Bab X. Puzzles (II)

177 48 32
                                    

Rumah tua yang tampak menyeramkan dari luar--terlebih saat malam hari--membuat bulu kuduk siapapun yang melewatinya merinding. Walau rumah itu terletak di salah satu perumahan terkemuka di Tokyo, desas-desus tentang hantu kepala buntung beredar luas di sana.

Aiko mengepalkan tangan sembari memejamkan mata. Rumah ini merupakan rumah keluarganya beberapa tahun silam sebelum kematian kedua orang tuanya. Rumah yang dulunya menjadi saksi kebahagiaan mereka kini menjadi salah satu rumah terseram di kompleks perumahan ini.

Tentu saja desas-desus hantu itu sengaja disebarkan supaya tidak ada yang mendekati rumah ini, sekaligus menjadi salah satu tempat paling memorial untuk para penyihir. Ia berdiri tepat di depan gerbang rumahnya yang ditutup silang oleh kayu yang bertuliskan 'Menjauhlah!'.

"Jadi, aku hanya perlu berjaga di depan rumah ini?" tanya seseorang dengan nada lembut dari belakangnya.

Aiko mengangguk. "Ya. Kau bisa mendeteksi siapapun di sini--manusia, penyihir, vampir, dan juga manusia serigala. Aku perlu kau memberitahuku bila ada yang mendekat."

"Tenang saja. Tidak akan ada yang mendekat. Darah mereka keburu aku cium sebelum mereka datang." Caroline terkekeh pelan lalu menghela napas. "Jadi, apa yang akan kita lakukan di sini?"

"Aku akan masuk, mencari salah satu benda yang mungkin bisa membantu penyelidikan kita mengenai sihir hitam di tongkatku," kata Aiko pelan sembari memejamkan matanya.

Caroline sudah mendengar apa yang terjadi berkat Nam Byul. Ibu tiri Aiko yang ia dengar kejam itu menjadi salah satu tersangka Boss saat ini. Banyak yang percaya bahwa kini Boss adalah Asami. Namun buktinya belum ada.

"Kau sudah memberitahu Seo Byul?" tanya Caroline.

Aiko menggeleng. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan." Ia mengeluarkan tongkatnya dan mengayunkan benda itu sejenak. Kayu silang yang menutupi gerbang pun terbuka. Tatapan Aiko kini tertuju pada Caroline. "Tolong, ya. Beritahu kalau ada seseorang yang mendekat."

Caroline mengangguk. "Kau bisa mengandalkanku."

"Terima kasih." Aiko pun berjalan masuk ke rumahnya sendiri. Ia mengeluarkan tongkat dan membuat sihir yang menghasilkan bola cahaya. Rumahnya sudah hancur pada beberapa bagian. Bayangan saat rumah itu masih berdiri kokoh terngiang di ingatannya.

Ia melihat tangga yang menuju atas dan langsung naik. Di atas terdapat kamarnya dan Tsuya. Kamar itu kerap menjadi saksi mereka di malam saat ibu mereka tidak pernah kembali lagi. Sosok ibunya kembali terbayang di benaknya dan itu membuatnya menangis.

Namun ia menguatkan dirinya lagi, berjalan masuk menuju rak di samping kasurnya. Rak itu sudah kumuh dan sangat kotor, tetapi apa isinya masih ada yang terselamatkan, yakni sebuah kunci yang tampak berdebu karena sudah ditinggal puluhan tahun lamanya.

Matanya menatap tajam kunci itu. Baginya, kunci itu adalah harta terpenting saat ini. Ia pun berlari turun dan menuju dapur. Pada lantai di pojok, terdapat celah yang dapat membuka lantai itu yang di dalamnya terdapat sebuah kotak yang masih bagus ukirannya walau sudah sangat kotor.

Masih bagus... Aiko bergumam.

Aiko pun memasukkan kuncinya dan langsung membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat toples kaca dengan sebuah sihir hitam di dalamnya, yakni sihir hitam yang ia ambil dari Asami.

Flashback : On.

Sepulang sekolah, Aiko merasa tidak begitu sehat. Ia pun ke dapur untuk mengambil minum. Saat itu, seseorang menarik tangannya dan memutar balikkan tubuhnya. Sebuah tamparan panas melayang dan mendarat di pipinya.

"Dari mana saja kamu?! Kenapa kamu baru pulang, hah?!" Seorang wanita berambut hitam panjang dengan tatapan tajam yang menurut Aiko sangat menyebalkan itu bertanya dengan nada ketus.

Loctus : The Six Nightmares -[5]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang