Enam

1.1K 358 12
                                    

“Mbak Tiyas!”

Tiyas menoleh, berdecak sebal ketika melihat siapa yang memanggilnya. Tiyas melangkah tergesa melewati kerumunan orang di pasar yang menghalangi jalan. Perasaan, pasar tradisional yang dirinya datangi sangat luas, tapi mengapa dirinya bisa bertemu dengan Rendi?

Tiyas menggeleng, mendesah tak habis pikir terus melangkah, sesekali menabrak orang yang bersinggungan dengannya.

“Mbak! Mbak Tiyas!” Rendi masih giat mengejar, berharap bisa berbasa-basi agar lebih dekat dengan Tiyas.

Tiyas melepaskan ikatan rambutnya, digerai hingga menutupi wajah, enggan menghentikan langkah.

Dirasa tak ada lagi yang memanggil, Tiyas mengembuskan napas lega, memelankan langkahnya, kembali mengikat rambut. Sampai di gerbang pasar, beberapa Sopir angkutan umum menawari dirinya untuk masuk, tetapi ditolak, karena dirinya sudah berniat akan jalan kaki pulang ke rumah.

Senyum yang semula mengembang, mendadak sirna ketika mendengar suara tak diinginkan tersebut. Tiyas mendesah kesal, berkacak pinggang, berbalik. “Kamu nggak ada kerjaan ngejar-ngejar saya kayak gini?”

Dengan raut wajah tanpa bersalah, Rendi tersenyum, mendekati Tiyas. “Iya, nggak ada kerjaan karena sekarang hari Minggu.”

Tiyas memutar bola mata jengah. “Bisa nggak sih jangan ganggu saya?”

Rendi menggeleng. “Nggak bisa, Mbak, karena tujuan saya menetap di sini memang buat gangguin Mbak.”

Tiyas mengayunkan tangan hendak memukul wajah Rendi, tetapi urung ketika menyadari dirinya menarik perhatian pengunjung. Tiyas menurunkan tangan, mengusap dada, menghela napas perlahan. “Saya nggak suka diganggu sama kamu.”

“Tapi saya suka ganggu Mbak, karena gangguin Mbak sama dengan setengah perjuangan saya. Gimana dong?”

Tanpa sadar, tangan Tiyas mencengkeram kuat plastik hasil belanjanya, wajahnya memerah emosi mendengar jawaban Rendi. Tiyas tersenyum kesal, mengembuskan napas kasar. “Kamu beneran pejuang sejati, ya,” desis Tiyas. Mata Tiyas berpencar mencari tempat yang pas untuk bisa menghajar habis-habisan pria di depannya ini. “Seingat saya, di sekitar sini ada lapangan. Mending sekalian deh kita cari tempat yang teduh.”

Rendi tersenyum lebar, matanya berbinar cerah merasa ada angin baik yang menyambut, dengan riang Rendi mengikuti langkah Tiyas.

Tiyas menyeringai, benaknya sudah menyiapkan rencana untuk mengajak Rendi ke sungai besar dan mendorongnya agar hanyut di sungai.

Rendi melirik jalanan sekitar yang mereka lewati. Pohon-pohon besar berjejer, beberapa meter kemudian jalanan menjadi gelap karena tertutupi pohon bambu, mirip hutan tetapi berlokasi di perkotaan. Dalam hati, Rendi berdecak kagum dengan pemandangan yang disuguhkan. Rendi bergegas mensejajarkan langkahnya dengan Tiyas, mengirup rakus aroma hutan. “Saya baru tahu ada tempat seperti ini di sini, Mbak.”

Tiyas mencebik. “Kamu nggak akan tahu, karena bukan asli orang sini,” sahut Tiyas kemudian berbelok ke tebing sungai, duduk di bebatuan sedikit berjarak dari tebing.

Rendi duduk di sebelah Tiyas, bibirnya semakin mengembang lebar setelah mendengar aliran air sungai yang masih deras. “Pantas Kak Reno sangat betah di sini.”

Tiyas melirik sekilas, kemudian membuang pandangannya ke lain arah. “Sebenarnya, apa yang mau kamu perjuangkan? Kamu mau membawa Nadia?”

Kedatangan dan penjelasan Rendi tak membuatnya tenang, karena dalam otaknya sudah tertanam bahwa suatu saat kedatangan pria sialan itu bukan untuk meminta maaf padanya, melainkan meminta anaknya.

Rendi menatap lekat Tiyas dari samping. “Nggak ada sedikit pun niat saya membawa Nadia, Mbak, saya hanya ingin memperbaiki yang dulu kakak saya tinggalkan.”

Tiyas tersenyum masam. “Kalau begitu, kenapa kamu nggak meminta maaf sama saya? Harusnya, kamu meminta maaf lebih dulu sebelum mengutarakan maksud kamu.”

Rendi tersenyum getir. “Saya lupa, Mbak, karena saya pikir, sudah terlambat buat minta maaf.”

Tiyas menoleh hingga  membuat pandangan mereka bertemu. “Bukannya kamu bilang, lebih baik terlambat daripada nggak sama sekali?”

Rendi tertegun melihat wajah Tiyas yang manis memancarkan kehangatan membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Dengan cepat Rendi mengalihkan pandangannya ke lain arah agar tidak terbuai lebih jauh lagi.

“Saya minta maaf atas tindakan Kak Reno yang ninggalin Mbak bersama penderitaan begitu saja,” ucap Rendi sembari menundukkan kepala.

Tiyas tersenyum tipis, menghela napas panjang. “Percuma kamu minta maaf, karena hati saya sendiri belum bisa berdamai dengan masa lalu.”

Rendi mendongak, dibuat menganga dengan jawaban Tiyas. Mata Rendi mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya tertawa sumbang. “Iya juga, ya.” Rendi menggaruk pelipisnya bingung, bila tidak salah mengingat, wanita di sampingnya ini meminta dirinya  minta maaf. Perempuan dengan segala kerumitan hatinya.

Tiba-tiba Tiyas berucap, “Kamu pernah nggak terjebak di situasi yang nggak diinginkan, dan nggak bisa menyesalinya?”

Rendi diam.

“Saya pernah merasakan itu ketika hamil Nadia.” Sudut bibir Tiyas terangkat miris. “Tetangga banyak yang mencibir saya, rasa dalam hati menyesal, tapi udah nggak ada gunanya.” Sorot mata Tiyas menerawang, pandangannya mulai mengabur. “Hari-hari saya jalani sendirian, menanggung beban yang bersifat lahir maupun batin, saya frustrasi, pernah berpikir buat bunuh diri.”

Rendi merasakan getaran kepiluan dari cerita Tiyas, dia menyesali perbuatan kakaknya yang menyebabkan anak orang menderita seumur hidup.

“Tapi saya teringat janji dia, bahwa dia akan kembali memenuhi tanggung jawabnya pada saya dan anak yang ada dalam kandungan saya. Dengan bodohnya setiap hari saya berharap, dari mulai Nadia dalam kandungan sampai Nadia lahir,” lanjut Tiyas tak melunuturkan senyum getirnya.

Rendi mencuri lirik, mendapati cairan bening mengaliri pipi Tiyas.
“Bertahun-tahun saya berusaha melupakan, dan mengikhlaskan, tetapi ketika kamu datang, saya sadar ternyata saya belum sepenuhnya ikhlas.” Tiyas meringis, mengkilas balik masa lalunya.

“Maaf, Mbak, bila kedatangan saya malah menguak luka masa lalu, Mbak.” Rendi tidak sepenuhnya merasa menyesal, dia merasa sedih karena kurang tepatnya memaksa datang dan sekaligus membuat Tiyas teringat luka lama. “Mbak boleh melampiaskan kemarahan Mbak pada saya, setidaknya bisa membuat Mbak lega.”

Senyum Tiyas tersungging tipis. “Memang saya sedang melampiaskan kemarahan saya pada kamu, maka dari itu, lebih baik kamu pergi dari sini dan jangan menampakkan diri lagi.”

Rendi melirik tangan Tiyas, niatnya ingin menggenggam, tetapi urung. “Nadia nggak akan ada tanpa Kak Reno, Mbak, begitupun juga tanpa Mbak. Mbak nggak bisa memungkiri Nadia itu adalah kalian. Mbak menutupi dari Nadia siapa ayahnya nggak membantu banyak, karena tetap Nadia butuh tahu, dia nggak datang dengan sendirinya.”

Ucapan Rendi memang benar, tapi dia tidak tahu bagaimana dirinya menanggung rasa malu dan beban membesarkan anak tanpa pasangan. “Bila kedatangan kamu hanya untuk memaksa saya memaafkan masa lalu, terutama kakak kamu, saya rasa kamu terlalu percaya diri.” Tiyas berdiri, melirik Rendi sekilas, sebelum berbalik meninggalkan tebing.

Rendi menghela napas panjang, membiarkan Tiyas pergi, karena baru sadar ternyata memang dirinya terlalu memaksa Tiyas untuk menerima kedatangannya, dan memaafkan kesalahan kakaknya.

Jejak Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang