24

644 69 48
                                    

Di dalam kamar Okta, sudah berkumpul semua saudaranya. Karena Vino telah memanggil mereka berkumpul di kamar itu.

"Ada apa, Vin?"

"Gue mikirin sesuatu, dan.. Kali ini gue gak mau mutusin sendiri, gue mau denger pendapat kalian gimana, Terutama lo, Ta"

Semuanya langsung melihat kearah Okta, sedangkan Okta? Dia malah menatap bingung pada Vino terlihat khawatir padanya.

"Aku? Kenapa?"

"Apa yang akan kamu lakuin kalau Gracia masih hidup?" tanya Vino dan membuat Okta seakan membeku mendengar nama itu, dan juga kemungkinan yang dikatakan oleh Vino.

"Kenapa tiba-tiba nanya gitu sih? Orang yang udah meninggal gak mungkin hidup lagi, Vin" Okta berusaha terlihat biasa saja dan menganggap jika Vino sedang ingin bercanda padanya. Tapi ini bukanlah waktu yang tepat untuk situasi seperti ini, dan hal itu bukanlah candaan yang baik.

"Gue mau tau apa yang lo lakuin kalau seandainya Gracia masih hidup"

Okta tersenyum tipis. Sungguh ia benar-benar menginginkan itu menjadi nyata, namun semua itu tidak bisa diubah. Gadisnya itu telah pergi untuk selamanya, bahkan sampai detik ini pun Okta masih mengingat jelas kejadian itu.
Kejadian yang sangat menyakitkan, saat melihat orang yang sangat dicintainya itu sudah tak bernyawa lagi.

"Seandainya dia masih hidup, aku... Aku gak tau harus apa. Dia yang mau ngebunuh aku dan.."

"Lo nyerah?" sela Jinan.

"Untuk apa kita ngebahas orang yang udah meninggal?" Okta berusaha menghentikan obrolan yang hanya menyakiti hatinya itu.

"Tapi dia dibunuh karena dia gak mau bunuh lo."
Vino pun ikut angkat bicara.

"Tapi dia..."

"Lo mau jadi pengecut? Kalau masih suka, ngomong! Gue bakal bawain Gracia buat lo."

Okta menatap Jinan dengan mata berkaca-kaca. Ada apa dengan saudaranya? Pikir Okta.

"Gue gak lagi bercanda."

"Gracia masih hidup, Ta." Vino mengeluarkan ponselnya dan memutarkan rekaman suara yang ia terima dari nomor tak dikenal, namun Vino yakin jika pengirimnya adalah Kenzo.

"Sampai kapanpun, lo gak akan bisa celakain Okta. Dia punya keluarga yang akan selalu ngejagain dia. Usaha kalian semua bakal sia-sia. Gue berani..."

Terdengar suara tamparan keras yang membuat hening beberapa detik.

"Gue bakal nyuruh semua anak buah gue untuk ngabisin dia dan bawa kepala pangeran kecil lo itu sebagai hadiah dari gue untuk lo. Dia gak punya siapapun yang bisa jagain dia saat ini, keluarganya yang selalu lo sebut itu bahkan gak akan tau kalau dia bakal mati lebih dulu dari mereka."

"Ambil nyawa gue, asal jangan sentuh Okta."

Pesan suara itu berhenti dan diakhiri suara tamparan keras lagi sebelum rekaman itu berakhir.

Okta langsung merampas ponsel ditangan Vino dan memutar kembali rekaman suara itu berulang-ulang, tangannya terlihat gemetar.

Vino mengambil kembali ponselnya dari tangan Okta dengan pelan dan menyimpannya ke dalam sakunya.

"Si-siniin hp nya, Vin. Itu.. Itu suara Gracia, di-dia.. Vin, bawa dia pulang, Vin."

"Tenangin diri lo, kita pasti bawa dia pulang buat lo. Asal lo nurut apa kata kita, untuk tetep diam di tempat yang aman."

"Gak. Aku ikut. Dia nungguin aku, dia.. Gracia.. Ijinin aku ikut"
Okta tiba-tiba berlutut di hadapan Vino.

Vino melihat kearah Jinan dan Boby dan mereka mengangguk.

"Berdiri"
Vino membantu Okta berdiri dan menepuk kedua pundak Okta memberinya semangat.

"Cepat sembuh buat Gracia, kita bakal jemput keluarga kita untuk pulang. Shani sama yang lain pasti seneng dapat temen baru." Okta mengangguk dan memeluk Vino. Boby dan Jinan pun mendekat ikut memberi semangat pada Okta.

"Lo harus cepet pulih" ucap Boby sambil menepuk-nepuk punggung Okta.

"Bener. Jangan bikin malu gue entar." dari belakang, Jinan mengacak-acak rambut Okta. Rasanya sama seperti dulu. Jinan masih mengingatnya, saat Okta menangis karena dibully oleh kakak kelas nya dan Okta mengadu pada mereka. Setelah Vino, Boby dan Jinan memberi pelajaran pada mereka yang telah membully Okta, Okta kembali menangis dan posisi mereka sama seperti saat ini. Vino memeluk Okta, Boby yang terus membesarkan hati Okta sambil menepuk-nepuk pundaknya, dan Jinan yang mengacak rambut Okta sembil berkata

"Pinter, lain kali lo harus bisa bales mereka sendiri pake tangan lo ya"

~~~

Malam itu, Okta tidak bisa tidur. Ia tidak sabar untuk menunggu pagi. Ia ingin segera bertemu Gracia.

"Tunggu aku, Ge. Tunggu aku" ucap Okta sambil memandangi cincin yang sebelumnya ingin ia berikan pada Gracia hari itu.

Sementara itu, Jinan pun masih belum bisa memejamkan matanya. Ia menatap kosong ke luar jendela, pikirannya melayang entah kemana. Tak lama lamunannya buyar karena satu pesan yang masuk di ponselnya.

"Apa yang kau lakukan di sana? Cepat tidur! Papa jagain kamu disini."

Jantung Jinan berdegup kencang. Ia mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang mungkin ada bersembunyi di suatu tempat untuk mengintainya.

Karena tak kunjung menemukannya, Jinan ingin memastikannya langsung dengan mengecek keluar. Namun belum sempat ia membuka pintu kamarnya, ponselnya kembali berbunyi.
Nomor asing yang mengirim pesan padanya itu kini menghubunginya.

"Kau mau kemana? Jangan keluar."

"Siapa? Apa tujuan lo ngintai rumah adek gue?!"

"Kita akan bertemu setelah kita membebaskan kekasih adikmu yang di sandera disana."

"Sejauh apa lo tau tentang ini?"

"Istirahatlah Jinan, besok kita akan mengakhiri semuanya. Papa ingin bercerita banyak dengan anak Papa yang sekarang sudah tumbuh jadi laki-laki yang sempurna. Terimakasih sudah hidup untuk Papa, Nak. Papa di pihak kamu, kita punya musuh yang sama. Papa gak akan biarin mereka nyentuh kamu lagi."

Setelah mengatakan hal itu, sambungan telfon itu terputus sepihak.
Jinan masih mematung di tempatnya setelah mendengar ucapan pria itu. Air matanya menetes, tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu yang mengganjal. Dada nya terasa sesak sekali.

Jinan mengeluarkan foto yang diberikan oleh Cindy padanya.

"Cih, orangtua gak guna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Cih, orangtua gak guna." Ucap Jinan.
Namun ia tersenyum, lalu berjalan menuju tempat tidurnya.

Entah apa lagi rahasia yang akan terbongkar esok hari. Yang pasti, Jinan berharap ini adalah akhirnya.

Malam itu, Jinan tertidur sambil menggenggam foto itu ditangannya.








Halo

Gimana?

Nulis sekarang susah banget.. Efek gak ada liburan, gue jadi stress kayaknya, kerjaan numpuk. Jangankan mood nulis, buat main game dan buka sosmed aja gak mood 😭😭
Semoga masih pada inget ya sama ceritanya, maaf kelamaan.

Hope you like it.
See Ya

The Colour of Our Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang