Menghitung Hari

46 5 9
                                    

Senja yang biasanya terasa hampa dan kesepian kini mulai terlihat memiliki teman, bukan hanya angin lembut tetapi burung yang ikut menari seolah merayakan kebahagiaan Johan yang kini menatap senja dengan duduk bersila di emperan kota tua. Di sebelahnya Vion asik menghitung banyaknya burung yang berkali-kali melintas di langit. Mata gadis itu tak pernah lepas dari langit.

"Cantik."

Vion menatap Johan terkejut, pemuda itu masih menatap langit senja. Vion berdebar sekaligus malu. Di apikir Johan berbicara padanya. Ternyata mengagumi senja.

"Iya, Cantik kaya lukisan yang ada di kamar Ayah."

"Iya sih, perpaduan warnanya tidak akan sama setiap harinya. Kalau di lukisan gak bisa berubah."

Johan tertawa lepas, maksudnya tidak seperti itu, tapi sepertinya gadis itu terlalu polos untuk mengartikan ucapannya. Vion menatap bingung lawan mainnya, dan Vion sangat menyesal karena menatap langsung wajah yang kini bebas berekspresi itu. Ada yang salah dengan dirinya. Tiba-tiba tubuhnya terdiam hanya karena mendengar pemuda yang di sampingnya ini tertawa selepas itu.

"Kamu kok lucu sih Vi."

"Hehehe."

Vion benci situasi ini, dia tak bisa mengendalikan dirinya. Mengapa untuk berbicara saja sangat sulit. Bundanya pernah berkata, "jika Mimi merasakan berdebar hanya karena tawa seseorang, jika merasakan tercekat tanpa tau alasan. Tersenyum tanpa sebab, merasa bahagia dan nyaman di dekat seseorang maka Mimi merasakan apa it cinta." Vion benci ini harusnya tidak seperti ini, selama ini dia selalu bisa menguasai apapun, tapi emngapa hanya karena melihat dan Mendengar Johan tertawa membuatnya lemah, sulit mengendalikan diri dan berdebar hingga sulit untuk bernafas normal.

"Perpaduan langit sore ini memang cantik, bukan hanya karena warnanya saja. Saya sering melihat warna yang jauh lebih cantik dan dramatis lagi dari ini. Tapi untuk sore ini perpaduannya sangat cantik."

"Kok gitu?"

"Iya, karena perpaduan saat ini istimewa."

"Perpaduan apa sih kok malah bikin gue mikir." Vion mendongak lagi menatap langit mencoba melihat apa yang di bilang perpaduan istimewa oleh Johan.

"Biasa saja, gak ada istimewanya."

"Ada."

"Apa?"

"Senja dan Vion."

Gadis itu menegang untuk kesekian kalinya. Dia tak tau harus berekspresi seperti apa, tapi mengapa rasanya campur aduk. Selama ini dia selalu di bilang cantik oleh semua orang, tapi mengapa rasanya berbeda.

"H-hah?"

"Iya, perpaduan yang istimewa kali ini adalah senja dan Vion."

"Da-dasar buaya! Udah berapa banyak cewek yang om bilang kek gini?"

"Hahaha, hanya satu, Vionita Rumi."

"Om jangan gini, nanti gue baper gimana?"

Johan tersenyum lalu memberanikan diri untuk menggenggam jemari Vion lembut, mengelusnya pelan, "Saya sudah meminta izin kepada Pak Agung untuk memperjuangkan putri kesayangannya. Saya ingin membahagiakan putri semata wayangnya. Jadi Vion, saya tidak bisa menjanjikan sebuah komitmen untuk saat ini, saya juga tidak bisa menjanjikan materi yang banyak untuk kencan kencan kita nanti. Tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga kamu dan membahagiakanmu."

Vion menatap tepat pada manik mata teduh yang menatapnya. Kenapa rasanya sangat menyenangkan saat di tatap seperti itu oleh orang lain selain ayahnya. Apa benar ini ini yang dinamakan cinta seperti yang bundanya katakan. Rasanya menyenangkan dan nyaman. Apakah ini saatnya dia merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya.

DUA REKATA (JOHNNY) /On RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang