Kim Seokjin's PovAku senang ketika mengetahui bahwa suami Kim Jisoo tidak pulang kerumah semenjak hari itu. Aku bahagia seperti mendapat secercah harapan bahwa mungkin aku dapat mengganti posisinya dengan mudah.
Ya, selicik dan sejahat itu pikiran singkatku. Tetapi, melihat Kim Jisoo sedih kehilangan Jimin membuatku cemburu.
Ralat, sangat cemburu.
Sampai pada suatu titik, aku sudah tidak tahan lagi dan ingin sekali bertemu dengan orang yang bernama Jason Park itu. Saat ini aku berdiri di hadapan lelaki kaya raya itu di kantornya yang mewah, dan Kim Jisoo benar. Lelaki ini mirip sekali dengan Park Jimin. Bahkan suara tawanya pun sangat mirip!
Sangat membingungkan sekali. Kenapa dua orang bisa sama padahal identitasnya berbeda?
"Maaf atas kejadian lalu, mungkin karena saya terbawa emosi. Saya ingin mengatakan bahwa, wanita yang memanggilmu Jimin sesungguhnya tidak gila. Ya. Dia hanya sedang mencari suaminya yang hilang. Dan wajahmu sangat mirip dengannya, lihat foto ini."
Aku menunjukkan foto keluarga kecil itu dimana Jimin sedang menggendong anakku, dan Kim Jisoo berdiri disampingnya dengan senyum hangat bahagia khasnya.
Dahinya mengkerut dan menatap foto itu beberapa waktu, namun semakin dia melihatnya, semakin tatapannya membingungkan.
"Tidak, saya tidak mengerti sama sekali. Saya tidak pernah merasa mengambil potret seperti itu." Ujarnya lalu duduk menghempas ke atas kursi empuk kerjanya.
"Saya mohon maaf Tuan Kim, tetapi saya bukanlah orang yang ada di foto itu."
"Kalian salah orang."Aku diam. Lalu menatap foto itu sebentar sebelum memasukkannya ke dalam saku kemejaku.
Tetapi, hal yang membingungkan terus berputar di daam pikiranku. Bagaimana bisa satu orang menghilang lalu satu orang lagi ditemukan? Aku membaca di sebuah berita mengatakan bahwa Jason Park baru saja ditemukan setelah hilang belasan tahun.
"Mungkin kami salah orang. Maaf."
"Tuan Park, saya tidak akan bertanya tentang hal ini lagi. Mungkin, kita bisa mengobrol tentang hal lain." Ucapku berusaha membuat suasana diam tadi sedikit mencair."Ya, santai saja."
"Tuan Park, omong-omong kau lulusan mana?" Tanyaku sembari merilekskan punggungku di sandaran kursi.
"Amerika."
"Oh dimana?"
"Aku pernah menimbang-nimbang kuliah disana tetapi lebih memilih Eropa."Dia diam.
Cukup lama hingga mengabaikanku beberap saat.
"Tuan Park?"
"Oh ya maaf."
"Kenapa tadi?"
"Kuliah dimana?"
"Stanford."
"Ah... bagaimana california? Cuacanya sangat bagus bukan?"
Aku mengangguk. Jawabannya terlihat ragu seperti mengarang dan berpikir.
Entahlah aku tidak mengerti.
"Maaf, sejujurnya aku memiliki masalah atas ingatanku. Jika kau bertanya dimana atau bagaimana masa laluku, Aku tidak begitu mengingatnya. Orang tuaku mengatakan aku baru saja pulih kecelakaan hebat sehingga membuatku kehilangan semua ingatanku kecuali masa kecilku. Jadi pertanyaanmu tentang masa kuliahku membuatku kesulitan menjawab."
Aku mengangguk kembali sembari meminta maaf dengan canggung.
"Kalau begitu aku pamit. Maaf sudah mengganggu waktu berhargamu Tuan Park. Sekali lagi, saya meminta maaf dan pamit."
Kami bersalaman sebentar sebelum aku keluar dari ruangan.
Informasi yang ingin aku dapatkan tidak begitu banyak dari Jason Park. Namun, aku meyakini bahwa mungkin ada yang tidak beres. Ya, tatapannya terlihat kosong dan menyedihkan. Mungkin, karena tadi dia bilang dia kehilangan ingatannya setelah kecelakaan hebat itu?
***
Percayalah bahwa hasrat ingin memiliki Kim Jisoo semakin lama semakin pudar. Bukan karena aku tidak menginginkannya. Tetapi, aku tidak begitu banyak berharap karena Kim Jisoo masih kehilangan Jimin dan tidak melihatku sebagai seorang laki-laki. Dia menganggapku mungkin hanya Ayah dari Hae Ra saja tidak lebih, dimana Ayahnya ingin memberikan kasih sayang dan juga support financial."Makasih."
Ucapannya ketika aku memberikannya kebutuhan bulanan seusai mampir dari kantor.
Aku meletakkan kantung belanjaan itu dibawah dan langsung main dengan Hae Ra. Sedangkan dia sedang menonton drama di televisi.
Dia tidak lagi menyebut-nyebut nama Jimin, namun dia lebih banyak diam saat ini dan terlihat tidak bersemangat.
"Aku mendengar tetangga mengatakan bahwa, aku bukanlah wanita baik. Mereka bilang, aku wanita murahan dimana menerima laki-laki dirumahnya sampai malam setelah kehilangan suami. Aku sedih mendengarnya. Meski mereka tidak tahu bahwa kita tidak melakukan apa-apa, selain kamu main dengan Hae Ra. Tetapi ucapan itu tetap membuatku sakit."
Dia tiba-tiba berucap. Wajahnya tanpa ekspresi dan air matanya meluruh.
"Lebih baik kamu mengurangi intensitas bertemu denganku dirumah ini."
"Lihat, sudah jam 9 Malam."
"Mereka akan mengatakan hal yang tidak-tidak lagi."Dia mengatakan sambil mengambil Hae Ra dan menggendongnya.
Namun, entahlah ucapannya membuatku marah malam itu.
"Kamu peduli kata orang lain?"
"Ya Kim Jisoo, kau tidak bisa melarangku untuk bertemu Hae Ra! Kamu mau bagaimana? Kalau, Aku tidak kesini? Lalu caranya bagaimana lagi? Aku ambil Hae Ra dari kamu begitu?"Dia tiba-tiba menatapku dan mematung.
Air matanya mengembeng, lalu dia menangis.
"Kamu mau ambil Hae Ra dari hidupku? Kamu mimpi!"
"Aku minta kamu keluar dari sini sekarang Kim Seokjin."
"Aku nggak tahu, kenapa kamu peduli sama aku sekarang. Kamu seolah-olah mau jadi sosok Ayah yang baik. Kamu kemana saja selama ini? Kamu kemana ketika aku kesusahan sendirian dan sekarang kamu mau ambil satu-satunya harta paling berharga dihidupku?"
"Kamu jahat."Aku tahu aku salah berucap saat itu.
"Kim Jisoo, bukan. Maksudku bukan begitu."
"Aku tahu aku salah dimasa lalu, Tetapi aku menyadarinya. Aku ingin memperbaikinya sekarang. Aku ingin jadi Ayah Hae Ra yang selalu ada disisinya. Maafkan aku.""Aku ingin sendiri malam ini, Kim Seokjin kamu bisa tolong, keluar ?" Ucapnya dengan nada merendah tak ada tenaga menunduk sambil mengusap air matanya yang jatuh.
Kemudian aku mengangguk sambil menatap Hae Ra yang sudah mengantuk di dalam gendongannya.
Aku menghela nafas ketika keluar dari rumah itu.
Ya Tuhan, apakah ini karma karena mendapatkan simpatinya saja saat ini begitu susah?
***
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
One Night Stand
FanfictionBerawal dari tempat Karaoke, pertemuan pertama kali itu terjadi. warning: 18+ mohon untuk bijak dalam memilih cerita.