Bab 13. Manisnya Bayu

456 19 1
                                    

Aku pamit pulang pada Retno ketika matahari sudah tenggelam di ufuk Barat. Selain karena terlalu asyik mengobrol, aku juga memilih untuk berjalan di pekatnya senja karena untuk menghindari tatapan kasihan dari orang-orang yang berpapasan denganku.

Di jalan setapak yang memasuki hutan pohon jati, sesosok pemuda berdiri menyandarkan punggungnya yang kekar pada kulit pohon yang berdiameter sebesar pelukan orang dewasa.

Badan pemuda itu mengkilap karena peluh. Baju kaosnya yang tadi siang dipakai, kini tersampir di sebelah pundaknya. Tampaknya dia tidak segan lagi bertelanjang dada di hadapanku. Namun, tetap saja aku masih merasa risih meski beberapa kali telah melihat dia seperti itu.

Bayu menoleh. Mungkin dia mendengar suara gemerisik dedaunan yang terinjak oleh kakiku saat melangkah. Dia mengibas-ngibaskan sepotong bajunya dan siap untuk memakai.

"Tidak usah dipakai lagi bajumu itu. Tampaknya sudah lengket oleh keringat. Tanggalkan saja jika itu lebih nyaman bagimu." Aku menunduk saat berbicara demikian.

"Terima kasih. Ayo kita pulang sekarang. Hari sudah semakin gelap. Tidak baik untuk kau berjalan sendirian seperti ini."

"Oh ... jadi kau sengaja menungguku, Bayu?" Aku berusaha menggoda pemuda itu untuk menghilangkan kecanggungan yang selama ini melingkupi kami berdua.

"Iya." Hanya itu. Dia memang pemuda yang cuek, tidak berubah, sama seperti dulu.

Aku mengikuti geraknya. Namun, baru tiga langkah kakinya menapak, dia berhenti, berbalik, dan menoleh ke arahku.

"Sebaiknya kau jalan di depan!"

Aku menurut sekaligus canggung. Ah, ternyata aku salah. Ternyata dia perhatian juga. Aku tersenyum di dalam hati. Semoga pipiku yang bersemu tidak terlihat olehnya. Aku menunduk semakin dalam.

Kami terus berjalan dalam diam. Melewati hutan pohon jati, beberapa petak sawah, kebun singkong lalu tiba lah kami di jalan aspal baru yang terbentang di depan rumahku.

Biasanya Ibu menungguiku di halaman rumah, tapi sosoknya tidak kudapati saat ini. Apakah Ibu sudah tahu bahwa aku pulang bersama Bayu?

"Assalamualaikum ...."

"Wa'alaikumussalam. Kau baru pulang?"

"Iya, Bu."

"Mana suamimu?"

Sepertinya Ibu tidak butuh jawaban karena beliau melihat sosok Bayu menyusul di belakangku.

"Bersihkan tubuh kalian berdua lalu mari kita makan bersama."

"Baik, Bu." Manisnya jawaban Bayu. Kali ini kudapati wajah Ibu semringah menatap punggung pemuda itu saat Bayu menuju kamar.

***

Kami berempat makan di meja kayu persegi empat. Aku, Ibu, Bayu dan juga Raka duduk saling berhadap-hadapan. Bayu sudah tak canggung lagi. Beberapa kali kudapati dia menggoda adikku itu. Begitu pula Ibu. Tanpa segan dia menambahkan nasi pada pinggan menantunya.

Rasanya ada rasa tenteram di hati melihat pemandangan seperti ini. Aku berharap selamanya. Tentu tanpa kehadiran Bapak di tengah-tengah kami.

"Tambah lagi, Nak Bayu." Ibu mendekatkan piring berisi tempe goreng dan ikan asin gabus ke arah Bayu.

Dengan halus pemuda itu menolak. "Sudah kenyang, Bu. Terima kasih." Tentu saja. Sejak tadi ibu berulang kali menambahkan makanan ke piringnya. Aku tertawa geli di dalam hati.

"Kau, Setiawati?"

Aku pun turut menggeleng. "Kalau terlalu kenyang, aku malah jadi tidak bisa tidur, Bu."

"Hmm ... padahal banyak makan malah bagus untuk bayimu. Agar dia tumbuh sehat dan pintar."

Ibu membereskan meja, membawa piring-piring ke tempat cucian. Bayu membantu. Sebelumnya dia mencegah saat aku akan membawa gelas-gelas kotor dan juga teko air.

Aku cukup menyeka meja saja dengan kain lap, lalu membersihkan noda bekas sambal yang bercecer. Lima menit, Ibu dan Bayu tak kunjung kembali. Penuh rasa penasaran, aku menyusul ke dapur, mendapati mereka berdua sedang mencuci piring. Ibu membersihkan dengan sabun, sedangkan Bayu membantu membilas.

Aku bahagia melihat kekompakan mereka berdua. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun, aku tak peduli. Sebab untuk pertama kalinya aku melihat Bayu dapat tertawa lepas, memamerkan susunan giginya yang berderet rapi. Binar matanya itu ... ah, manisnya Bayu.

***

Rinai hujan turun tepat tengah malam. Karena atap rumah yang berusia tua, ada sebagian tempat yang bocor di kamarku.

Aku melirik ke bawah. Bayu memojokkan diri ke tembok. Dia menghindari tetesan air satu-satu dari lubang atap.

Aku merasa kasihan. Namun, aku masih ragu untuk memintanya pindah ke atas tempat tidur, ke sebelahku.

Rasa malu dan egois, ternyata dikalahkan oleh rasa iba. Besok Bayu pagi-pagi harus pergi ke ladang. Kasihan jika dia begadang sepanjang malam.

"Ba-Bayu." Dia menoleh. "Di situ bocor. Kau tidak bisa tidur di sebelah situ." Tak ada jawaban.

"Pindah saja di sebelahku untuk sementara. Besok kau harus bekerja, bukan? Nanti kau sakit jika harus begadang. Hujan ini tak tahu sampai kapan berhentinya."

Bayu masih membisu. Ah ... malu sekali rasanya. Barusan aku seperti berbicara dengan tembok saja.

"Terserah jika kau tak mau. Aku hanya mencoba berbaik hati." Aku kembali memejamkan mata sembari membalik badan memunggunginya. Aksi itu kulakukan untuk menyamarkan rona merah karena rasa malu.

Bodoh sekali kau, Setiawati. Jangan-jangan Bayu malah berpikir kau mencoba menggodanya.

Pikiran-pikiran buruk itu berargumen. Bergegas aku menghalaunya dengan semakin merapatkan kelopak mata.

Namun, gerakan kasur yang bergoyang mengalihkan perhatianku. Ternyata Bayu tak tahan juga menghadapi situasi yang tak enak. Dapat kurasakan sentuhan tak sengaja lengannya pada punggungku. Seketika aku menelan ludah.

"Tetesan airnya semakin banyak. Aku akan pindah lagi ke bawah jika hujan telah berhenti." Suara baritonnya terdengar dari belakang.

Gantian aku tidak menjawab. Toh, menurutku tak perlu. Aku akan belajar dari sikap cuek dan acuhnya.

Cuaca yang dingin membuatku lekas mengantuk. Rintikan hujan pada atap, bak melodi Nina Bobo di telinga. Alhasil tak membutuhkan waktu lama, aku terlelap kembali.

***

Rintik hujan masih terdengar. Namun, sinar matahari sudah menembus celah pada daun jendela.

Aku mencoba bergerak, tapi ada sesuatu yang menahan punggungku. Aku membuka mata. Sebelah tangan Bayu bersandar di lenganku. Ingin menepis, tapi aku takut akan membangunkan dia dari tidur yang nyenyak.

Dengkurannya meski lirih masih berirama. Kasihan. Mungkin dia letih sekali. Biarlah untuk beberapa menit seperti ini saja. Kan kubiarkan lenganku sebagai gulingnya.

Akan tetapi, setengah jam waktu berjalan, rasanya sebagian tubuhku sudah kesemutan. Bagaimana ini? Apa kucoba bergeser sedikit saja, ya, agar aliran darah yang tertahan bisa mengalir kembali.

Saat aku mencoba bergerak sedikit, tiba-tiba Bayu malah merengkuhku ke dalam pelukannya. Aku menahan napas. Bisa kurasakan detak jantungku bertalu-talu di rongga dada.

"Tidurlah lagi barang sebentar. Jika kau keluar kamar, aku tak punya alasan berlama-lama di kamar ini."

Suara Bayu berbisik di telinga. Aku menggangguk begitu saja dan menurut atas perintahnya.

Untung saja aku membelakangi. Jika tidak, kupastikan Bayu sewaktu-waktu bisa memergoki wajahku yang merona karena ulahnya.

Ibu, Bayu memelukku.

***

AIB (Hamil Anak Bapak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang