Bab 22. Suamiku Bayu

979 25 9
                                    

"Saya terima nikah dan kawinnya Setiawati binti Ahmad Dahlan dengan maskawin yang tersebut, tunai!"

Ucapan Bayu lantang terdengar tanpa ragu, tanpa terbata-bata. Aku yang duduk di sebelahnya, kurasa lebih gugup dari pemuda itu. Meski kejadian ini pernah terjadi, tentu kali ini rasanya berbeda dan punya arti yang berbeda pula.

"Bagaimana, sah?" Pak Penghulu menatap ke dua orang saksi yang hadir serta mengedarkan pandang pada Ibu, Pak Santo, dan juga Retno yang turut datang.

"Sah! Sah!" Suara-suara serentak berkumandang di ruang tamu berukuran enam kali lima meter persegi.

Ibu menyeka mata dengan lengan baju. Retno juga mengusap sudut matanya menggunakan selembar sapu tangan. Entah kenapa, kesedihan itu tak menular padaku. Sedari tadi aku menyunggingkan senyum kepada siapa saja yang menatap.

"Awas, kering gigi kau nanti." Bayu berbisik. Ah, dia selalu menggodaku. Aku menjulurkan lidah padanya. Dia malah tertawa.

Sebab ini bukan acara formal, selesai akad, aku dan Retno membantu Ibu menghidangkan makanan. Sekadarnya saja: nasi soto, es sirop dan buah semangka sebagai pencuci mulut.

"Bagaimana kursusmu, Retno? Lancar?" Aku bertanya di sela-sela waktu mengunyah.

Retno meneguk air minum hingga tandas kemudian meraih sepotong semangka. "Lumayan. Aku juga sudah punya beberapa pelanggan yang datang ke rumah untuk dirias."

"Wah, hebat. Kejar terus impianmu itu, Nak. Selagi ada jalan dan itu merupakan hal positif, Ibu yakin emakmu pasti selalu mendukung." Ibu ikut menimbrung. "Kau sendiri, Setiawati?"

Aku hampir tersedak sebab baru kali ini Ibu bertanya tentang impianku. Ah, benar juga. Aku belum terpikir ke arah sana. Sekarang aku masih menikmati kebersamaanku bersama Bayu. Aku melirik sedikit ke arah suamiku itu yang sedang berbicara bertiga dengan Pak Santo dan Pak Cecep.

"Aku ... belum tahu ingin melakukan apa, Bu." Aku menunduk, menatap butiran nasi yang tersisa di dasar pinggan.

"Ah, Ibu. Masak Ibu tidak tahu. Impian Setiawati dari dulu, kan, memang ingin menjadi istrinya Bayu." Ish! Gadis ini sungguh tidak pandai menjaga rahasia. Aku melotot ke arahnya. Namun, dia tidak peduli. "Seharusnya Ibu bangga. Dia sudah berhasil sekarang," lanjut Retno lantas tergelak. Sedang Ibu tersenyum sembari menggelengkan kepala.

Agak takut, aku melirik lagi ke Bayu. Syukurlah, dia tidak mendengarkan. Dia masih asyik bercakap dengan pria-pria di depannya.

Ketika matahari mulai condong ke waktu sore, mereka satu per satu pamit pulang.

Pak Cecep terlebih dulu, dia melambai dari atas motornya yang kian melaju. Kemudian Ibu. Kami berpelukan agak lama. "Ibu ... bahagia melihat kau yang sekarang, 𝘕𝘥𝘶𝘬. Maafkan Ibu, ya. Gara-gara Ibu kau pernah merasakan trauma dan kesakitan, bahkan kau simpan itu untuk dirimu sendiri."

Aku menggeleng, lalu menyungging senyum tulus. "Sudahlah, Bu. Yang lalu biarlah berlalu. Aku sudah ikhlas menerima takdir Tuhan yang tersemat di hidupku." Melepaskan pelukan, kami berbagi senyuman. Kemudian Ibu melangkah beriringan dengan Raka, pergi.

Salah satu yang membuatku lega, Ibu kini tak lagi kekurangan. Toko bawang milik Bapak yang selama ini Ibu kelola, sudah menjadi milik Ibu sepenuhnya. Berkat bantuan Pak Cecep juga, pria yang tahu ilmu hukum itu, membantu Ibu untuk mendapatkan hak warisan atas Raka serta dirinya, sebagai istri ketiga Bapak.

Kini, Retno yang pamit pulang. Kami bergandengan tangan hingga di perbatasan halaman depan.

"Jika kau tidak ada kegiatan, mainlah ke sini. Masih banyak hal yang ingin kuceritakan padamu," ucapku disambut anggukan dari sahabatku itu.

AIB (Hamil Anak Bapak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang