Bab XXVII. Light

162 45 61
                                    

Pintu kabin di mana Theo ditahan terbuka. Theo mendongak, tertawa pelan melihat Leona berdiri di sana dengan Kai yang tepat di belakangnya. Leona melangkah masuk dan berhenti di depannya. Theo menggelengkan kepalanya sembari terdecak.

"Wah, lihat siapa di depanku sekarang. Seorang gadis yang seharusnya sudah tewas," ucap Theo.

Leona tersenyum tipis. "Begitukah?"

Theo mengangguk dengan amat yakin dan memanyunkan mulutnya. "Kau pikir kau pantas untuk hidup?"

"Tidak ada yang pantas untuk mati jika belum saatnya mati," balas Leona sembari tersenyum. "Jadi, kau yang melaporkanku pada Boss?"

"Tentu saja. Sekali lagi, kau sangat benar," kata Theo.

Leona melipat kedua tangannya depan dada. "Apa yang memicumu? Apakah dengan melihatku, kau benar-benar muak?"

Theo mencondongkan tubuhnya. "Kau tahu? Aku setia pada Boss. Hanya itu. Dia menginginkanmu mati, ya sudah. Aku mengirimkanmu pada kematian. Namun, aku salah perhitungan."

Leona terkekeh. "Benar. Sekarang, sepertinya kau sudah siap dengan hukumanku."

"Oh, aku sangat menantikannya." Dua orang penjaga pun melepaskan Theo dari kursi, tapi tidak dengan tangannya. Mereka pun mengacungkan belati tepat di lehernya.

Theo digiring keluar. Seluruh awak kapal bersama dengan Kapten Joy menyaksikannya. Leona dan Kai berjalan di belakang Theo sementara Amanda dan Vinnie melihat dari tempat kemudi, bersama kapten. Marple turut menyaksikannya dengan hinggap di bahu kapten.

Awak kapal menyiapkan papan yang biasa digunakan untuk terjun setiap pelanggar sebagai hukuman mati. Theo didorong untuk berjalan di atas papan. Namun tidak hanya itu, Leona pun menghunuskan pedang ke arahnya, menatap tajam ke arahnya dan tatapan itu berbeda dengan biasanya.

"Kau akan mendorongku jatuh ke sana?" Theo terkekeh.

Leona menyeringai. "Tidak, aku sudah bilang akan membunuhmu. Dan inilah tempatnya."

Senyuman di wajah Theo menghilang sembari dirinya membalas tatapan Leona. Theo bisa melihat tatapan penuh dendam dan amarah dari gadis itu. Theo sudah tidak bisa menyangkal jika Leona benar-benar akan menepati janjinya, yakni membunuhnya.

"Ada pesan terakhir?" tanya Leona.

Theo tersenyum. "Aku tidak menyesal." Ia berlutut di sana. "Sekarang, bunuh aku."

Leona menggenggam pedangnya erat. Ia memejamkan mata lalu tanpa disadari, darah telah mengucur dari leher Theo seiring kepalanya jatuh ke laut. Leona bisa mendengar suaranya dan kali ini, ia bisa melihat tubuh Theo yang tersisa dan penuh darah itu ikut jatuh ke laut.

Hujan bertambah deras, tapi kali ini, ombak tidak begitu mengganas. Leona mematung memandang laut, di mana tubuh orang yang telah menghancurkan hidupnya dan banyak orang menghilang. Ia pun berputar dan berjalan pelan. Kai mendekatinya, lantas mengusap pipi gadis itu.

"Sudah. Dia sudah mati," bisik Kai.

Leona melepaskan pedangnya yang penuh dengan darah itu dan membiarkan air hujan membilasnya saat dirinya jatuh tepat dalam dekapan Kai. Air matanya mengalir dan isakannya tertutup dengan sorakan para awak kapal lain. Arie dan Tony yang berdiri tidak jauh dari mereka mendekat.

"Tidak mudah bagimu untuk melakukannya. Kau hebat," celetuk Arie.

Tony mengangguk. "Aku setuju. Malah kalau aku mungkin harus menyiksanya dulu."

Leona tersenyum mendengar hiburan kedua temannya itu sementara Kai merangkulnya. "Astaga, kalian..."

Arie mengernyitkan dahi. "Aku serius. Jika aku adalah kamu, orang itu sudah kusiksa dulu baru aku bunuh dan buang jasadnya."

Loctus : The Six Nightmares -[5]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang