19

459 75 19
                                    

Cindy menarik Jinan untuk kembali duduk di sofa, Shania masih mencoba menguatkan Boby. Hanya Vino satu-satunya yang masih memiliki sedikit ketenangan dalam dirinya.
Vino mengajak Okta untuk duduk agar ia lebih nyaman membaca buku yang ditinggalkan oleh Gracia.

Okta membuka lembar pertama, dadanya sudah mulai terasa sesak. Tulisan tangan itu.. Benar milik Gracia.

"Hari ini, tugas pertama aku. Setelah pulang dari Jepang, ternyata aku dapat tugas baru. Aku harus nyamar jadi pelayan untuk ngebunuh seseorang."

Airmata Okta mulai menggenang. Lalu dengan menguatkan hatinya, Okta kembali membuka lembar berikutnya.

"Orang yang  jadi targetku terlihat sedikit berbeda dari yang aku lihat di foto.
Sorot matanya, entah sudah berapa lama kesedihan itu hinggap dan menyakiti hatinya.
Sampai tidak ada lagi semangat di sorot matanya.
Apa benar aku harus membunuhnya?
Dimataku, dia sudah terlihat seperti orang mati."

Airmata Okta akhirnya menetes juga. Ia tidak menyangka jika itulah tujuan Gracia datang ke rumahnya.

"Aku hanya perlu membuatnya hidup lagi dan kemudian membunuhnya.
Tugas yang cukup membuatku bingung, kenapa aku harus menghidupkannya kalau akhirnya aku juga yang harus membunuhnya?
Mungkin penyiksaan sekejam itu yang akan muncul dari seseorang yang  hatinya sudah dipenuhi dendam."

Okta mengerti siapa yang Gracia maksud dengan 'Seseorang yang hatinya penuh dendam' Itu adalah Om nya sendiri.

"Lama rasanya tidak menulis lagi.
Karena semua waktu bersamamu terasa begitu menyenangkan, aku sampai lupa akan tujuanku.
Okta..
Sekarang nama itu terasa berbeda saat aku menyebutnya.
Ada perasaan senang ketika dia berada di sampingku.
Aku menyukai senyumnya yang beberapa hari terakhir ini sering ku lihat."

Lagi, Okta terus membuka lembar berikutnya.

"Otut.. Dasar titan ngeselin.
Sejak kapan kamu nyuri hati aku?
Hati yang  bahkan tidak pernah kurasakan lagi keberadaannya.
Kenapa kamu kembaliin lagi hati aku, setelah kamu isi penuh dengan nama kamu?"

"Aku cinta kamu.
Orang yang seharusnya mati ditangan aku.
Disaat orang-orang menganggapku sebagai sebuah alat, hanya kamu yang menganggap aku sebagai malaikat.
Malaikat yang membawa kebahagiaan di hidupmu yang sudah seperti neraka.
Seandainya waktu bisa diputar kembali, aku ingin kita bertemu dengan cara yang baik.
Aku ingin kita tersenyum, tertawa berbicara dengan tulus.
Aku tidak ingin ada sandiwara sebagai awal perasaan ini.
Aku tidak ingin ada perasaan takut dan menyesal saat tangan hangatmu itu mendekapku."

Okta mulai sesenggukan. Setiap tulisan Gracia itu begitu menyayat hatinya. Dan semakin terasa perih karena Gracia kini tidak ada disampingnya untuk menjelaskan semuanya secara langsung.

"Wanita mana yang tidak bahagia saat orang yang sudah mencuri hatinya kini membicarakan dan merencanakan hidup bersama.
Setiap harinya akan mendengarkan suara yang selalu mampu membuat hati berdebar.
Menerima cinta yang tulus, merasakan dekapan hangat, membicarakan kebahagiaan-kebahagiaan lain setelah bersama.
Aku merasa jadi wanita yang sangat beruntung saat itu.
Tapi disisi lain diriku mulai mempertanyakan semua itu.
Apakah wanita kotor sepertiku masih pantas merasakan itu semua?
Ingin rasanya mengatakan padamu untuk mencari wanita lain yang lebih pantas, tapi hatiku berontak karena tidak ingin kehilanganmu.
Tidak ingin hatimu terisi oleh nama lain selain diriku. Egoiskah?
Bukankah Cinta terkadang seperti itu?"

"Aku mencintaimu, aku ingin bersamamu, aku ingin bahagia bersamamu.
Tapi nyatanya saat ini aku sedang menghitung hari-hari kita yang tersisa.
Diwaktu yang sesingkat ini, bisakah kamu mengisi lebih banyak cinta lagi sebelum aku pergi?
Agar aku bisa terus merasakannya meski kita sudah tidak lagi bersama.
Kalau kamu suatu saat nanti tau kebenarannya, apa kamu benci aku? Apa kamu bakal ninggalin aku?"

The Colour of Our Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang