Chapter 06

1.2K 106 158
                                    

Happy reading ....


Sesampai di butik milik teman Reyyin, mereka langsung turun dari mobil masing-masing. Mereka berjalan menuju pintu masuk dan langsung disambut oleh dua karyawan butik. "Selamat datang," sapa mereka berdua dengan ramah seraya menyatukan tangan kedua telapak tangan.

Mereka berempat langsung membalas dengan senyuman. Ah, tidak, kecuali Langit, dia hanya memberikan senyuman seadanya. Karena baginya, yang dapat melihat senyum lebarnya hanya Vira dan orang-orang terdekatnya.

"Iya, Mbak, terima kasih. Eh Mbak Sandra  nya ada?" tanya Reyynin sopan, sambil celingak-celinguk memperhatikan sekitar.

Salah satu dari mereka langsung tersenyum.
"Ada kok, Bu. Lagi di ruangannya tadi. Mari saya antar," ucap salah satu dari mereka. Keempat orang itu langsung mengangguk, kemudian mengikuti langkah karyawan perempuan tadi.

Sesampainya di pintu bercat hitam, karyawati tersebut berhenti. Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu yang Vira yakini adalah ruang Bu Sandra tadi. "Permisi, Bu. Ini ibu Reyynin dan keluarganya sudah datang," ucapnya sedikit kuat.

Tak lama pintu bercat hitam itu dibuka dari dalam. Sandra teman Reyyin itu pun keluar dengan senyum yang terpatri di wajahnya. "Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga," ucapnya sopan, sambil menyalami calon pelanggannya ini satu-satu.

Setelah bersalaman dan menyapa Desya, tatapan Sandra kini beralih ke arah dua remaja yang berdiri berdampingan walaupun dengan jarak yang cukup jauh. "Kalian baju pulang dari pantai, apa setelah ini mau ke pantai?" tanyanya sambil tersenyum menatap penampilan dua remaja itu.

Vira dan Langit langsung meringis, mereka berpikir penampilan mereka biasa saja, kenapa orang-orang berpikir mereka akan ke pantai.

"Maklumlah, Jeng. Anak ABG mah emang begitu, yang penting pake baju aja," ucap Reyynin sambil terkekeh.

Sandra hanya mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti.
"Ini mereka kan, yang mau fitting baju pengantin?" tanya Sandra tak yakin.

"Iya, Jeng. Mereka yang mau fitting baju pengantin. Cobain dulu deh, kalo ada yg pas langsung bungkus," balas Reyynin diiringi kekehan ringan.

Langit dan Vira saling menatap sebelum akhirnya membuang muka masing-masing.

Sandra melihat ke arah sepasang remaja itu, kemudian mengangguk. "Oke, mari ikut saya!" ajak Sandra.

Mereka semua keluar dari ruangan Sandra tadi menuju ke ruangan khusus menyimpan beberapa gaun dan juga jas yang sudah Reyyin pilih kemarin.

Sesampainya di ruangan tersebut, Vira, Desya dan Reyynin langsung terpukau melihat gaun-gaun pengantin yang berjajar rapi di hadapan mereka. Lain lagi dengan Langit yang selalu fokus memandang Vira sedari tadi, seolah kalau sedetik saja dia mengalihkan pandangannya, Vira akan menghilang.

"Kemarin Mbak Reyyin bilang nak Vira mau yang sederhana tapi berkesan, kan?" tanya Sandra yang langsung dibalas dengan anggukan kepala oleh Vira. "Iya, Tante," sahut Vira membuat Sandra tersenyum, kemudian ia langsung memanggil karyawannya untuk mengambilkan gaun yang kira-kira cocok dengan keinginan Vira.

"Tante punya beberapa rancangan yang sepertinya cocok dengan kamu," kata Sandra, setelah itu, datanglah tiga orang karyawati Sandra yang membawa beberapa gaun pengantin yang sangat cantik.

Mata Vira berbinar saat menatap gaun yang ada di hadapannya kali ini. "Kalau yang ini cukup simpel tapi elegan. Tidak terlalu menonjol daripada yang lain. Ukiran payetnya juga pas, warnanya juga sesuai dengan warna kulit Vira yang cerah. Yang paling penting gaun ini tidak terbuka, persis seperti keinginan Vira. Kita ambil yang ini aja, ya?" saran Desya yang langsung diangguki oleh Vira. Dirinya memang sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gaun yang dipegang oleh Mamanya itu.

Vira pun mengangguk sebelum menjawab, "Aku juga suka sama motifnya, nggak terlalu rame, simple tapi keliatan elegan banget." Mata Vira berbinar saat memandang gaun itu.

Langit ikut memandang gaun yang dipilih oleh Vira. Sekarang dia mengerti kenapa sedari tadi Vira tersenyum saat melihat ke arah gaun itu. Ternyata gaun tersebut sangat cantik, apalagi kalau dikenakan oleh Vira, pasti jauh lebih cantik. Dirinya pun ikut tersenyum melihat wajah sumringah sang calon istri, kapan lagi dia bisa menikmati pemandangan ini? Ah, tidak dia akan menikmati pemandangan ini saat sudah menikah dengan Vira nanti.

"Ada yang kurang," kata Langit menginterupsi percakapan orang yang berada di ruangan itu.

Vira menolehkan wajahnya ke arah Langit. "Apanya yang kurang?" tanya Vira, "apa ini gak bagus, ya?" sambung Vira dengan nada lesu.

"Bukan," pungkas Langit gelagapan, bukan itu yang dia maksud tadi. Langit langsung berjalan mendekati Vira, dia menarik tangan kanan Vira untuk dibawa ke sisi ruangan yang lain. Di sana, tampak mahkota dengan berbagai bentuk dan motif. Vira memandang ke arah mahkota dalam rak kaca itu berbinar kagum. Langit hanya tersenyum melihat tatapan wanita di depannya itu, dia yakin kalau Vira akan suka.

Langit mengambil salah satu mahkota yang tampak sederhana, berwarna putih dengan taburan berlian yang menghiasi beberapa bagiannya dengan apik. Langit kemudian menggerakkan kedua tangannya yang mengapit mahkota itu, gerakan dibuat sangat hati-hati, takut mahkota indah itu terjatuh. Kemudian dengan gerakan pelan, Langit mengarahkan mahkota itu ke atas kepala Vira.

Vira yang diperlakukan seperti itu langsung menegang, muncul letupan-letupan kecil di dadanya. Perutnya terasa geli, seakan ada sesuatu sedang membuncah di dalam sana. Wajahnya mengeluarkan semburat merah jambu, yang membuat Langit terkekeh gemas. Dia merasa gugup dan senang dalam satu waktu. Saat mahkota tersebut kini melekat pada kepalanya, dia menatap Langit dengan tatapan yang tak biasa.

Langit yang ditatap seperti itu langsung mengembangkan senyumnya. "Sekarang kamu ratuku," kata Langit.

"Raja selalu membutuhkan seorang ratu, Vira," lanjut Langit dengan suara yang terdengar lembut. Nada yang terdengar berbeda karena Langit kini menyatakan sebuah kata yang mampu membuat Vira ingin terbang setinggi langit.

"Vira, kamu cantik kalau malu," goda Langit lagi yang membuat Vira menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Langit hanya tertawa kecil melihat wanitanya gugup. Wajah merahnya memang sangat menggemaskan bagi Langit, dan Langit suka itu.

"Kamu ih!" rajuk Vira dengan kepala yang masih tertunduk. Lagi-lagi Langit terkekeh, bahagianya sangat sederhana, melihat senyum indah Vira setiap hari baginya sudah cukup. Langit selalu berdoa agar hubungan mereka kelak bisa bertahan, sampai mereka berdua menghembuskan napas untuk terakhir kalinya.

-tbc

PART INI SUDAH DI REVISI

Sweet Seventeen (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang