Tapak kaki

79 12 17
                                    

Orang bilang cinta pertama seorang laki-laki adalah ibunya, dimana selaku orang yang merawat dari janin sampai tau dunia luar. Begitupun Johan, laki-laki yang sering dipanggil Jo ini begitu mencintai cinta pertamanya. Dari kecil di olok oleh teman sepermainannya hanya karena tidak punya sosok yang dipanggil ayah. Sosok yang orang bilang melindungi keluarga, sebagai kepala rumah tangga, tak pernah ada eksistensinya di kehidupan Jo.

Kehidupan serba kekurangan membuat masa kecilnya kehilangan waktu bermain, setiap hari dia harus menyangking keranjang mengikuti ibunya. Tapi itu bukan hal yang membosankan, justru Jo kecil begitu menikmati.

“Lumpia... Lumpia..”

Teriakan Jo kecil dengan semangat. Sesekali beristirahat karena lelah berjalan, kepala mungil itu terlihat nyaman di pangkuan sang ibu yang membelai lembut rambutnya. Sembari mendengar sennandung lagu dari ibunya, rasa kantuk selalu menyapa. Jo kecil bisa tertidur nyaman walau tersengat panas matahari yang terpantul dari jalanan aspal. Ibunya suka sekali bernyanyi dengan suara lembut membuat Jo kecil suka sekali mendengarnya.

Hiruk pikuk kota semarang membuat pemuda ber jaket jeans tak peduli. Kepalanya sibuk memutar kenangan masa kecilnya, memnag menengok masa lalu itu kegiatan yang menyakitkan sekaligus menyenangkan. Jo tidak menyesal tak pernah merasakan sosok ayah dalam hidupnya, baginya sosok ibu sudah lebih dari cukup mengiringi langkahnya sampai sekarang walau raga renta itu sudah tak bisa direngkuhnya lagi.

“Kamar mandinya ada di dalam ya mas, kalau dapur ada di sebelah kanan kamar mandi belakang, itu dapur umum jadi penghuni kos kadang masaknya di situ,” Jelas wanita paruh baya berhijab merah menunjuk tata ruang yang akan ditempati Johan.

“Iya Kak, Terima kasih,” Jawab Johan dengan senyumannya.

“ini Kuncinya ya, jangan sungkan untuk menghubungi saya atau suami saya jika terjadi sesuatu.”

Lagi-lagi Johan tersenyum disertai anggukan. Wina, wanita paruh baya itu pamit undur diri. Setelah menerima kunci kamarnya Johan memperhatikan setiap sudut ruangan yang akan ditempati. Warna pastel menyapa membuatnya tersenyum.

“Bahkan cat kamar saja mengingatkan Jo padamu Ibu,” ucapnya sembari meletakkan barang-barangnya.

Direbahkan tubuh lelahnya pada kasur yang belum di lapisi sprei, alih-alih membereskan dia lebih ingin mengistirahatkan tubuhnya, bukan hanya perjalanan tapi kilasan masa lalu yang beberapa hari ini sering muncul membuatnya lelah. Kenangan bahagia dengan ibunya, perjuangan ibunya untuk memperjuangkan pendidikannya. Kedua mata almond itu terpejam menggambarkan kekelahan yang ingin dibuai mimpi untuk menghibur diri.

Detik demi detik terklewati, sayup-sayup suara adzan terdengar menusuk pendengarannya, kedua mata yang terpejam itu mengerjap pelan membiasakan pada cahaya. Tubuh yang sontak terlonjak saat suara adzan semakin jelas di pendengarannya. Matanya berpendar mencari pengingat waktu sontak saja matanya membeliak.

18.00

Mengabaikan semua hal termasuk kamar yang belum rapi sama sekali karena bawaannya yang sedikit banyak, dia meraih salah satu tasnya dan mencari beberapa baju untuk dia kenakan.

Begitu tergesanya hingga tak merapikan kembali baju yang keluar dari tasnya. Dia menyambar handuk dan berlari menuju kamar mandi.

Jo tidak ingin menunda ibadahnya, ibunya pernah berpesan jangan sampai lalai dalam beribadah, kita tidak tau kapan maut menjemput, jam berapa kita di panggil, setidaknya kita sudah siap amal untuk bekal di akhirat nanti.

Sudah berumur dua puluh lima tahun tapi Jo selalu ingat semua tentang ibunya. Perintah dan penutur kehidupan tak pernah di lupakan barang sebaris kata.

DUA REKATA (JOHNNY) /On RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang