26

275 46 18
                                    

Begitu perih, Okta melihat Gracia dengan penampilan yang menyedihkan. Air matanya tak bisa ia hentikan, begitu penutup mata dari Gracia terlepas dan dua bola mata indah itu kembali terlihat olehnya.

Gracia memberontak, ingin melepas semua ikatannya dan berlari memeluk Okta. Sungguh, rindunya kali ini seperti ingin meledak keluar. Gracia tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Okta. Impiannya, khayalannya untuk bisa melihat sekali lagi wajah Okta, terwujud sudah.

"Gre.." Panggil Okta. Ia ingin mengatakan pada Gracia untuk berhenti memberontak. Itu hanya akan melukai dirinya sendiri. Tapi kata-kata itu tidak bisa keluar dari mulutnya.

Suara tangis Gracia semakin terdengar menyayat hati. Yang dipikirannya saat itu bagaimana ia bisa menghampiri Okta secepatnya. Ia ingin memeluk erat, sangat erat, orang yang dicintainya itu. Dengan mulut yang masih tertutup, rambut yang cukup berantakan, Bahkan sampai tubuhnya terjatuh karena kehilangan keseimbangan pun, Gracia tetap berusaha.

Okta menjatuhkan senjatanya dan mulai bersimpuh, kemudian sedikit menunduk. Agar ia bisa melihat jelas mata Gracia.

"Ge, udah.. Tunggu aku disana. Aku kesini untuk jemput kamu. Tenang ya.."

Vino menoleh kearah Boby. Boby terlihat tenang, walaupun Vino tau itu tidak benar. Boby berusaha keras menahan dirinya, dan Vino sangat berterima kasih untuk itu.

"Reuni rasanya kurang seru tanpa hiburan. Bukankah begitu Jinan?" Jinan menatap tajam kearah Kenzo. Ia paham betul senyuman licik itu. Jinan harus memutar otak sebelum Kenzo benar-benar menguasai permainan.

"Duel"   "Duel"

Jinan dan Kenzo sama-sama mengatakan hal serupa.

"Tapi kita buat sedikit menarik."

Kenzo memerintahkan anak buahnya untuk menarik Shania dan juga Gracia agar duduk dan bisa melihat duel dengan benar.

"Duel pertama mempertaruhkan Shania. Dan duel itu akan dilakukan oleh lo sendiri, dan dua orang kepercayaan gue disini. Peraturannya sederhana. Siapa yang jatuh dan tidak bisa bergerak, itu yang kalah. Kalau gue menang, gue akan langsung mengeksekusi Shania. Tapi kalau lo bisa menang, Shania bisa bebas."

Jinan sudah menduga. Kenzo tidak mungkin memberikan permainan yang tidak menguntungkan baginya.

"Gue bakal gantiin Jinan." Vino langsung menyembunyikan Jinan di belakang tubuhnya.
Jinan masih belum pulih, dan hal yang mustahil jika Jinan bertarung sekarang dengan melawan dua orang sekaligus.

"Vin, lo gak perlu.."

"Ini keegoisan gue yang terakhir kalinya. Gue janji." Jinan diam. Ia mengerti kemana arah pembicaraan itu.

"Lo keluarga terbaik yang gue punya."
Ucap Jinan, ia menepuk pundak Vino, memberikan semangat.

Vino berduel melawan dua anak buah Kenzo. Meski beberapa kali menerima pukulan, Vino kembali bangkit demi adik-adiknya.

Ditengah duel berlangsung, tiba-tiba suara tembakan kembali terdengar.
Semua melihat kearah Jinan.

"Gue gak akan biarin lo ngelukain sodara gue lebih dari ini. Ini peringatan. Lo tau sendiri gue gak pernah meleset."

Jinan sengaja menembak dinding dibelakang Kenzo sebagai tanda peringatan. Ia melihat gerak gerik Kenzo yang ingin berbuat curang. Karena dilihat dari keadaannya, Vino akan memenangkan duel itu.

Kesempatan itu tentu tidak disia-siakan oleh Vino. Ia menyerang  kembali satu anak buah Kenzo yang tersisa.

Kenzo yang kesal pun mengambil pistolnya dan mengarahkan ke kepala Shania.

The Colour of Our Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang