Sakit

116 21 2
                                    

Sepulang sekolah aku langsung merebahkan tubuh di atas kasur tanpa berganti pakaian terlebih dahulu, sepatu bahkan tak kulepas.
Entah kenapa kepalaku rasanya pusing sekali seperti mau pecah, berkedut-kedut tanpa ampun sejak jam pelajaran terakhir.

Aku meringis, memijat-mijat pelipisku dengan sisa tenaga yang kupunya demi menghalau rasa sakit yang menderanya.
Tetapi bukannya merasa lebih baik, kepalaku rasanya semakin sakit dan berat. Beberapa saat setelahnya aku tidak ingat apa-apa lagi karena semuanya berubah menjadi gelap.

***

"Kamu udah sadar?" sapaan penuh dengan kekhawatiran dilayangkan oleh Kun kepadaku setelah mataku terbuka.
Hah? Memangnya aku kenapa?
Kenapa ruangan ini warnanya putih semua dan bukannya kamarku?

"Ini dimana, Kun?" tanyaku lirih sambil memandang Kun penuh tanya.

Kun menghela panjang, "di rumah sakit. Tadi kamu pingsan makanya aku bawa ke sini."

"Kok bisa malah kamu yang bawa aku ke rumah sakit? Aku gapapa lagian," sahutku.

Sepasang netra bersorot teduh khas milik seorang Qian Kun menatapku lekat, kekhawatiran terpancar jelas disana membuatku merasa tidak enak hati karena telah membuatnya susah.

"Tadi aku mampir ke rumah kamu buat anterin oleh-oleh dari Beijing titipan Mama sama Papa. Eh, pas sampe rumah kamu malah kamunya di kamar gak nyaut-nyaut aku panggil. Yaudah deh, kamar kamu mau gak mau aku dobrak taunya kamu udah pingsan," jelas Kun panjang kali lebar.

"Gak pake acara didobrak juga dong, Qian Kun!" aku mencubit lengan Kun gemas, pintu kamarku itu 'kan baru diperbaiki oleh Ayah dua bulan lalu masa iya sudah harus diperbaiki lagi?

Kun mengangkat kedua bahunya cuek, "ya mau gimana lagi orang aku panik banget, terus orang-orang di rumah kamu juga suruh dobrak karena udah pada khawatir."

Mendengar jawaban Kun aku hanya bisa mengelus dada menggunakan tanganku yang berada dari selang infus. Kenapa anak itu nekat sekali sih? Ya Tuhan...

"Terus, Ayah mana?" tanyaku mengalihkan topik.

"Beliau lagi diperjalanan mau kesini bareng sama Mama Papa juga. Kamu tunggu sebentar ya, Sayang, aku mau beli bunga sama buah-buahan dulu di depan," ujar Kun lantas mengecup singkat puncak kepalaku.
Lelaki itu kemudian berlalu, menghilang ditelan pintu kamar rawatku.

Senyap meringkusku bulat-bulat sesudah itu.
Aku sangat tidak menyukai kesendirian, inilah hal yang membuatku dulu sempat mempermainkan pria.
Angin membuat daun-daun yang berada di taman rumah sakit tepat di sebelah kamar rawatku melambai-lambai seolah sedang menyapaku yang kini menjadi penghuni di rumah sakit ini untuk beberapa hari ke depan.
Ngomong-ngomong soal sakit, kira-kira aku sakit apa ya?
Kenapa aku sampai ambruk begini?
Biasanya aku tidak pernah sakit sampai separah ini, hah...

"Selamat sore, Nona. Saya Sunny, perawat Nona selama disini. Bagaimana perasaan Nona saat ini?"

Seorang wanita berparas manis menyapaku dengan begitu ramah di samping bangsal rawatku sambil membawa sebuah berkas yang kuyakini berisi data-data tentang diriku.

"Halo, Sus. Panggil saja saya Ryuna. Sekarang saya merasa pusing dan perut saya rasanya sakit sekali. Kalau boleh tahu saya sakit apa ya, Sus?"

Suster Sunny membaca dengan seksama berkas di tangannya, "menurut hasil pemeriksaan, Nona Ryuna didiagnosa menderita thypus karena terlalu kelelahan."

"Berapa lama saya akan tinggal disini, Sus?" tanyaku sekali lagi, terkenang akan cerita Kak Jaehyung soal keangkeran rumah sakit yang selalu sukses membuatku bergidik ngeri serta merinding.

"Kalau soal itu tergantung dari daya tahan tubuh Nona Ryuna sendiri. Yang jelas, Nona butuh lebih banyak istirahat. Kalau ada apa-apa Nona jangan sungkan cerita ke saya ya," terang Suster Sunny dengan lembut,
"tunggu sebentar, makan malam Nona akan saya ambilkan segera. Kalau begitu saya permisi dulu."

Thypus katanya? Pantas saja perutku rasanya seperti mau putus, kepalaku rasanya bagai mau pecah dan badanku lemas sekali.
Ya Tuhan, semoga selama masa rawatku aku tidak menjumpai hantu-hantu seram yang sering diceritakan oleh Kak Jaehyung! Amit-amit!

"Bagaimana kondisimu, calon menantuku?" Nyonya Qian bertanya dengan begitu khawatir setibanya beliau di ruang rawatku bersama Tuan Qian, Ayah serta Kun.

"Aku baik-baik saja," jawabku lemah.

Ayah mengusap kepalaku, memandangiku dengan sorot mata begitu khawatir, "Ayah kira terjadi sesuatu yang buruk. Untung Kun cepat datang tadi. Terima kasih, Kun."

"Sama-sama, Om," Kun tersenyum lembut, memamerkan lesung pipinya, "pokoknya Ryuna sudah menjadi tanggung jawab saya."

What? Tanggung jawab saya katanya?!

***

Tanggung jawab saya dong:v

Litani ; Qian KunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang