Bab 20. Tragedi

611 27 2
                                    

Aku sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Permukaan meja, sudut-sudut lemari, lantai bahkan dapur, telah bersih mengkilap. Tak ada lagi debu satu pun yang menempel.

Aku menoleh ke jam dinding. Masih ada sisa waktu dua jam lagi untukku hingga nanti mengantarkan bekal makan siang buat Bayu dan Pak Santo. Menjelang itu, aku ingin merebahkan diri dulu di kasur barang sebentar sembari meluruskan punggung dan kaki yang pegal.

Akan tetapi, baru saja lima menit aku berbaring, terdengar suara mesin motor berhenti di depan rumah. Aku menajamkan indera pendengaran. Sepertinya aku mengenali suara kendaraan roda dua itu.

Tok-tok-tok!
"Setiawati!"
Tok-tok-tok!

Pintu depan diketuk seseorang. Aku juga sangat mengenali suara itu, Bapak. Ada gerangan apa dia datang ke mari? Cukup lama aku menimbang antara lebih baik membuka pintu atau tidak. Namun, ketukan Bapak semakin lama kian mendesak.

Aku melangkah lambat-lambat, menuju pintu. "Ada apa, Pak?" Aku bertanya dari belakang daunnya. Sebab aku belum punya keberanian untuk membukanya.

"Ibumu, 𝘕𝘥𝘶𝘬! Ibumu!"

Oleh karena nama Ibu disebut berulang-ulang, seketika aku panik. Rasa khawatir berlebih membuat rasa takut dan prasangka buruk sirna dalam seketika.

Aku meraih slot kunci, menariknya sekaligus menguak pintu menjadi terbuka lebar. Bapak tampak panik. Napasnya ngos-ngosan.

"Kenapa dengan Ibu, Pak?" Rasa panik itu menular padaku.

"Ibumu pingsan. Bapak tidak tahu apa penyebabnya. Ayo, 𝘕𝘥𝘶𝘬! Ayo, coba kau lihat dulu di rumah."

Tanpa membuang waktu, aku ikuti saja ajakan Bapak untuk pulang ke rumah. Tak biasanya Ibu pingsan. Apakah beliau sangat kelelahan? Memang terakhir kali aku menjenguknya, wanita itu tampak pucat dan agak kurus.

Bergegas aku naik ke atas boncengan. Tak kuhiraukan lagi rasa takutku pada Bapak. Kini kesehatan Ibu bagiku di atas segalanya.

Motor yang dikendarai Bapak melaju kencang. Kecepatannya yang tak biasa membuat semua orang yang berada di tepi jalan menoleh. Mereka menatap heran sekaligus penasaran.

Aku pun berpegangan erat pada jaket Bapak. Tak ingin tubuhku limbung dan terjatuh. Keselamatanku juga penting. Jika aku kenapa-kenapa, siapa yang akan mengurus Ibu nanti.

Kami sudah tiba di pekarangan rumah dalam sekejap. Mesin motor belum sempat dimatikan Bapak, aku langsung melompat dari boncengan dan berlari ke dalam rumah.

"Ibu! Ibu!"

Aku menyingkap gorden kamar Ibu. Kosong. Tak ada sosok Ibu di sana. Kakiku berbelok ke ruang lain, juga tak ada Ibu di mana pun. Di ruang tengah, dapur, bahkan kamarku yang dulu.

Suara pintu ditutup, menyadariku akan sesuatu: kebohongan, licik, dan bahaya yang mengancam.

Benar saja, Bapak terkekeh. Langkahnya perlahan mendekat. Rasa takut sekaligus trauma yang dulu pernah kurasakan, kini datang kembali. Membuat kakiku menggigil, terpaku pada ubin yang dingin.

"Gadis bodoh. Ibumu baik-baik saja. Saat ini dia sedang di toko, memandori para kuli pengupas bawang seperti biasanya."

Lubang hidung Bapak kembang kempis. Dadanya naik turun. Tampaknya Bapak sudah diselimuti nafsu setan dan amarah yang menggebu.

"Kenapa Bapak lakukan ini padaku? Kenapa Bapak tak juga berhenti menyakitiku? Apa salahku, Pak? Apa?!"

Lonjakan emosi yang tertanam begitu lama, membuncah. Melepaskan diri dari belenggu rasa muak. Aku tak boleh seperti ini. Aku tak boleh terus-terusan diam saja.

Tahu-tahu Bapak sudah berdiri di hadapanku. Urat tangannya menyembul saat dia meraih leherku, mencekikku. Aku megap-megap, berusaha menarik napas sebanyak mungkin.

Tanganku berusaha memukul. Kakiku juga berusaha menendang. Namun, apalah daya. Tenagaku kalah telak dari pria yang seperti sudah kerasukan iblis itu.

"Kau tahu apa kesalahanmu?! Apa kau tahu? Kau sudah membunuh anakku. Kau sengaja, kan, membunuh darah dagingku?!"

Bola mata Bapak mendelik. Gurat merah pada bagian putihnya terlihat jelas saat menatapku. Aku pasrah. Aku pasti sebentar lagi akan menyusul Ayah.

Tanpa kuduga Bapak melepaskan cengkeramannya sekaligus membantingku sekuat tenaga. Kepalaku telak membentur sudut meja makan. Seketika pandanganku berkunang-kunang. Dalam kesadaranku yang tersisa setengah, Bapak meraih lenganku, menyeretku ke dalam kamar.

"Sebelum kau mati, ada baiknya kau melayaniku dulu. Seperti dulu-dulu."

Lagi-lagi tubuhku terbanting keras ke atas ranjang Nenek yang kembali menghiasi kamar kosong itu. Tubuhku rasanya remuk redam. Sakit semua. Terlebih hatiku. Telingaku berdenging tak karuan. Pandanganku semakin mengabur. Dalam ketidaksadaranku, ucapan Bayu terngiang-ngiang di ruang kepala.

"𝘛𝘦𝘯𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘊𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢𝘬𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘶."

Aku tidak boleh terus-terusan ditindas. Aku tidak boleh selamanya pasrah dan mengkhianati Bayu. Ingatlah mimpi indah yang sebentar lagi akan terwujud, Setiawati! Bangun! Bergeraklah! Lakukan sesuatu!

Seperti ada kekuatan baru yang tiba-tiba menyergap, aku bangkit duduk. Kakiku menendang dada Bapak yang tengah sibuk melepaskan resleting celananya. Dia jatuh menghantam tembok dan terjengkang. Ucapannya penuh sumpah serapah serta caci maki.

Aku segera berlari keluar kamar. Namun, dia berhasil menjambak rambutku dengan kasar.

"Gadis sinting! Lebih baik kau mati saja menyusul bapak kandungmu! Anak tidak tahu diuntung! Brengsek!"

Tubuhku terhempas lagi ke atas meja. Bapak seperti orang kesurupan, mencekik leherku sekuat tenaga. Dadaku sesak, oksigen tak lagi mengalir mengisi ke paru-paru.

Dalam upayaku bertarung dengan maut, aku melihat sebuah balok kayu menghantam kepala Bapak dari belakang. Pria itu tersungkur lalu ambruk tak sadarkan diri.

"Kau tak apa-apa, 𝘕𝘥𝘶𝘬?"

Ternyata Ibu yang baru saja menyelamatkanku. Aku terbatuk. Agak lama barulah aku bisa menguasai diri. Bekas cekikan Bapak masih terasa perih pada kulit leherku.

Aku melihat Ibu bergetar. Berulang kali dia menelan ludah. Bola matanya pun dibanjiri air mata.

"Benarkah apa yang ibu dengar tadi, Nak? Benarkah bapak tirimu yang menghamilimu?" Nada Ibu bergetar seperti tubuhnya.

Aku tak mampu bersuara. Hanya anggukan pelan yang memberi jawaban atas pertanyaan wanita itu.

Ibu menangis histeris. Dia memukul-mukul dadanya sendiri. Tentu baginya sakit sekali setelah mendapati fakta yang selama ini berhasil aku sembunyikan darinya.

"Kenapa tak kau ceritakan pada ibumu ini? Kenapa?"

"Karena ... karena aku tidak mau sampai Ibu yang menderita. Dia bilang akan menyiksa Ibu jika aku tidak mau melayani nafsu bejadnya."

Dada Ibu naik turun. Tampaknya dia terbalut emosi. Tanpa bisa kucegah, dia meraih lagi balok yang tadi terlempar bersama tubuh Bapak yang tergeletak. Ibu menghantamkan lagi balok itu ke kepala monster yang kini terdiam tak berkutik.

"Sudah, Bu. Sudah!" Aku berteriak sembari memeluk tubuh Ibu dari belakang. "Jangan kotori tangan Ibu. Aku dan Raka masih butuh Ibu untuk saat ini, Bu!" Ratapanku berhasil membuat Ibu berhenti. Kemudian kami berpelukan dalam tangis.

***

AIB (Hamil Anak Bapak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang