Dua Kata

11 2 0
                                    

Bahagia, mungkin akhir-akhir ini yang selalu Johan rasakan. Kehidupan yang selama ini tak tau arahnya akan kemana perlahan memiliki tujuan. Dia tak menyangka kehadiran Vion dalam hidupnya mampu merubah warna dalam hidupnya yang tadinya hanya hitam, putih, merah, biru dan kuning. Ini menjadi banyak sekali warna yang Johan pun hampir tak bisa menyebutnya satu persatu. Johan paham jika segala sesuatu hal yang ada dalam hidupnya sudah ter kehendaki, tapi dia tak tahu jika nikmat Tuhan yang dia terima sangatlah berlimpah. Rasa insecure yang mengganjal di hatinya kalau keluarga Vion tidak menerimanya karena dia berasal dari keluarga yang kurang mampu, yang derajatnya jauh di bawah keluarga Vion, dengan tidak tau malunya menyukai anak semata wayang dan pewaris satu-satunya dari keluarga yang terpandang kini sudah tak ada lagi, karena keluarga gadis itu sendiri yang menitipkan Vion padanya.

Banyak rasa syukur yang Johan ucapkan terus menerus melimpahinya, memiliki pekerjaan yang baik, teman-teman yang supportif, bertemu dengan gadis yang namanya sudah berjuta kali disebut dalam doanya. Johan tidak munafik kehadiran Vion dalam hidupnya bisa mengisi semua ruang kosong dalam hatinya. Ingin sekali rasa bahagia ini dia ceritakan ke ibunya, dia ingin tidur lagi di paha ibunya dan menceritakan semua yang dia lewati sampai akhirnya dia berdiri di sini sekarang.

Sayangnya semua itu nggak bisa, ibunya pergi setelah menuntaskan rasa sakitnya. Johan juga tidak munafik jika sekali terbesit dalam hatinya tentang bagaimana rasanya memiliki seorang ayah. Karena selama hidup Johan tak pernah merasakan eksistensi seorang ayah. johan tidak membenci Johan juga tidak rindu. Tapi tepatnya memiliki seorang ayah juga salah satu impian yang tidak berani Johan idamkan dari kecil. Dia tak butuh ayah dalam hidupnya.

"Bang Jo udah check wiffi disamping mushola? Kata Pak Edgar agak trouble. Connected tapi gak bisa di pakai."

Ten mengacauhkan lamunan dari Johan yang sedari tadi ia menatap kosong layar di hadapannya. Johan hanya tersenyum dan ingin berjalan keluar sebelum suara menghentikan langkahnya.

"Biar gue aja Bang, gue juga sekalian mau ke kantin. Mau ngopi."

Yuswan berdiri dari duduknya dan hendak keluar ruangan. Johan hanya menatapnya bingung. Sedangkan Ten menghembuskan napasnya lelah.

"Perasaan saya tuh memang sekarang mas Yus lebih pendiam ya Mas?"

"Gak tau tuh bang, masak kemarin gue tanya juga kenapa dia jadi diem gitu, enggak dibales malah gue didiemin juga."

Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing tentang spekulasi mengapa Yuswan sedikit menjadi pendiam. Johan yang merasa sedikit dingin setelah dia dan Vion menjalin hubungan. Tak ingin berpikiran buruk tapi tak pernah hatinya sedikit mengganjal tentang perubahan mood yuswan. Tapi jikalau benar semua yang dia pikirkan, harusnya Yuswan tidak bersikap baik lagi dengannya ataupun Vion. Tapi kalau bukan karena itu terus kenapa ya?

"Mas Ten mau kopi nggak? saya mau ke kantin juga."

"Eh, enggak mas. Terima kasih."

"Oke saya duluan ya."

Setelah mendapatkan anggukan dari Ten Johan melangkahkan kakinya menuju kantin bermaksud untuk menyeduh kopi untuk meringankan pikirannya. Perubahan sikap Yuswan bisa membuat pikirannya sekalut ini.

Johan melihat Yuswan yang membenahi rooter di sampingmu mushola, dia melihat keseriusan yang terpampang di raut wajah Yuswan. Tak tau sebagaimana beratnya kehidupan laki-laki itu tapi yang Johan lihat ada dua pundak yang rapuh yang mencoba sekuat tenaga untuk kuat. Entah dorongan dari mana Juan melangkahkan kakinya mendekat pada Yuswan yang masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya.

"Gimana mas, bisa?"

"Eh Bang Jo. Bisa kok udah ini tadi sepertinya kabelnya ada yang putus. Ini udah selesai. Tinggal di tester aja."

DUA REKATA (JOHNNY) /On RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang