Rendi. Dengan antusias Nadia duduk berhadapan dengan Rendi. “Beneran ya, Om, kalau Nadia masuk sekolah, Om harus mau jadi bapaknya Nadia. Nadia bisa bilang dengan bangga bapaknya Nadia itu dokter!”

Kening Tiyas mengernyit tak mengerti, melirik Rendi dan putrinya bergantian. Sedangkan Rendi mengangguk-angguk sebagai jawaban. “Mama nggak ngerti maksud pembicaraan kamu.” Tiyas menyela, bersedekap, mendelik ke arah Rendi. “Mana bisa Om Rendi jadi bapak kamu?”

Nadia mengangkat bahu tak peduli. “Nadia nggak keberatan kok kalau Om Rendi jadi bapaknya Nadia.”

Bibir Tiyas terbuka, memijat kepalanya yang mendadak terasa ngilu. “Nggak bisa dong.”

Rendi menatap Tiyas sekilas. “Bisa dong, memang saya sedang mendaftar jadi bapaknya Nadia, kan?” timpal Rendi tanpa bersalah.

Tiyas berdecak, melotot tak terima. “Ini perkara serius, loh. Nggak bisa dijadikan bahan bercandaan, apalagi sudah masuk ranah sekolah. Urusannya sama Negara juga.” Lelucon Rendi sudah berlebihan. Bisa bahaya bila putrinya berharap lebih pada hal yang tidak mungkin terjadi.

Rendi menatap Nadia yang menundukan kepala, tak berani membantah ibunya. Rendi menghela napas panjang, tersenyum hangat. “Om nggak keberatan jadi bapak kamu,” hiburnya, “Om juga nggak keberatan jadi pelindung kalian, menjadi orang pertama yang mendengar keluh-kesah kalian. Om akan berusaha jadi Bapak terbaik buat kamu.”

Mendengar itu, Nadia langsung mengangkat kepalanya, tersenyum lebar, berurai air mata. Baru pertama kali dirinya merasakan hangat kebersamaan duduk dengan formasi lengkap, ibu dan ayah. Mata Nadia berkaca-kaca, hidungnya kembang-kempis antara terharu dan juga sedih. “Makasih, Om…” suara Nadia bergetar menahan tangis, menyeka air matanya berulang kali. Dia beralih menatap ibunya. “Nadia nggak jadi putus sekolahnya, Ma. Ada Om Rendi yang siap jagain Nadia.”
Tiyas tak bersuara, tetapi hatinya bergetar hebat mendengar ucapan Rendi yang penuh keyakinan, dan juga melihat putrinya yang menangis bahagia. Tiyas bergantian melirik keduanya, beberapa saat kemudian dirinya berusaha mengembangkan senyuman.

Rendi memang berbeda, tidak sama dengan pria sialan jtu. Hati Tiyas mulai tergerak, berbisik pada akal untuk mengikuti kata hatinya kali ini.

Jejak Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang