28

143 20 13
                                    

Jinan berteriak sekeras-kerasnya, berharap rasa sakitnya itu sedikit berkurang.

"Cind.. Dia ngebohongin aku.. Dia.. Orang tua bodoh itu.. Dia.." Jinan tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ia kembali mencari ketenangan dalam pelukan Cindy.

Tak lama satu persatu saudaranya mulai berdatangan menghampiri Jinan.

Vino, Okta dan Boby semua ikut berlutut dan bertanya pada Jinan yang masih menangis sejadinya dalam pelukan Cindy.

"Nan, lo kenapa?"

"Siapa yang bikin lo gini?"

Jinan masih tidak menjawab. Okta, Vino dan Boby saling pandang.
Tiba-tiba Vino menarik Jinan dari pelukan Cindy, mendekap adiknya dengan erat. Tangannya tak berhenti mengelus punggung Jinan.

"Tenangin diri lo. Bilang ke kita, lo kenapa? Kita sodara, Nan. Kita semua sakit ngeliat lo begini. Terlebih Cindy."

Perlahan Jinan mulai menghentikan tangisnya dan mulai menceritakan semuanya, dan pergi kemana ia sebelumnya.

Semua yang ada disana terkejut, dan paham mengapa Jinan bisa sampai sekacau ini.
Christy yang mendengar itu semua pun terduduk lemas, Alex sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri.

Christy langsung mengeluarkan pistol dari dalam tas nya dan berjalan menuju pintu keluar. 

"Mereka semua sudah mati. Itu bom waktu. Mereka sudah mempersiapkan kemungkinan terburuknya."
Ucapan Jinan itu membuat Christy menghentikan langkahnya.

Jinan berusaha berdiri dan menghampiri Christy yang sedang tertunduk menangis.

Jinan memeluk Christy erat.
"Orang tua bodoh itu sudah mengorbankan hidupnya untuk hidup kita yang lebih tenang. Ini Cinta terakhir yang dia berikan, yang bisa kita nikmati selamanya. Gue tau lo pengen ngelampiasin amarah lo. Tapi, mereka udah gak ada."

Mendegar ucapan Jinan malah membuat tangisan Christy semakin menjadi.

Keduanya kembali menangis. Vino pun menyuruh Cindy, Okta, dan Boby memberikan ruang untuk Jinan dan Christy.

Okta kembali ke kamarnya dan melihat Gracia yang jatuh dan sedang berusaha berdiri.

"Ge, kamu mau ngapain? Kamu gak boleh kemana-mana dulu. Istirahat lagi ya" Okta mengangkat tubuh Gracia dan membaringkannya di kasur.

"Saudara kamu gak apa-apa?"

"Jinan... Papa nya Jinan meninggal. Mobilnya meledak saat diperjalanan pulang." Gracia memejamkan matanya dan airmata itu kembali menetes.

"Okta..." lirih Gracia. Ia membuka matanya lagi dan melihat kekasihnya itu sedang menatapnya.

"Maafin aku..."

"Ini bukan salah kamu, Ge"

"Emang sebaiknya kamu tetap percaya kalau aku udah mati. Maafin aku yang egois"

Okta bersimpuh, ia menggenggam tangan Gracia.
"Meskipun kamu gak kembali lagi sama aku. Aku bakal tetap ngelakuin hal yang sama, aku juga akan ngelakuin hal egois. Jauh lebih egois daripada yang cuma berani kamu sampaikan di angan kamu."

"Tapi.. Tapi karena aku.."

"Udah, Ge. Cukup sayang.. Aku gak mau dengar apapun lagi. Kalau semua ini terasa salah buat kamu. Berarti kehidupan aku sekarang, nafas aku saat ini, senyum sama air mata aku semuanya sebuah kesalahan yang gak seharusnya ada."

Okta menghapus air matanya lalu memaksakan senyumnya untuk Gracia.

"Jangan gini ya? Kasih kesempatan buat aku nunjukin ke kamu, kalau pertemuan kedua kita ini adalah yang terbaik. Dan aku akan berusaha untuk gak bikin kamu nyesal untuk milih aku lagi di pertemuan kedua kita ini. Jadi aku mohon sama kamu, tolong jangan patahin semangat aku ya?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 21, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Colour of Our Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang